Mengenal Diri dan Mengagumi Allah

Mazmur 8

Mazmur 8 diawali dan diakhiri dengan pujian terhadap keagungan nama Allah (8:2, 10). Pujian itu mengapit rangkaian ungkapan kekaguman pemazmur akan posisi manusia dalam ciptaan. Jelas bahwa setiap pernyataan didasarkan pada kisah penciptaan yang termuat dalam permulaan Kitab Kejadian. Dalam mazmur ini, kejatuhan dalam dosa digemakan secara tersirat dalam ungkapan “lawan”, “musuh” dan “pendendam” (8:3). Keheranan pemazmur pertama-tama timbul dari perbandingan antara kebesaran alam semesta dengan manusia (8:4-5). Secara khusus, yang membuat pemazmur merasa heran adalah perhatian Allah kepada manusia yang begitu kecil di dalam alam raya yang demikian besar (8:5). Selanjutnya, ia juga heran dan kagum saat merenungkan kuasa dan hak istimewa atas ciptaan non-manusia yang diberikan kepada manusia (8:6-9). Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah diberi nilai yang lebih tinggi dari ciptaan lain, dan diberi kuasa atas segala binatang darat, air, dan udara.

Walaupun Mazmur 8 semula dimaksudkan untuk dinyanyikan oleh bangsa Israel, di dalamnya tersirat bahwa yang dibicarakan bukan hanya bangsa Israel, melainkan umat manusia secara umum. Secara khusus, dalam terang Perjanjian Baru, kita menemukan bahwa Yesus Kristus adalah gambaran manusia sejati yang ideal yang dimahkotai dengan kehormatan dan kemuliaan setelah menderita, mati, dan bangkit sebagai perwakilan manusia berdosa (bandingkan dengan Ibrani 2:6-9).

Kira-kira lima abad yang lampau, John Calvin memulai tulisan mahakaryanya dengan dua pernyataan yang bersifat paradoks, “Tanpa pengenalan akan diri sendiri, tidak ada pengenalan akan Allah. Tanpa pengenalan akan Allah, tidak ada pengenalan akan diri sendiri”. Kedua pernyataan itu tepat dan menunjukkan betapa pentingnya pengenalan akan Allah dan diri sendiri. Dalam kaitan dengan Mazmur 8, boleh dikatakan bahwa manusia tidak akan memahami kebesaran Allah tanpa melihat betapa kecilnya dirinya. Renungkanlah betapa kecil dan tidak berartinya diri kita dan betapa luar biasanya Allah yang mau mengasihi dan mengindahkan kita yang demikian kecil. Dengan terus-menerus merenungkan hal ini, kita akan terbentuk menjadi pribadi-pribadi yang penuh kerendahan hati dan juga penuh dengan kekaguman yang akan meluap keluar lewat pujian yang tulus kepada Allah. [GI Williem Ferdinandus]