Mengeluh Menghadapi Kebohongan

Mazmur 5

Pada tahun 2016, Kamus Oxford menjadikan kata “pasca kebenaran (post-truth)” sebagai kata tahun ini (word of the year). Istilah “Paska kebenaran” kerap dipakai untuk menggambarkan kondisi sosial di selu-ruh dunia. Pada masa lampau, benar salahnya sebuah pernyataan dinilai berdasarkan bukti dan fakta obyektif. Akan tetapi, pada masa kini, orang menilainya berdasarkan perasaan subyektif. Misalnya, dalam 10 tahun terakhir, berdiri 3 gedung gereja di tempat yang penduduknya mayoritas non-Kristen. Orang-orang tertentu yang terganggu berkata, “semakin banyak gereja berdiri di sini dan kita semua akan terlibas.” Benar tidak-nya pernyataan tersebut tidak dinilai berdasarkan data yang teramati (misalnya: berapa tepatnya jumlah orang yang berpindah keyakinan), tetapi berdasarkan opini dan sentimen emosional saat melihat dan merasakan perubahan yang terjadi dalam 10 tahun terakhir. Dalam era pasca kebenaran, hoaks dan ujaran kebencian menjamur di mana-mana. Celakanya, perkembangan teknologi membuat hoaks dan ujaran kebencian itu menyebar cepat dan semakin menambah sentimen emosional masyarakat banyak. Kita semua hidup dalam era seperti ini!

Dalam Mazmur 5, tampak bahwa pemazmur sangat terganggu oleh para lawannya. Secara berulang-ulang dan mendesak, ia mengeluh kepada Tuhan (5:2-4). Perhatikan bahwa sebagian besar kejahatan yang ia keluhkan berhubungan dengan perkataan yang tidak benar. Ia meyakini bahwa Allah bersikap anti terhadap pembual, pembohong, penipu, orang munafik, dan orang yang perkataannya mematikan (5:5-7,10). Dalam kondisi semacam itu, pemazmur mengingat anugerah Allah dan melekatkan diri kepada-Nya (5:8-9). Ia mengekpresikan imannya melalui keyakinan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan akan senantiasa dilindungi Allah (5:12-13).

Dalam menghadapi hoaks dan ujaran kebencian, pertama-tama kita harus berdoa. Mendahulukan doa bukanlah berarti pasifisme (tidak menyuarakan atau melakukan apa pun untuk melawan kebohongan), te-tapi doa menolong kita untuk membereskan hati lebih dahulu di hadap-an Allah. Reaksi terhadap hoaks yang emosional hanya membuat upaya kita sia-sia, bahkan bisa makin memperburuk sentimen emosional yang telah ada. Hanya orang yang mempercayai keadilan dan perlindungan Allah yang dapat menghadapi hoaks dengan kepala dingin. [GI Williem Ferdinandus]