Jangan Menduakan Allah

Ulangan 18

Mengapa Allah melarang orang Israel meniru berbagai macam praktik supranatual yang biasa dilakukan oleh orang Kanaan seperti mempersembahkan anak sebagai korban dalam api, bertenung, meramal, menelaah, menyihir, memantera, bertanya kepada arwah atau roh peramal, serta meminta petunjuk kepada orang mati (18:9-11)? Praktik-praktik yang dilakukan orang-orang Kanaan tersebut merupakan tindakan menyembah kepada ilah-ilah yang bukan Allah. Orang-orang itu menggantikan Allah yang merupakan Pencipta langit bumi dan segala isinya dengan ilah-ilah yang bukan Allah. Orang-orang yang mencari hubungan dengan arwah atau roh-roh supranatural telah menghina Allah yang seharusnya menjadi Sumber dari segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Oleh karena itu, Allah memandang perbuatan-perbuatan orang-orang Kanaan di atas sebagai kekejian, sehingga Ia menghukum mereka dengan membinasakan dan menghalau mereka dari tanah Kanaan (18:12). Orang-orang Israel yang mencari jawaban, pertolongan, atau petunjuk dari arwah atau setan yang berkedok roh-roh pintar, sudah menduakan Allah dengan mengikatkan diri kepada roh-roh yang merupakan setan-setan. Mereka melanggar hukum pertama: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Keluaran 20:3).
Orang-orang yang mencari petunjuk atau pertolongan dari kuasa-kuasa gelap atau setan adalah orang-orang yang tidak sungguh-sungguh percaya bahwa Allah lebih berkuasa dari kuasa gelap atau setan, padahal Ialah yang menciptakan segala sesuatu. Dalam Perjanjian Baru, setan-setan mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah yang berkuasa dan mereka takut kepada-Nya (Matius 8:28-32). Orang-orang yang mencari petunjuk dan pertolongan dari kuasa-kuasa gelap ingin mendapatkan jawaban atau solusi masalah mereka dengan cepat. Mereka tidak percaya bahwa Allah sanggup dan mau menolong mereka pada waktu yang tepat.
Walaupun kuasa gelap kelihatannya bisa memberi solusi, sebenar-nya orang yang mencari pertolongan dari kuasa gelap akan diperbudak dan membayar harga yang sangat mahal. Mula-mula, seakan-akan mereka bisa mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, selanjutnya mereka akan diperhamba oleh setan. Kebaikan dan pertolongan sejati hanya datang dari Allah saja (Yakobus 1:17). [GI Wirawaty Yaputri]

Berbuat Adil

Ulangan 16:18-17:20

Mudahkah berbuat adil di dalam kehidupan kita sehari-hari? Tidak mudah, bahkan dapat dikatakan sangat sulit! Sistem dunia yang jahat membuat manusia sering kali sulit berbuat adil. Berbuat adil semakin sulit untuk dilakukan setelah seseorang memiliki kekuasaan atau otoritas. Kekuasaan yang dimiliki membuat seseorang dapat dengan mudah menyelewengkan keadilan. Orang-orang yang berada di bawah kuasa atau otoritas orang tersebut tidak akan mampu protes atau berbuat apa-apa selain menerima perbuatan tidak adil yang dilakukan atasan mereka. Namun, di mata Tuhan, berbuat tidak adil adalah dosa.
Allah memerintahkan agar orang Israel mengangkat hakim-hakim karena mereka tinggal tersebar di Tanah Kanaan. Allah memerintahkan agar ibadah dilakukan di tempat yang Ia pilih kelak, yaitu di Yerusalem. Di sana, ada imam-imam, orang-orang Lewi, dan hakim-hakim. Mereka akan memutuskan perkara yang terlalu sukar untuk diputuskan oleh hakim-hakim lokal (17:8-9). Namun, perkara sehari-hari diputuskan oleh hakim-hakim di daerah masing-masing. Allah ingin agar semua hakim memutuskan perkara dengan benar. Tidak memutarbalikkan keadilan, dan tidak menerima suap (16:18-19). Allah yang Adil tidak dapat menerima orang-orang yang melakukan ketidakadilan. Pada waktu seseorang melakukan ketidakadilan, ada orang lain yang dianiaya, dirugikan, atau ditindas hak-hak mereka. Allah tidak ingin orang Israel melakukan hal-hal tersebut kepada orang lain. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa hukum yang kedua adalah perintah untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:39). Ketika seseorang melakukan ketidakadilan, tindakan tersebut menunjukkan bahwa dia tidak mengasihi sesamanya, melainkan menindas mereka. Perlakuan tidak adil ini dibenci oleh Allah.
Apakah Anda sudah berbuat adil di dalam hidup Anda? Ketika hak orang-orang lain ada di bawah kekuasaan Anda, apakah Anda sudah berbuat adil kepada mereka? Sebaliknya, saat Anda memiliki kuasa, apakah Anda justru dengan seenaknya tidak memberikan apa yang menjadi hak orang lain (misalnya dengan terlambat membayar gaji pegawai)? Apakah Anda mudah mengambil apa yang menjadi hak orang lain? Apakah Anda selalu memutuskan perkara dengan adil, atau Anda justru menindas orang yang lemah? [GI Wirawaty Yaputri]

Hari Raya Utama

Ulangan 16:1-17

Ada tiga hari raya utama yang ditegaskan Allah untuk dilakukan oleh orang Israel. Mengapa Allah memerintahkan agar orang Israel melakukan ketiga perayaan utama tersebut? Tujuannya adalah agar orang Israel senantiasa mengingat perbuatan Allah di masa lampau (16:3b, 12). Orang-orang Israel yang akan masuk ke tanah Kanaan adalah generasi baru yang mungkin belum pernah melihat atau mengalami perbuatan Tuhan di masa lampau. Hari-hari raya ini menjadi sangat penting bagi mereka. Hari raya apa saja yang diperintahkan Allah untuk mereka rayakan?
Pertama, Hari Raya Roti Tidak Beragi. Hari raya ini dimaksudkan agar bangsa Israel mengingat bahwa Allah telah membawa mereka keluar dari Tanah Mesir. Hari raya ini berkaitan dengan peringatan Paskah bagi Allah. Pada bulan pertama penanggalan mereka, pada hari ke-14 sore, mereka mengadakan Paskah bagi Tuhan. Pada hari ke-15, selama 7 hari, mereka harus memakan roti yang tidak beragi, memper-sembahkan korban api-apian. Pada hari ke-7, mereka mengadakan perkumpulan raya (16:8, bandingkan dengan Imamat 23:5-8). Kedua, Hari Raya Tujuh Minggu. Hari raya ini diperingati tujuh minggu setelah orang mulai menyabit gandum yang belum dituai. Hari raya ini merupakan hari raya ucapan syukur atas panen yang diberkati Tuhan. Pada hari raya ini, orang Israel membawa persembahan sukarela kepada Tuhan, sesuai dengan berkat Tuhan yang telah mereka terima (Ulangan 16:9-10). Ketiga, Hari Raya Pondok Daun. Hari raya ini diadakan setelah orang Israel selesai mengumpulkan hasil pengirikan gandum dan pemerasan anggur, mulai dari hari pertama (Sabat) sampai hari ke-8 (Sabat berikutnya) (16:13-15). Selama hari raya ini, orang Israel mengambil waktu untuk beristirahat dan menikmati berkat Tuhan. Hari raya ini dimulai dengan istirahat penuh dan ditutup pula dengan istirahat penuh. Tujuan dari hari raya ini adalah untuk mengingat dan bersyukur atas pemeliharaan Tuhan dalam hidup mereka selama mereka mengembara di padang gurun (bandingkan dengan Imamat 23:39).
Semua hari raya agamawi itu penting bagi iman kita. Hari raya tidak boleh dilakukan sebagai sekadar rutinitas belaka, melainkan harus kita pahami maknanya. Melalui hari-hari raya, kita kembali mengingat perbuatan Tuhan bagi kita yang telah terjadi di masa lampau. [GI Wirawaty Yaputri]

Kemurahan Hati

Ulangan 15

Allah yang murah hati ingin agar orang Israel yang telah menerima kemurahan-Nya belajar untuk bermurah hati kepada orang lain. Tuhan Yesus juga mengajarkan tentang kemurahan hati, misalnya di Matius 5:7. Sikap murah hati kepada orang lain sangat disukai Tuhan, sehingga Ia berjanji akan memberkati orang yang murah hati (Ulangan 15:10, 18). Sebaliknya, keengganan berlaku murah hati terhadap orang lain adalah dosa di mata Tuhan (15:9). Tuhan tidak menginginkan orang Israel berlaku serakah dengan menikmati berkat Tuhan bagi diri sendiri saja dan mengabaikan orang lain yang membutuhkan.
Ada dua hal yang diperintahkan Allah kepada orang Israel untuk dilakukan: Pertama, menghapus hutang sesama umat Tuhan pada tahun penghapusan hutang. Setiap akhir tujuh tahun dari masa yang ditentukan Tuhan, orang Israel yang berpiutang (meminjamkan uangnya) kepada sesama orang Israel harus menghapus hutang tersebut, tetapi piutang kepada orang asing boleh ditagih (15:1-5). Inilah bentuk pemeliharaan Allah kepada orang Israel sesuai dengan perjanjian yang Ia adakan dengan mereka. Dengan demikian, ketaatan kepada Allah akan membuat orang Israel tidak mengalami kekurangan. Sebaliknya, Tuhan ingin memakai orang Israel untuk menjadi berkat bagi sesamanya. Kedua, Allah memerintahkan agar orang Israel memerdekakan atau membebaskan sesama orang Israel yang menjadi budak mereka pada tahun ketujuh. Saat budak itu pergi, tuan rumah harus membekali dia dengan murah hati sesuai dengan berkat yang telah diterimanya dari Allah (15:12-14). Mengapa orang Israel harus membebaskan budaknya pada tahun ketujuh? Karena orang Israel pernah menjadi budak di Mesir dan mereka telah ditebus oleh Tuhan, sehingga mereka dapat hidup dengan sejahtera di Tanah Perjanjian (15:15). Mereka tidak boleh melupakan kebaikan Tuhan yang telah mereka terima. Allah berjanji akan memberkati usaha mereka di masa depan (15:18).
Pada zaman ini, tidak mudah bagi kita untuk meminjamkan uang kepada orang lain. Kita juga tidak lagi memiliki budak. Konteks zaman kita sudah sangat berbeda dengan konteks zaman Musa. Akan tetapi, prinsip yang diajarkan firman Tuhan tetap berlaku: Berkat Tuhan yang diberikan kepada kita bukan untuk kita nikmati sendiri secara egois, melainkan agar kita bisa menjadi saluran berkat. [GI Wirawaty Yaputri]

Ketika Allah Terasa Jauh

Mazmur 10

Apa yang biasanya kita lakukan saat kita menjumpai kenyataan bahwa pelanggaran/kejahatan tetap tidak bisa ditindak sekalipun sudah diperhadapkan dengan hukum? Mungkin, kita akan mulai mempertanyakan pihak yang berwenang, bahkan mempertanyakan otoritas dari hukum yang berlaku. Hal semacam inilah yang sempat dipertanyakan oleh Daud kepada Allah, “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh dan menyembunyikan diri-Mu pada waktu-waktu kesesakan?” (10:1). Keluhan Daud didasarkan atas kenyataan yang dialaminya. Ia menjumpai orang fasik yang seakan-akan menari-nari di atas kenyataan bahwa ada Allah yang menghakimi dunia. Orang fasik ini digambarkan sebagai orang yang congkak dan penuh tipu daya (10:2). Mereka sombong dan berani menista Tuhan (10:3). Mereka berpikir bahwa mereka aman dari penghakiman Allah (10:4, 6, 11). Tindakan-tindakan mereka selalu berhasil (10:5). Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, tipu dan kelaliman (10:7). Mereka menindas orang yang lemah dan orang yang tidak bersalah untuk kepentingan mereka sendiri (10:8-10).

Umumnya, orang bisa menjadi bersikap skeptis (ragu-ragu, kurang percaya) terhadap penegakan hukum saat melihat kejahatan dan pende-ritaan yang terjadi di sekitarnya. Bahkan, skeptisisme ini dapat membuat orang mempertanyakan keberadaan Allah. Argumennya: Allah yang baik dan mahakuasa tidak mungkin membiarkan kejahatan terjadi. Oleh karena itu, adanya kejahatan menunjukkan bahwa Allah yang baik dan mahakuasa itu tidak ada. Akan tetapi, Daud tidak bersikap seperti itu. Sekalipun Daud merasa bahwa Allah itu jauh (10:1), Daud tetap berseru kepada Allah agar Allah menghajar orang-orang yang berbuat kejahat-an (10:15). Ia percaya bahwa Allah melihat—termasuk melihat kesusahan dan sakit hati—dan akan bertindak adil (10:14a). Allah tidak hanya melihat, tetapi Ia juga memasang telinga untuk mendengarkan serta menguatkan orang yang tertindas (10:17). Mengapa? Supaya keadilan dinyatakan dan setiap manusia menyadari keterbatasannya dan kedu-dukannya yang sebenarnya di hadapan Allah (10:18).

Sering kali mudah bagi kita untuk menuduh Allah meninggalkan atau menyembunyikan wajah-Nya dari ketidakadilan yang terjadi di dunia ini. Akan tetapi, percayalah bahwa sesungguhnya Allah melihat, mendengar, dan akan mengulurkan tangan-Nya. [GI Michele Turalaki]

Sang Pelindung

Mazmur 9

Ketika diperhadapkan dengan kesesakan, kesengsaraan dan penindasan dari musuh, kondisi kita bagaikan seorang anak kecil yang diganggu oleh segerombolan anak berbadan besar, berharap dirinya memiliki bodyguard (pengawal atau pelindung) yang dapat melindunginya. Kehadiran seorang bodyguard akan membuatnya merasa aman, lega, dan terbebas dari situasi yang menghimpitnya. Sayang sekali, umumnya seorang bodyguard dipekerjakan untuk melindungi mereka yang beruang atau terkemuka. Lalu, bagaimana dengan kita yang hanya “orang biasa” ini, siapakah yang dapat melindungi kita dari setiap situasi yang menyesakkan? Siapakah yang dapat kita andalkan?

Melalui Mazmur 9 ini, kita melihat ucapan syukur dan nyanyian sukacita pemazmur (9:2-3), bahkan ajakan untuk bermazmur (9:12). Mengapa? Di dalam kesesakan, kesengsaraan, dan penindasan yang dialaminya dari musuh-musuhnya, pemazmur mendapati bahwa Allah adalah Pelindung dan Pembela yang dapat diandalkan (9:4-5, 14). Jika para hakim dunia berpihak kepada mereka yang dapat menyuapnya dengan sejumlah uang, Allah adalah Hakim yang adil yang menghakimi dunia dengan keadilan serta mengadili bangsa-bangsa dengan kebenar-an (9:5, 9). Di dunia ini, umumnya mereka yang beruang memperoleh perhatian istimewa. Akan tetapi, Allah tidak melupakan teriakan mereka yang tertindas maupun mereka yang miskin (9:13, 19).

Bukankah apa yang disaksikan pemazmur ini menjadi sebuah berita baik bagi kita? Di tengah kesesakan, kesengsaraan serta penin-dasan yang membelenggu kita, kita dapat bernafas lega dan merasa aman. Mengapa? Ada Pribadi yang dapat kita andalkan sebagai Pelindung dan Pembela kita. Pribadi itu bukanlah sosok yang biasa saja. Dialah TUHAN, Raja yang bertakhta untuk selama-lamanya dan yang menghakimi dengan adil (9:8-9, 17). Kelegaan ini hanya akan dialami oleh setiap orang yang mengenal nama-Nya, percaya kepada-Nya dan yang mencari Dia karena Allah tidak akan meninggalkan orang-orang yang demikian (9:11). Jika saat ini, Anda seakan-akan tercekik oleh berbagai tekanan dan himpitan, ingatlah bahwa Allah lebih kuat dari musuh terkuat mana pun. Ia adalah tempat perlindungan bagi orang yang terinjak, tempat perlindungan pada waktu kesesakan (9:10). [GI Michele Turalaki]

Mengenal Diri dan Mengagumi Allah

Mazmur 8

Mazmur 8 diawali dan diakhiri dengan pujian terhadap keagungan nama Allah (8:2, 10). Pujian itu mengapit rangkaian ungkapan kekaguman pemazmur akan posisi manusia dalam ciptaan. Jelas bahwa setiap pernyataan didasarkan pada kisah penciptaan yang termuat dalam permulaan Kitab Kejadian. Dalam mazmur ini, kejatuhan dalam dosa digemakan secara tersirat dalam ungkapan “lawan”, “musuh” dan “pendendam” (8:3). Keheranan pemazmur pertama-tama timbul dari perbandingan antara kebesaran alam semesta dengan manusia (8:4-5). Secara khusus, yang membuat pemazmur merasa heran adalah perhatian Allah kepada manusia yang begitu kecil di dalam alam raya yang demikian besar (8:5). Selanjutnya, ia juga heran dan kagum saat merenungkan kuasa dan hak istimewa atas ciptaan non-manusia yang diberikan kepada manusia (8:6-9). Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah diberi nilai yang lebih tinggi dari ciptaan lain, dan diberi kuasa atas segala binatang darat, air, dan udara.

Walaupun Mazmur 8 semula dimaksudkan untuk dinyanyikan oleh bangsa Israel, di dalamnya tersirat bahwa yang dibicarakan bukan hanya bangsa Israel, melainkan umat manusia secara umum. Secara khusus, dalam terang Perjanjian Baru, kita menemukan bahwa Yesus Kristus adalah gambaran manusia sejati yang ideal yang dimahkotai dengan kehormatan dan kemuliaan setelah menderita, mati, dan bangkit sebagai perwakilan manusia berdosa (bandingkan dengan Ibrani 2:6-9).

Kira-kira lima abad yang lampau, John Calvin memulai tulisan mahakaryanya dengan dua pernyataan yang bersifat paradoks, “Tanpa pengenalan akan diri sendiri, tidak ada pengenalan akan Allah. Tanpa pengenalan akan Allah, tidak ada pengenalan akan diri sendiri”. Kedua pernyataan itu tepat dan menunjukkan betapa pentingnya pengenalan akan Allah dan diri sendiri. Dalam kaitan dengan Mazmur 8, boleh dikatakan bahwa manusia tidak akan memahami kebesaran Allah tanpa melihat betapa kecilnya dirinya. Renungkanlah betapa kecil dan tidak berartinya diri kita dan betapa luar biasanya Allah yang mau mengasihi dan mengindahkan kita yang demikian kecil. Dengan terus-menerus merenungkan hal ini, kita akan terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang penuh kerendahan hati dan juga penuh dengan kekaguman yang akan meluap keluar lewat pujian yang tulus kepada Allah. [GI Williem Ferdinandus]

Tuhan adalah Hakim yang Adil

Mazmur 7

Mazmur 7 perlu dibaca secara bersebelahan dengan Mazmur 6. Dalam Mazmur 6, sang pemazmur mengalami penderitaan karena dirinya telah melakukan kesalahan yang mendatangkan murka dan pendisiplinan Allah. Dalam Mazmur 7, pemazmur mengemukakan bahwa dirinya mengalami masalah, padahal dia merupakan pihak yang tidak bersalah.

Seperti dalam Mazmur 6, dalam Mazmur 7 pun, pemazmur merasakan ancaman dari lawan yang digambarkan seperti singa yang berupaya untuk menerkam dirinya (7:2-3). Lalu, apa yang dilakukan oleh pemazmur dalam menghadapi situasi seperti itu? Ia membawa perkara-nya ke hadirat Allah dan berupaya untuk mengemukakan ketidakber-salahannya (7:4-6). Klaim ketidakbersalahan itu diikuti dengan kesiapan menanggung konsekuensi jika ternyata ia ditemukan bersalah. Pemazmur meyakini bahwa sifat Tuhan adalah adil (7:10, 12). Ia percaya bahwa Tuhan adalah Hakim atas segala bangsa, dan hal itu berarti bahwa Tuhan juga merupakan Hakim atas dirinya dan musuhnya (7:7-9). Ia tahu bahwa Allah bukan hanya memeriksa perbuatan yang kelihatan, namun juga memeriksa sampai kepada batin yang terdalam (7:10). Oleh karena itu, dia percaya bahwa ia akan ditemukan sebagai orang yang tulus ikhlas (7:9). Sementara itu, akan terungkap bahwa lawannya penuh dengan kejahatan dan kelaliman (7:15). Atas dasar keadilan Allah, ia percaya bahwa ia akan luput dari kejaran musuh, sedangkan rancangan musuh akan digagalkan dan bahkan akan dibalikkan kepada mereka sebagai wujud hukuman Allah (7:16-17).

Dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa, tidak jarang kita mengalami masalah yang bukan disebabkan oleh kesalahan kita. Bayangkanlah perundungan (bullying) yang dialami oleh anak yang “lemah” di sekolah, permusuhan dari partner di tempat kerja, serta persekusi dari orang yang berbeda keyakinan sebagai contoh tindakan permusuhan yang bisa jadi timbul tanpa adanya kesalahan dari pihak “korban”. Jika Anda sedang mengalami situasi seperti itu, bawalah perkara tersebut ke hadapan Tuhan kita. Mengeluhlah kepada-Nya, dan mintalah keadilan dari Tuhan. Hakim yang adil itu akan menunjukkan keadilan-Nya, baik secara langsung di dunia ini sekarang atau menyimpannya untuk penghakiman akhir kelak. [GI Williem Ferdinandus]

Kasihani Aku, Tuhan!

Mazmur 6

Dalam Alkitab, kerap kali kita menemukan bahwa Allah menghukum umat-Nya yang telah berdosa dan menjauh dari-Nya. Misalnya, dalam Kitab Hakim-hakim, kita membaca bagaimana bangsa Israel jatuh ke dalam siklus berulang. Mereka berpaling dari Allah dan menyembah berhala. Kemudian, Allah mengirim bangsa lain untuk menjajah mereka. Saat tertindas, mereka mengeluh dan memohon ampun serta meminta pertolongan Allah. Allah menolong dengan mengirimkan seorang hakim. Setelah era hakim tersebut berakhir, Israel kembali berpaling kepada berhala. Demikianlah siklus itu terus berulang dalam sejarah Israel.

Ternyata, siklus semacam itu bukan hanya terjadi dalam kehidup-an bangsa Israel, namun juga bisa terjadi dalam kehidupan setiap orang. Ada kalanya kesalahan tertentu langsung diganjar Tuhan dengan pendi-siplinan yang bertujuan untuk mengarahkan umat-Nya agar kembali kepada-Nya. Dalam Mazmur 6, pemazmur menjerit karena penderitaan yang merupakan pendisiplinan Allah. Kemungkinan, pemazmur menghadapi lawan/musuh (6:8-9, 10) yang membuatnya sakit secara fisik dan tertekan secara psikis (kejiwaan). Ia sadar bahwa segala kesulitan yang ia hadapi sesungguhnya bersumber dari murka Allah (6:2). Ia tahu bahwa Allah yang menunjukkan murka-Nya adalah Allah yang akan menyelamatkan Dia. Oleh karena itu, mazmur tersebut penuh dengan permohonan agar Allah mengasihani, menyembuhkan, meluputkan, dan menyelamatkan pemazmur (6:3, 5). Lewat penutup mazmur ini, kita menemukan bahwa permohonan pemazmur tidak sia-sia karena doa dan keluhannya telah didengar oleh Tuhan (6:9-11).

Jelaslah bahwa setiap permasalahan atau pergumulan yang kita hadapi tidak bisa langsung kita tafsirkan sebagai bentuk pendisiplinan Allah (ingat kisah Ayub). Kita tidak boleh langsung menyimpulkan bahwa penyakit, bencana, permusuhan dari orang sekitar adalah bentuk hukuman Allah. Akan tetapi, pada saat yang sama, kita perlu kepekaan untuk menyadari bahwa dosa tertentu memang bisa mendatangkan konsekuensi yang wajar. Seandainya ada pelanggaran yang menyebabkan kita mengalami tekanan dan permasalahan tertentu, kita perlu bertobat dan segera datang kepada Allah. Mintalah dengan sungguh pengampunan dan pertolongan dari-Nya, maka niscaya Ia akan mendengar! [GI Williem Ferdinandus]

Mengeluh Menghadapi Kebohongan

Mazmur 5

Pada tahun 2016, Kamus Oxford menjadikan kata “pasca kebenaran (post-truth)” sebagai kata tahun ini (word of the year). Istilah “Paska kebenaran” kerap dipakai untuk menggambarkan kondisi sosial di selu-ruh dunia. Pada masa lampau, benar salahnya sebuah pernyataan dinilai berdasarkan bukti dan fakta obyektif. Akan tetapi, pada masa kini, orang menilainya berdasarkan perasaan subyektif. Misalnya, dalam 10 tahun terakhir, berdiri 3 gedung gereja di tempat yang penduduknya mayoritas non-Kristen. Orang-orang tertentu yang terganggu berkata, “semakin banyak gereja berdiri di sini dan kita semua akan terlibas.” Benar tidak-nya pernyataan tersebut tidak dinilai berdasarkan data yang teramati (misalnya: berapa tepatnya jumlah orang yang berpindah keyakinan), tetapi berdasarkan opini dan sentimen emosional saat melihat dan merasakan perubahan yang terjadi dalam 10 tahun terakhir. Dalam era pasca kebenaran, hoaks dan ujaran kebencian menjamur di mana-mana. Celakanya, perkembangan teknologi membuat hoaks dan ujaran kebencian itu menyebar cepat dan semakin menambah sentimen emosional masyarakat banyak. Kita semua hidup dalam era seperti ini!

Dalam Mazmur 5, tampak bahwa pemazmur sangat terganggu oleh para lawannya. Secara berulang-ulang dan mendesak, ia mengeluh kepada Tuhan (5:2-4). Perhatikan bahwa sebagian besar kejahatan yang ia keluhkan berhubungan dengan perkataan yang tidak benar. Ia meyakini bahwa Allah bersikap anti terhadap pembual, pembohong, penipu, orang munafik, dan orang yang perkataannya mematikan (5:5-7,10). Dalam kondisi semacam itu, pemazmur mengingat anugerah Allah dan melekatkan diri kepada-Nya (5:8-9). Ia mengekpresikan imannya melalui keyakinan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan akan senantiasa dilindungi Allah (5:12-13).

Dalam menghadapi hoaks dan ujaran kebencian, pertama-tama kita harus berdoa. Mendahulukan doa bukanlah berarti pasifisme (tidak menyuarakan atau melakukan apa pun untuk melawan kebohongan), te-tapi doa menolong kita untuk membereskan hati lebih dahulu di hadap-an Allah. Reaksi terhadap hoaks yang emosional hanya membuat upaya kita sia-sia, bahkan bisa makin memperburuk sentimen emosional yang telah ada. Hanya orang yang mempercayai keadilan dan perlindungan Allah yang dapat menghadapi hoaks dengan kepala dingin. [GI Williem Ferdinandus]