Nazar Bukan Nyasar

Bilangan 30

Istilah “nazar” dibahas terutama dalam Imamat 27, Bilangan 6, dan Ulangan 23. Dalam Bilangan 30, yang dibahas adalah pengesahan nazar seorang perempuan. Perbedaan nazar seorang perempuan de-ngan nazar pada umumnya adalah bahwa perempuan yang melakukan nazar tetap terikat dengan ayah maupun suaminya. Ayah atau suami perempuan yang bernazar bisa membatalkan nazar perempuan itu. Perlu diingat bahwa dalam tradisi Yahudi, perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sebelum menikah, seorang perempuan berada dalam kekuasaan ayahnya. Sesudah sang ayah meninggal, ia berada dalam kekuasaan kakak laki-laki. Sesudah menikah, perempuan berada dalam kekuasaan suami. Perlu diingat juga bahwa peraturan ini dibuat untuk melindungi perempuan itu yang bisa jadi salah bernazar atau sembarangan saja bernazar, sehingga merugikan dirinya sendiri.

Berdasarkan tradisi Yahudi tersebut, tidaklah mengherankan bila Tuhan menetapkan peraturan bahwa nazar seorang perempuan dapat dibatalkan oleh ayahnya atau suaminya jika perempuan itu dinilai tidak mampu melaksanakan nazar tersebut. Karena kaum perempuan pada masa itu umumnya tidak mengetahui peraturan keagamaan, ketidak-tahuan itu bisa membuat dia mengikrarkan nazar yang terlalu berat atau yang bisa mempersulit dirinya atau keluarganya. Oleh karena itu, baik ayah maupun suami yang lebih memahami peraturan keagamaan berhak membatalkan nazar istrinya untuk melindungi sang istri dan seluruh keluarganya.

Peraturan dalam pasal ini mengajarkan bahwa sesuatu yang bertujuan baik tidak serta merta harus selalu disetujui dan didukung. Diperlukan hikmat untuk bisa melihat, menilai, dan memutuskan sesuatu secara tepat agar keputusan yang kita ambil tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Diperlukan komunikasi, kepedulian, serta ketegasan terhadap orang yang kita kasihi agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan. Apakah Anda sudah melaksanakan tanggung jawab dalam keluarga Anda? Sadarilah bahwa peran yang baik selalu dilandasi oleh relasi yang baik. Oleh karena itu, kita harus membangun dan memelihara relasi yang baik dengan anggota keluarga kita agar kita bisa saling mengingatkan, saling melindungi, dan saling mendukung satu dengan yang lain dalam kasih Allah. [GI Roni Tan]

Perayaan Bagi TUHAN

Bilangan 29

Dalam Alkitab, terdapat berbagai peraturan tentang perayaan hari-hari raya bagi bangsa Israel. Dalam bacaan Alkitab hari ini, yang dibahas adalah korban-korban yang dipersembahkan pada hari raya yang berlangsung di bulan ketujuh, yaitu Hari Raya Peniupan Serunai pada tanggal satu (29:1-6), Hari Raya Pendamaian pada tanggal sepuluh (29:7-11), dan Hari Raya Pondok Daun pada tanggal lima belas (29:12-38). Pada ketiga hari raya tersebut, selain ada persembahan korban juga ada pertemuan kudus. Saat berlangsungnya pertemuan yang kudus itu, bangsa Israel dilarang melakukan pekerjaan berat. Dengan demikian, setiap orang bisa memusatkan perhatian pada pertemuan tersebut. Adanya pertemuan kudus di antara umat pilihan Tuhan ini mengingatkan kita akan pentingnya menyediakan waktu untuk menjaga kesatuan dan persatuan orang percaya. Walaupun adanya berbagai perayaan itu menuntut biaya yang mahal, berbagai perayaan itu penting untuk menjaga relasi antara umat Israel dengan Allah serta relasi antar umat Israel sendiri. Perayaan-perayaan itu penting bukan hanya bagi generasi saat itu, tetapi juga penting untuk menjadi sarana mengajar generasi berikutnya, supaya generasi muda belajar menjalin relasi dengan Allah dan dengan sesama.

Dalam kehidupan orang Kristen masa kini, hari-hari raya pada masa Alkitab sudah tidak kita rayakan lagi karena konteks orang Kristen pada umumnya bukanlah konteks Yahudi. Saat ini, gereja menyelenggarakan beberapa hari raya yang berkaitan dengan kehidupan dan karya Yesus Kristus serta Roh Kudus, yaitu Natal (memperingati kelahiran Tuhan Yesus), Jumat Agung (memperingati kematian Tuhan Yesus), Paskah (memperingati kebangkitan Tuhan Yesus), Kenaikan Tuhan Yesus ke Surga, dan Pentakosta (memperingati turunnya Roh Kudus untuk menyertai orang percaya di dunia ini). Perayaan-perayaan yang kita rayakan itu berkaitan dengan peristiwa sejarah yang amat penting (relevan) dengan kehidupan kita. Bila kita dan seluruh keluarga kita mengikuti perayaan-perayaan tersebut dengan setia setiap tahun, kita akan selalu diingatkan akan keyakinan-keyakinan terpenting dalam kepercayaan Kristen. Oleh karena itu, saat merayakan hari-hari raya di atas, fokus perhatian kita bukanlah bersenang-senang, melainkan menghayati karya Allah dalam kehidupan kita. [GI Roni Tan/GI Purnama]

Korban Tanda Kesetiaan

Bilangan 28

Korban, pada umumnya, dihubungkan dengan bangsa—bangsa di dunia kuno. Mereka mempersembahkan korban kepada dewa—dewa mereka. Yang dipakai sebagai korban bukan hanya binatang, tetapi juga bisa manusia. Mereka mempersembahkan korban karena mereka diselimuti ketakutan bahwa mereka akan ditimpa malapetaka bila mereka tidak mempersembahkan korban. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk mempersembahkan korban di hadapan-Nya. Korban yang dipersembahkan bisa berupa korban binatang (misalnya kambing, domba, lembu, dan burung) atau tepung. Ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah memerintahkan—bahkan Tuhan melarang—pengorbanan anak, yang malahan dianggap sebagai suatu kekejian di hadapan Tuhan.

Umat Israel diwajibkan untuk mempersembahkan korban di ha-dapan Tuhan. Setiap jenis korban yang dipersembahkan disebut dengan istilah tersendiri. Jenis korban yang disebut dalam Alkitab adalah korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapus dosa, dan korban penebus salah. Sebenarnya, persembahan korban kepada Tuhan sudah ada sejak zaman nenek moyang Israel. Dalam Kitab Kejadian, kita bisa membaca tentang persembahan korban yang dilakukan oleh Kain, Habel, Abraham, Ishak, dan Yakub. Setelah orang Israel dituntun oleh Tuhan untuk keluar dari Tanah Mesir, barulah perintah untuk mempersembahkan korban diberikan dan dilaksanakan. Banyaknya korban sembelihan dan korban bakaran yang dipersembahkan di atas mezbah menunjukkan begitu banyaknya pelanggaran yang sudah dilakukan umat Allah, tetapi begitu besar pula pengampunan yang sudah diberikan oleh Tuhan.

Akhirnya, Allah memberikan Anak-Nya sendiri—Yesus Kristus—sebagai korban penghapus dosa yang sempurna, yang hanya satu kali saja dipersembahkan. Pengorbanan Yesus Kristus itu membuat kita saat ini sudah tidak perlu lagi mempersembahkan korban binatang ke hadapan Tuhan. Akan tetapi, kita dipanggil untuk hidup dalam ketaatan dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Roma 12:1). Mempersem-bahkan tubuh adalah respons yang wajar terhadap keselamatan dan pengudusan yang telah kita terima. [GI Roni Tan]

Pemimpin Sebagai Gembala

Bilangan 27

Rombongan bangsa Israel beserta ternak mereka masih harus menempuh perjalanan panjang sebelum bisa memasuki Tanah Kanaan. Sementara itu, kesalahan yang dilakukan Musa membuat ia tidak diizinkan untuk ikut memasuki Tanah Perjanjian (20:12). Musa menyadari bahwa bangsa Israel memerlukan seorang pemimpin untuk menggantikan dirinya. Oleh karena itu, Musa memohon agar Tuhan mengangkat seorang pemimpin untuk menggantikan Musa, dan Tuhan menunjuk Yosua untuk menjadi pemimpin bangsa Israel. Untuk meneguhkan kepemimpinan Yosua, Tuhan memerintahkan Yosua untuk berdiri di depan Imam Eleazar. Musa diminta untuk memberikan sebagian wibawanya kepada Yosua di depan segenap umat Israel, kemudian imam Eleazar harus menanyakan keputusan Tuhan dengan memakai Urim (27:15-23).

Kepemimpinan seperti apa yang harus menjadi ciri khas Yosua? Kepemimpinan gembala (bandingkan dengan 27:17). Sebagai gembala, Yosua nanti harus memimpin perjalanan umat Israel, memimpin peperangan untuk merebut Tanah Perjanjian, membagi-bagi Tanah perjanjian pada setiap suku Israel. Gambaran tentang Yosua sebagai seorang pemimpin yang harus menggembalakan bangsa Israel ini mengingatkan kita kepada peran Tuhan dalam kehidupan umat-Nya. Jadi, bukan sekedar gambaran Tuhan sebagai Raja tapi juga gambaran Tuhan sebagai gembala atas umatNya yang digambarkan melalui kepemimpinan Yosua. Konsep Tuhan sebagai gembala banyak disebut dalam Perjanjian Lama dan juga dalam Perjanjian Baru. Dalam Matius 9:36, orang banyak disebut oleh Tuhan Yesus sebagai seperti domba yang tidak bergembala. Yosua merupakan gambaran tentang konsep Gembala Agung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Tuhan Yesus merupakan penggenapan dari Sang Gembala Agung yang menjagai dan mau mengorbankan nyawa-Nya bagi umat gembalaan-Nya. Tuhan Yesus juga memanggil kita untuk menjadi gembala bagi sesama kita (Bandingkan dengan Yohanes 21:15-17). Kita harus menjadi gembala yang memperhatikan dan menjagai sesama serta senantiasa siap sedia menolong sesama yang sedang mengalami kesulitan. Sudahkah Anda menjalankan tugas sebagai gembala bagi sesama umat Tuhan dengan menunjukkan kepedulian dan mendoakan mereka? [GI Roni Tan]

Hukuman Tuhan Pasti Terlaksana

Bilangan 26

Tuhan menjatuhkan hukuman kepada bangsa Israel yang telah memberontak pada Tuhan, yaitu bahwa bangsa Israel harus mengembara di padang gurun selama 40 tahun. Dalam pengembaraan itu, seluruh generasi tua Israel akan mati semua di padang gurun, kecuali Kaleb dan Yosua. Hukuman tersebut telah terwujud saat Musa dan Imam Harun melaksanakan sensus yang kedua di padang gurun Sinai. Dalam sensus kedua ini, jelaslah bahwa generasi tua bangsa Israel telah meninggal semua di padang gurun Sinai (26:64-65). Hasil sensus kedua ini menunjukkan bahwa ancaman hukuman Tuhan telah dilaksanakan. Angkatan yang dicatat dalam sensus kedua ini merupakan angkatan baru bangsa Israel.

Pencatatan kali ini ditujukan kepada orang Israel yang berusia 20 tahun ke atas (26:2). Jumlah mereka dihitung karena merekalah laskar Israel yang harus berjuang untuk merebut Tanah Kanaan. Mereka mengemban tugas untuk merebut Tanah Perjanjian dan mengibarkan panji Tuhan. Tugas yang mereka emban menuntut ketaatan dan kekudusan hidup di hadapan Tuhan, sehingga hidup mereka senantiasa diberkati dan dipelihara oleh Tuhan. Kekudusan hidup itulah kunci keberhasilan mereka dan kunci perkenanan Tuhan atas mereka.

Firman Tuhan hari ini mengingatkan tentang dua hal: Pertama, walaupun setiap generasi memiliki kisah dan pengalaman masing-masing, setiap generasi harus senantiasa hidup dalam ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan, sehingga setiap generasi seharusnya merupakan generasi orang beriman yang hidup memuliakan TUHAN. Kedua, firman Tuhan pasti akan terjadi. Ancaman penghukuman Tuhan pasti akan terlaksana sehingga tidak boleh diremehkan. Janji berkat Tuhan pun pasti akan terwujud sehingga janji-janji Tuhan bisa menjadi pegangan kita. Oleh karena itu, bila kita berbuat dosa, kita harus segera datang kepada Tuhan untuk mengakui pelanggaran kita, meminta pengampunan-Nya, dan kembali bertekad untuk hidup dalam ketaatan kepada Tuhan. Apakah kehidupan Anda bisa menjadi kebanggaan bagi Tuhan? Apakah anak-anak Anda merupakan generasi penerus yang menjalani kehidupan beriman di hadapan Tuhan? Jagalah diri Anda dan siapkanlah generasi anak-anak Anda agar kehidupan kita semua menjadi kehidupan yang memuliakan Tuhan. [GI Roni Tan]

Dosa Lagi, Hukuman Lagi

Karena bangsa Israel begitu mudah jatuh dalam dosa, akhirnya murka Allah ditimpakan lagi kepada mereka. Allah menjatuhkan hukuman mati kepada orang-orang Israel yang telah berzinah dengan perempuan-perempuan Moab serta turut dalam penyembahan kafir dengan mempersembahkan korban kepada Baal-Peor. Tindakan orang Israel ini melanggar dua hukum dari sepuluh hukum Taurat, yaitu “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (hukum pertama, Keluaran 20:3) dan “Jangan berzinah” (hukum ketujuh, Keluaran 20:14). Ingatlah bahwa kekudusan Tuhan membuat Ia pasti menghukum dosa! Tuhan menjatuhkan hukuman mati terhadap setiap orang Israel yang secara berpasangan menyembah Baal Peor (25:5). Saat Musa dan seluruh umat Israel menangis menyesali peristiwa di atas, Pinehas—anak Eleazar yang adalah anak imam Harun—melihat kedatangan seorang Israel yang membawa seorang perempuan Moab. Dia menjadi amat marah sehingga ia segera membunuh mereka berdua (25:6-8). Tindakan Pinehas ini menyurutkan murka Tuhan terhadap bangsa Israel. Mengapa hukuman Tuhan demikian keras? Jelas bahwa TUHAN menghendaki agar bangsa Israel menjauhi dosa dengan menaati seluruh perintah Allah untuk menghormati kekudusan-Nya. Sebagai umat pilihan Allah, mereka tidak boleh meniru penyembahan berhala yang dilakukan oleh bangsabangsa kafir yang masih menyembah berhala. Sebagai hukuman terhadap orang Midian yang membuat orang Israel berdosa dengan ikut menyembah Baal-Peor, Tuhan menjatuhkan hukuman mati (25:16-17). Dalam perjalanan ke Tanah Kanaan, bangsa Israel sering melanggar perinntah Tuhan, sehingga Tuhan menjatuhkan beraneka ragam hukuman, mulai dari tulah sampai kematian. Riwayat bangsa Israel menyadarkan kita bahwa kita ini rentan jatuh ke dalam dosa. Banyak godaan yang berupaya menjatuhkan kita. Kita harus memilah keinginan-keinginan kita serta memilih keputusan yang hendak kita ambil dalam hidup kita. Dalam segala kondisi, kita harus menyandarkan pikiran, hati, dan hidup kita pada Tuhan. Kita harus mempertahankan relasi yang sehat dengan Tuhan agar kita bisa menghindari pelanggaran dan belajar untuk menjalani hidup dalam ketaatan kepada Allah. Apakah Anda telah dan terus menjalin relasi dengan Tuhan dan setia menjalankan segala perintah-Nya? [GI Roni Tan]

Itulah Yang Akan Kukatakan

Bilangan 23-24

Balak—raja Moab diselimuti ketakutan besar saat melihat bangsa Israel berjalan mendekati daerah kekuasaannya. Ketakutan ini bisa dipahami karena sebelumnya, TUHAN telah melakukan banyak perkara ajaib dalam memimpin perjalanan bangsa Israel keluar dari Tanah Mesir. Peristiwa tenggelamnya Firaun bersama pasukannya yang gagah perkasa saat mengejar bangsa Israel telah tersebar di antara bangsabangsa yang selama ini tunduk pada kerajaan Mesir. Dalam bacaan Alkitab hari ini, bangsa Israel telah berada di daerah Moab. Kegentaran Balak terhadap bangsa Israel membuat ia memanggil Bileam untuk mengutuki bangsa Israel. Pemikirannya, bila bangsa Israel mendapat kutuk, mereka akan mudah dikalahkan oleh bangsa Moab. Raja Balak mengantar Bileam ke tiga lokasi yang berbeda untuk mengutuk bangsa Israel, tetapi Bileam bertindak sebaliknya, yaitu memberkati bangsa Israel dan bukan mengutuki. Walaupun Raja Balak telah menjanjikan upah yang besar bila Bileam mengutuki bangsa Israel, Bileam tidak sanggup melanggar titah TUHAN. Bileam berkata, “Apa yang akan difirmankan TUHAN, itulah yang akan kukatakan” (24:13). Dalam hal ini, Bileam menyatakan bahwa dia tunduk terhadap perintah TUHAN. Bileam tidak sanggup mengutuki bangsa Israel bila TUHAN menghendaki agar dia memberkati. Bila Anda sudah mengenali kehendak Tuhan, apakah Anda berani dengan setia mengatakan hal-hal yang sesuai dengan kehendak-Nya, apa pun juga risiko yang harus Anda hadapi? Manakah yang lebih penting bagi diri Anda: Keinginan dan kepuasan diri sendiri atau keinginan dan kepuasan Tuhan? Apakah perkataan Anda umumnya menjadi berkat bagi orang lain atau justru membuat orang lain menjadi kesal atau berduka? Apakah perkataan Anda selalu membuat Allah dimuliakan? Marilah kita memeriksa kembali perkataan yang biasa kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun kita bebas mengatakan apa pun, kita harus mengusahakan agar perkataan kita bersifat membangun orang lain dan mendatangkan kemuliaan Tuhan. Perkataan kita haruslah mencerminkan ketaatan terhadap perintah Tuhan. Kita harus menyediakan waktu untuk membaca, mendengar, mempelajari, dan merenungkan firman Tuhan agar kita bisa memahami kehendak Tuhan serta bisa menerapkan firman Tuhan dalam hidup kita. [GI Roni Tan]

Tuhan Menghendaki agar Kita Taat

Bilangan 22

Walaupun Bileam bertanya (meminta izin untuk mengutuk bangsa Israel) kepada Allah sebelum menanggapi permintaan Balak, pertanyaannya dilandasi keinginan mendapatkan uang yang ditawarkan oleh Balak, sehingga pertanyaan itu membangkitkan murka Allah (22:22). Malaikat Tuhan menghadang dengan pedang terhunus, tetapi Bileam selamat karena keledai yang ditumpanginya mogok. Bileam menganggap keledainya tidak patuh sehingga ia memukul keledainya. Terjadilah suatu mujizat karena keledai itu tiba-tiba bisa protes, “Apakah yang kulakukan kepadamu, sampai engkau memukul aku tiga kali?” (22:28). Selanjutnya, Tuhan membuka mata Bileam sehingga ia melihat bahwa ada Malaikat TUHAN yang menghadang dengan pedang terhunus (22:31). Mengapa Tuhan murka kepada Bileam? TUHAN murka karena Bileam bertanya tanpa ketulusan (22:8, 19). Bileam tahu bahwa Allah tidak mengizinkan dia pergi. Oleh karena itu, pertanyaannya menunjukkan bahwa dia memaksa TUHAN. Inilah yang membuat TUHAN murka! Bileam baru sadar setelah Malaikat Tuhan memberi penjelasan (22:31-34). Keledai—binatang yang bodoh—bisa dipakai Tuhan untuk menyingkapkan kebodohan Bileam. Kisah Bileam dan keledai tunggangannya mengingatkan agar kita tidak dengan sengaja menentang kehendak Tuhan. Kita bukan hanya harus mengembangkan kepekaan untuk bisa memahami kehendak Tuhan, tetapi kita juga harus mencari kehendak-Nya dengan ketekunan, kesabaran, dan kesediaan untuk taat. Bila kita dengan sengaja menentang kehendak Tuhan yang telah kita ketahui, kita akan menerima hukuman. Kita juga perlu menyadari bahwa cara Tuhan mengingatkan tidak selalu bisa kita duga sebelumnya, seperti hal keledai yang bisa berbicara dalam bacaan Alkitab hari ini. Tuhan menghendaki agar kita mengikuti panggilan-Nya, yaitu agar kita menjadi alat di tangan Tuhan yang dipakai untuk kemuliaan-Nya. Ingatlah bahwa mencari kehendak Tuhan itu menuntut ketekunan dan melakukan kehendak Tuhan itu menuntut pengorbanan. Apakah Anda memiliki ketekunan untuk mencari kehendak Tuhan dan memiliki kesediaan untuk menaati kehendak-Nya? Bila Anda tidak tekun mencari kehendak Tuhan atau Anda tidak memiliki komitmen (tekad) untuk melakukan kehendak-Nya, Anda tidak akan bisa memuliakan Tuhan melalui kehidupan Anda! [GI Roni Tan]

Pandang, Maka Tetap Hidup

Bilangan 21

Bangsa Israel adalah bangsa pemberontak yang tidak pernah puas. Saat berjalan dari gunung Hor menuju Laut Teberau, mereka tidak dapat lagi menahan hati (21:4). “Tidak dapat lagi menahan hati” berarti tidak bisa sabar untuk menahan diri agar tidak menggerutu. Suka menggerutu sudah menjadi karakter bangsa Israel. Karena tidak bisa menahan hati, mereka menyalahkan TUHAN dan Musa. Tuhan dan Musa dinilai salah karena tidak memberikan roti dan air kepada mereka. Tuhan dan Musa dinilai salah karena hanya bisa memberkati mereka dengan roti yang hambar (21:5). Tindakan mereka membuat TUHAN murka. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang mati dan sakit karena dipagut ular-ular tedung (21:6). Bila Tuhan terus dalam murka-Nya dan tidak bertindak untuk menghentikan serangan ular—ular tedung itu, bisa saja mereka semua akan mati karena bisa ular tedung yang mematikan. Dalam keadaan tidak berdaya dan berduka, mereka kembali meminta pertolongan Tuhan yang telah mereka sakiti hati-Nya. Puji Tuhan! Tuhan menolong mereka! Tuhan memerintahkan Musa membuat ular tembaga yang kemudian diletakkan di sebuah tiang (21:8-9). Setiap orang yang digigit ular tedung lalu memandang ular tembaga itu pasti akan disembuhkan dari bisa ular (21:9). Apakah ular tembaga itu memiliki khasiat menyembuhkan? Tidak! Sebenarnya, Tuhan-lah yang menyembuhkan mereka sehingga mereka tidak mati walaupun telah digigit ular. Ular tembaga itu merupakan simbol dari Tuhan Yesus yang telah mengorbankan diri-Nya sampai mati di kayu salib. Tuhan Yesus bersabda dalam Yohanes 3:14-15, “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Kesembuhan dari orang yang memandang ular tembaga merupakan gambaran dari keselamatan yang diperoleh oleh setiap orang yang mempercayai pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib untuk menyelamatkan orang berdosa. Janganlah ragu untuk memercayai pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib agar murka dan hukuman Allah terhenti dan diganti dengan anugerah yang melimpah dari Allah Bapa, kasih dari Tuhan Yesus Kristus, dan pertolongan dari Allah Roh Kudus. Percayalah bahwa Tuhan Yesus menanti agar kita datang kepada-Nya! [GI Roni Tan]

Ketaatan Lebih Dari Hasil

Bilangan 20

Kebiasaan bersungut-sungut adalah salah satu kelemahan bangsa Israel. Dalam Bilangan 20, orang Israel kembali bersungut-sungut karena tidak memiliki tempat untuk menabur, tidak ada pohon ara, anggur, dan delima, serta tidak ada air. Mereka menilai tempat mereka sebagai tempat celaka (20:5). Sungut-sungut mereka didengar Tuhan dan Musa. Tuhan memastikan bahwa mereka akan mendapat air untuk diri mereka dan untuk ternak mereka. Mereka akan mendapat air dari dalam bukit batu yang akan mengeluarkan air yang melimpah. Air ini sangat cukup untuk memuaskan rasa haus mereka, dan ternak mereka akan mendapat minum. Perintah Tuhan kepada Musa sangat jelas, yaitu agar ia mengumpulkan orang Israel dan berkata pada bukit batu untuk mengeluarkan air. Air pasti akan keluar dari bukit batu itu. Sayangnya, yang dilakukan Musa tidak tepat seperti yang diperintahkan Tuhan. Pertama, setelah Musa dan Harun mengumpulkan orang Israel, yang dikatakan Musa adalah, “Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, ...” (20:10). Perkataan itu berfokus pada dirinya sendiri, padahal saat itu ia sedang mewakili Tuhan. Kedua, Musa menyapa orang Israel sebagai orang durhaka. Sapaan ini bukanlah sapaan yang diperintahkan Tuhan. Ketiga, Musa memukul bukit batu, padahal yang diperintahkan Tuhan hanyalah agar Musa berkata saja kepada bukit batu itu agar mengeluarkan air. Memang benar bahwa air keluar dari bukit batu dan orang Israel beserta ternak mereka bisa minum. Akan tetapi, hasil (keluarnya air) tidak berarti bahwa ketidaktaatan (memukul bukit batu) bisa diterima. Kadang-kadang kita bisa bersikap seperti Musa: Kita mendengar atau mengetahui firman Tuhan, tetapi kita menerapkan dengan cara yang semaunya, menurut cara yang kita anggap sebagai paling benar. Kita beranggapan bahwa yang paling penting adalah hasil. Adanya hasil kita anggap sebagai tanda bahwa Allah berkenan terhadap diri kita. Tidak mengherankan bila kita bisa memakai cara apa pun untuk mendapatkan hasil. Akan tetapi, kisah yang kita baca pada hari ini menunjukkan bahwa ketaatan lebih penting daripada hasil. Bila kita taat, hidup kita pasti berkenan kepada Allah. Jadi, ketaatan lebih penting daripada hasil. Mana yang lebih penting bagi Anda: ketaatan terhadap kehendak Allah atau pemenuhan keinginan Anda? [GI Roni Tan]