Hidup yang Berkenan kepada Allah

1 Tesalonika 4:1-12

Apakah hidup Anda berkenan kepada Allah? Apakah hidup yang berkenan kepada Allah itu hanya berkaitan dengan masalah ibadah? Apakah orang yang rajin beribadah di gereja, rajin berdoa, dan rajin membaca Alkitab sudah pasti hidupnya berkenan kepada Allah? Walaupun benar bahwa hidup yang berkenan kepada Allah itu menyangkut kedekatan relasi dengan Allah, relasi yang sehat dengan Allah pasti terungkap dalam hubungan dengan sesama:
Pertama, hidup yang berkenan kepada Allah pasti melalui proses pengudusan (4:3-8). Dalam Perjanjian Baru—khususnya dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat Rasul Paulus—orang-orang percaya sering disebut sebagai orang-orang kudus. Sebutan ini menunjuk kepada status orang percaya yang telah dikuduskan melalui karya penebusan Kristus di kayu salib. Status dikuduskan ini harus direalisasikan melalui proses pengudusan tingkah laku yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Salah satu aspek pengudusan adalah menjauhi percabulan. Hubungan seks tidak boleh dilakukan secara bebas, melainkan hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita. Selain itu, hubungan seks harus dilandasi oleh penghargaan atau penghormatan, bukan dilandasi oleh keinginan memuaskan hawa nafsu. Hal ini berarti bahwa orang percaya tidak boleh meniru gaya hidup orang-orang yang tidak mengenal Allah. Ingatlah bahwa praktik penyembahan berhala yang dilakukan orang-orang non-Yahudi pada masa itu sering kali disertai dengan praktik seks bebas. Apakah Anda sudah menjalani hidup dalam kekudusan?
Kedua, hidup yang berkenan kepada Allah tercermin dalam kasih terhadap sesama (4:9-12). Bila tidak waspada, kecenderungan menguta-makan kepentingan diri sendiri akan menyingkirkan kasih terhadap sesama, padahal saling mengasihi adalah ciri pengikut Kristus. Ungkapan kasih persaudaraan bukan hanya bisa dilakukan melalui perhatian dan pemberian kepada orang lain, tetapi juga harus dilakukan dengan menjalani hidup yang bertanggung jawab yang membuat kita tidak menjadi beban bagi orang lain. Sebagai contoh, bila kita tidak mau bekerja, kita memerlukan bantuan orang lain, sehingga kita menjadi beban bagi orang yang menyayangi kita. Apakah mengasihi orang lain sudah menjadi gaya hidup Anda? [P]

Pelayanan yang Berkelanjutan

1 Tesalonika 3

Pelayanan misi seharusnya tidak boleh dipandang sebagai pelayanan “tabrak-lari”, melainkan pelayanan yang berkelanjutan. Walaupun pelayanan Rasul Paulus di Tesalonika telah menghasilkan munculnya suatu jemaat teladan (1:7), Rasul Paulus tidak beranggapan bahwa pelayanannya di sana telah selesai. Dia ingin memastikan bahwa jemaat Tesalonika sanggup mempertahankan iman saat berhadapan dengan orang-orang yang memusuhi kekristenan (3:5). Untuk melengkapi pelayanannya, Rasul Paulus melakukan dua hal:
Pertama, dia mengutus Timotius untuk mendampingi, menguatkan, dan membina iman jemaat (3:2). Saat Timotius kembali dengan membawa kabar baik tentang iman jemaat Tesalonika, Rasul Paulus—yang sedang mengalami kesesakan dan kesukaran—merasa terhibur (3:6-7). Rasul Paulus mengungkapkan perasaannya dengan perkataan yang sangat mengesankan, “Sekarang kami hidup kembali, asal saja kamu teguh berdiri di dalam Tuhan.” (3:8). Bagi Rasul Paulus, pelayanan misi bukan hanya sekadar kewajiban, melainkan beban hati yang serius. Sukacitanya bukan muncul bila dia dianggap sudah melakukan tugas dengan baik, melainkan sukacitanya muncul bila orang-orang yang dia layani terus bertumbuh dalam iman sehingga sanggup mengatasi semua tantangan iman yang mereka hadapi. Ia amat rindu bertemu dengan jemaat Tesalonika, bukan supaya dia bisa menerima penghormatan atas jasa-jasanya, tetapi supaya dia bisa menambahkan apa yang masih kurang dalam hal iman jemaat (3:10). Jelas bahwa Rasul Paulus melayani dengan segenap hati.
Kedua, dia mendoakan jemaat (3:10-13). Bila kita memperhatikan isi doa Rasul Paulus, jelas bahwa doa tersebut berkaitan dengan tiga ciri penting yang harus ada dalam setiap jemaat, yaitu iman (3:10), kasih (3:12), dan pengharapan (3:13). Sebenarnya, ketiga ciri itu sudah terlihat dalam kehidupan jemaat di Tesalonika (1:3). Akan tetapi, kedalaman iman kita, keluasan penerapan kasih kita, serta ketekunan pengharapan kita perlu untuk terus dipertahankan, bahkan perlu dikembangkan.
Apakah Anda dan gereja Anda telah terlibat dalam pelayanan misi yang berkelanjutan? Pelayanan misi seharusnya bukan tugas gereja besar saja, melainkan tugas semua orang percaya. Misi gereja adalah tugas besar yang harus dikerjakan bersama, baik melalui dukungan dana, keikutsertaan secara aktif, maupun melalui doa. [P]

Sukacita dalam Pelayanan

1 Tesalonika 2:13-20

Apakah pelayanan Anda mendatangkan sukacita? Penghalang utama kemunculan sukacita dalam pelayanan adalah pandangan bahwa pelayanan merupakan sarana memperoleh keuntungan. Walaupun Rasul Paulus berhak mendapat dukungan materi, dia memilih untuk bekerja keras—sebagai tukang kemah—agar dia tidak menjadi beban bagi jemaat yang ia layani (2:9). Bagi Rasul Paulus, orang-orang yang dia layani adalah sumber sukacita (2:20). Sukacita itulah yang membuat ia bisa bertahan menghadapi kesukaran dan penderitaan dalam pelayanan. Bila Anda memandang pelayanan sebagai sekadar beban yang tidak mendatangkan sukacita, pelayanan Anda tidak akan bertahan lama.
Bila Anda menempati posisi Rasul Paulus, apa yang akan Anda sampaikan kepada Allah dalam doa Anda? Perhatikan bahwa dalam doanya, Rasul Paulus tidak mengeluh karena mengingat kesusahan yang ia alami, melainkan ia selalu mengucap syukur kepada Allah saat mengingat keterbukaan jemaat dalam merespons berita Injil yang mengubah hidup mereka (1:2-3; 2:13). Rasul Paulus mengingatkan jemaat Tesalonika bahwa yang menderita bukan hanya mereka, tetapi juga orang Kristen Yahudi di Yudea yang dimusuhi oleh orang-orang Yahudi yang menentang—bahkan telah membunuh—Kristus (2:14-15). Bagi orang Kristen, mengalami penderitaan karena Kristus bukan hanya wajar, tetapi juga merupakan suatu karunia (Filipi 1:29).
Sukacita dalam pelayanan adalah buah kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya (Galatia 5:22). Kehadiran Roh Kudus mengubah cara pandang orang percaya terhadap kehidupan. Umumnya, seseorang bersukacita bila ia memperoleh keuntungan materi. Akan tetapi, kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya membuat sumber sukacita paling utama bukanlah keuntungan materi, melainkan munculnya buah rohani dalam pelayanan. Tak mengherankan bila Rasul Yohanes berkata, “Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran.” (3 Yohanes 1:4). Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus mengatakan, “Sebab siapakah pengharapan kami atau sukacita kami atau mahkota kemegahan kami di hadapan Yesus, Tuhan kita, pada waktu kedatangan-Nya, kalau bukan kamu?” (1 Tesalonika 2:19). Apakah Anda pernah mengalami sukacita dalam pelayanan? [P]

Melayani untuk Menyukakan Allah

1 Tesalonika 2:1-12

Saat membaca perjalanan misi Rasul Paulus yang penuh dengan tantangan dan penderitaan, mungkin kita bertanya-tanya, mengapa ia bersedia mengalami semua kesulitan tersebut? Apakah ia mencari keuntungan? Tidak! Bila ia mencari keuntungan, ia tidak akan bisa bertahan saat menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan, bahkan penderitaan. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus mengatakan bahwa motivasi pelayanannya adalah untuk menyukakan hati Allah, bukan untuk menyukakan manusia (2:4). Apa saja yang dilakukan oleh Rasul Paulus untuk menyukakan hati Allah?
Pertama, Rasul Paulus berjuang memberitakan Injil dengan berani dan setia walaupun ia harus menghadapi orang-orang yang menentang pemberitaan Injil (2:16). Semangatnya tidak kendor walaupun ia berkali-kali harus masuk penjara (2 Korintus 6:5), seperti yang terjadi saat ia memberitakan Injil di kota Filipi (Kisah Para Rasul 16:19-24). Kedua, Rasul Paulus melayani dengan hati yang tulus. Ia tidak memiliki maksud tersembunyi (mencari keuntungan bagi diri sendiri) dan ia tidak mencari pujian (1 Tesalonika 2:5-6). Ketiga, Rasul Paulus bersikap seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawat orang yang dilayaninya dengan penuh kasih (2:7-8). Kasih membuat ia melayani bukan hanya dengan kata-kata saja, melainkan melalui seluruh hidupnya. Keempat, Rasul Paulus seperti seorang ayah yang dengan tekun menasihati anak-anaknya satu per satu (2:11-12; bandingkan dengan Kolose 1:28-29). Kelima, Rasul Paulus memiliki kerinduan yang besar—dan selalu mencari kesempatan—untuk melayani jemaat (1 Tesalonika 2:17-18). Dia bukan hanya menunggu kesempatan baik untuk melayani, melainkan ia memakai setiap kesempatan untuk melayani.
Bacaan Alkitab hari ini mengingatkan kita agar kita memakai setiap kesempatan untuk melayani. Pelayanan tidak boleh dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan atau agar kita dihargai oleh para pejabat gereja, melainkan agar hidup kita menyenangkan hati Allah. Oleh karena itu, jangan melayani hanya saat kita memiliki waktu luang, melainkan luangkanlah waktu untuk melayani. Janganlah kita melayani hanya saat keadaan kondusif, melainkan manfaatkanlah setiap kesempatan untuk melayani. Janganlah melayani hanya melalui kata-kata saja, melainkan kita harus melayani melalui seluruh hidup kita. Pelayanan apa yang sedang Anda lakukan saat ini? [P]

Gereja Teladan di Tengah Tantangan

1 Tesalonika 1

Jemaat Tesalonika adalah jemaat yang luar biasa! Jemaat itu dilayani oleh Rasul Paulus dalam waktu yang relatif singkat dan dalam situasi yang tidak kondusif karena diganggu oleh orang-orang Yahudi yang tidak menyukai keberhasilan pemberitaan Injil. Mungkin saja, kita menduga bahwa gereja di Tesalonika tidak akan bertahan lama. Akan tetapi, dugaan itu salah! Jemaat Tesalonika justru menunjukkan tiga ciri penting yang harus ada dalam setiap jemaat, yaitu iman yang membuat mereka bertindak meninggalkan praktik penyembahan berhala, kasih yang membuat mereka melayani Allah dengan gairah dan kesungguhan, serta pengharapan akan kedatangan Kristus yang kedua kali yang membuat mereka sanggup bertekun saat menghadapi tantangan dan hambatan (1:3,8-10). Kondisi di atas membuat Rasul Paulus selalu mengucap syukur setiap kali mendoakan jemaat Tesalonika (1:2).
Rasul Paulus meyakini bahwa jemaat Tesalonika adalah orang-orang pilihan Allah karena ia telah melihat buah dari pemberitaan Injil yang ia lakukan. Jemaat Tesalonika telah teruji melalui ujian berupa penderitaan yang berat. Mereka merespons firman Tuhan dengan cara yang benar, yaitu melalui tindakan ketaatan, sehingga mereka memperoleh sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus (1:4-6). Perlu dicamkan bahwa bila tidak ada pekerjaan Roh Kudus, penderitaan pasti membuat jemaat Tesalonika merasa tertekan, bukan bersukacita. Respons jemaat Tesalonika itu membuat mereka menjadi teladan bagi semua orang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya (1:7).
Bacaan Alkitab hari ini mengajarkan beberapa hal penting bagi gereja: Pertama, misi gereja seharusnya didasarkan pada kepekaan terhadap pimpinan Roh Kudus, bukan didasarkan pada munculnya situasi yang kondusif bagi pemberitaan Injil. Kedua, keberhasilan pemberitaan Injil ditentukan oleh keterbukaan saat mendengarkan firman Tuhan, dan keterbukaan ini merupakan hasil pekerjaan Roh Kudus (bandingkan dengan Yohanes 16:8). Ketiga, gereja yang ingin menjadi teladan harus memiliki tiga ciri penting, yaitu iman yang menghasilkan tindakan, kasih yang mengobarkan gairah dan kesungguhan, serta pengharapan yang menghasilkan ketekunan saat menghadapi kesukaran dan penderitaan. Pada masa sukar yang disebabkan oleh munculnya pandemi Covid-19, apakah Anda dan gereja Anda tetap mengembangkan kepekaan terhadap pimpinan Roh Kudus? [P]

Mempengaruhi Pemerintah

Roma 13:1-7

Rasul Paulus mengungkapkan secara tidak berbelit-belit bahwa pemerintah yang berkuasa adalah hamba Allah untuk kebaikan warga negara (13:4). Melalui suratnya yang lain, Rasul Paulus mengungkapkan bahwa Allah memberikan panggilan yang berbeda kepada setiap orang, misalnya panggilan untuk menjadi rasul, nabi, pemberita Injil, gembala, pengajar (Efesus 4:11). Istilah gembala di sini tidak digunakan dalam pengertian sempit, yaitu hanya menunjuk kepada orang yang memangku jabatan gerejawi sebagai gembala jemaat atau pendeta. Para penguasa disebut pula sebagai gembala (2 Samuel 5:2) yang berperan untuk melakukan yang terbaik bagi kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya (Yehezkiel 34:3-6).
Alkitab menyatakan bahwa Allah memberi kemampuan atau bakat yang berbeda-beda kepada setiap orang. Misalnya, Daud memiliki bakat dalam seni musik (1 Samuel 16:18). Selain itu, Sang Khalik membe-rikan karunia rohani menurut kehendak-Nya (Roma 12:6). Karunia rohani dianugerahkan hanya kepada orang yang percaya kepada Kristus (1 Korintus 12:4) untuk kepentingan bersama (1 Korintus 12:7) dan untuk membangun tubuh Kristus (Efesus 4:11-15). Allah mungkin pula memanggil orang percaya untuk berkarya sebagai pejabat pemerintahan atau sebagai pemimpin dalam dunia politik. Allah memberi kemampuan dan karunia rohani yang tepat supaya pribadi yang Allah utus dapat menjalankan tanggung jawab menurut panggilan-Nya.
Alkitab juga menyingkapkan bahwa orang percaya hendaknya mengembangkan bakat dan karunia rohani—yang telah Allah berikan—semaksimal mungkin (Matius 25:14-30). Setiap murid Kristus tertanam dan bertumbuh dalam gereja, keluarga, serta sekolah Kristen. Dengan demikian, ketiga lembaga tersebut semestinya membantu setiap murid untuk menemukan dan mengembangkan semua kemampuan serta karunianya. Akan tetapi, banyak orang Kristen yang cenderung memberi batasan bahwa generasi penerus gereja tidak boleh berkarya dalam bidang politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia berdosa telah menyalahgunakan kekuasaan yang ia miliki. Namun, Alkitab berkata, “Pemerintah adalah hamba Allah” (Roma 13:4). Apakah yang gereja, keluarga, dan sekolah Kristen dapat lakukan untuk mendukung terwujudnya panggilan Allah itu? [ECW]

Tanggung Jawab Mendoakan Pemimpin

1 Timotius 2:1-7

Dalam bahasa asli Perjanjian Baru—yaitu bahasa Yunani—Rasul Paulus menggunakan empat kata untuk doa dalam 2:1, yaitu permohonan, doa, doa syafaat, dan ucapan syukur. Akan tetapi, dalam Alkitab bahasa Indonesia, kata kedua—yang merupakan kata umum untuk doa—tidak disebut. Dalam bacaan Alkitab hari ini, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Rasul Paulus mendorong jemaat untuk mengucap syukur dan mendoakan pemerintah. Bila para pejabat pemerintah adalah orang-orang yang baik, mudah bagi kita untuk bersyukur dan mendoakan mereka. Akan tetapi, bila para pejabat pemerintah adalah para penguasa yang jahat, apakah kita juga perlu bersyukur dan mendoakan mereka?
Saat Rasul Paulus menulis surat 1 Timotius, pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah Romawi. Pada masa itu, Kaisar Romawi serta para gubernur yang memimpin wilayah bersikap menindas terhadap orang Kristen. Sebagai contoh, Rasul Paulus didera dan dipenjara di Filipi tanpa melalui proses peradilan yang adil (Kisah Para Rasul 16:19-24). Kristus pun mengalami sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, gubernur Romawi pada masa itu. Walaupun situasi seperti itu, Rasul Paulus menasihati pembaca surat 1 Timotius untuk mendoakan semua orang, termasuk mendoakan para penguasa Romawi (2:2). Saat ini, jelas bahwa umat Kristen juga harus bersyukur dan mendoakan pemerintah yang berkuasa, lepas dari kepuasan penilaian publik terhadap kinerja dan sikap sang pemimpin, serta lepas dari posisi atau pilihan politik pribadi. Kita harus mendoakan para pemimpin karena tindakan mendoakan itu memuliakan Allah (2:3). Bila kita ingin hidup berkenan kepada Allah yang telah menebus manusia melalui pengorbanan Kristus (2:6), seharusnya kita tekun berdoa bagi pemerintah, walaupun para pejabat negara belum tentu bertindak secara baik dan benar. Melalui doa kepada Allah, kita memohon agar para penguasa diberi hikmat dan hati yang baik untuk mendatangkan ketenangan serta ketenteraman bagi rakyat (2:2). Allah juga menghendaki agar orang yang belum percaya dapat diselamatkan (2:4). Melalui doa orang percaya, semoga Allah memberikan anugerah-Nya, sehingga mereka yang belum mengenal Allah menjadi percaya kepada Kristus. Apakah Anda tekun mendoakan pemerintah? [ECW]

Tanggung Jawab Sebagai Utusan

Yohanes 17:15-19

Melalui doa Kristus bagi para murid, kita mengetahui bahwa setiap murid Kristus “bukan dari dunia”, sama seperti Kristus yang juga “bukan dari dunia” (17:16). Artinya, karakter, perilaku, pola pikir, dan keinginan para murid hendaknya tidak sama dengan orang-orang yang tidak percaya, namun semakin serupa dengan Sang Mesias. Akan tetapi, ketika para murid hendak menerapkan keinginan Kristus, mereka menghadapi berbagai tantangan dari dunia dengan segala sistemnya, dari orang-orang yang tidak mengenal Allah, serta dari iblis yang selalu siap untuk menerkam bagaikan seekor singa (1 Petrus 5:8). Walaupun begitu, Kristus tidak menginginkan para murid diambil dari dunia (17:15). melainkan justru mengutus para murid ke dalam dunia (17:18). Kristus berseru kepada Allah Bapa agar para murid dilindungi dari segala sesuatu yang jahat (17:15).
Di satu sisi, sebagai murid Kristus, kita memiliki tanggung jawab untuk menjalankan tugas sebagai utusan Kerajaan Allah di tengah dunia. Di sisi lain, sebagai warga negara, kita mempunyai tanggung jawab untuk berkarya yang terbaik bagi negeri ini. Kedua tanggung jawab tersebut tidak bisa dipisahkan karena saling berkait erat. Sebagai murid Kristus di negara ini, sudah semestinya kita melaksanakan tugas dan panggilan-Nya terhadap diri kita melalui setiap karya nyata di negara ini. Tidak boleh ada pemisahan antara yang rohani atau yang sakral dengan yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, pekerjaan, maupun profesi (Kejadian 2:15, Roma 12:1). Hidup dalam kebenaran firman-Nya, menya-takan dan mencerminkan kasih serta kebaikan-Nya, memberitakan Injil dan kebenaran-Nya secara nyata dalam setiap aktivitas merupakan kontribusi yang diharapkan untuk diberikan oleh setiap murid Kristus. Hal ini semakin mendesak di saat banyak penderitaan dialami masyarakat oleh karena pandemi covid-19.
Masalah dan kesulitan dialami oleh semua orang, termasuk murid Kristus. Mungkin kita merasa tidak berdaya. Bagaimana kita bisa melaksanakan tanggung jawab di atas? Pertama, mintalah hikmat kepada Allah Bapa yang melindungi kita (17:15). Kedua, pupuklah komunitas para murid Kristus yang saling menguatkan untuk bersama-sama mewujudkan tugas panggilan-Nya. [ECW]

Garam dan Terang bagi Bumi Pertiwi

Matius 5:13-16

Pada hari ini, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, tepat tiga perempat abad yang lalu. Biasanya, peringatan suatu hari jadi kellipatan angka lima akan dirasakan lebih spesial. Meskipun demikian, peringatan Proklamasi Kemerdekaan ke-75 dari negara kita pada tahun ini tidak dapat dipisahkan dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh pandemi covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia. Saat renungan ini dalam tahap penulisan, jumlah orang yang dinyatakan positif menderita covid-19 sudah lebih dari 18.000 orang. Namun sewaktu para pembaca sedang menggunakan bahan renungan ini, jumlah penderita pastilah telah bertambah. Perekonomian nasional di kuartal ketiga tahun 2020 masih menghadapi tantangan. Banyak pribadi, keluarga, dan masyarakat yang bergumul karena mengalami banyak kesulitan hari-hari ini.
Konteks khotbah di bukit yang dicatat di Injil Matius adalah tentang Kerajaan Surga atau Kerajaan Allah. Apakah ciri-ciri dari Kerajaan Allah? Bagaimanakah gaya hidup dari orang-orang yang menjadi anggota Kerajaan-Nya itu? Matius 5:13-14 sesungguhnya mengungkapkan keberadaan setiap murid Kristus yang merupakan warga Kerajaan Allah. Mereka adalah garam dan terang dunia. Apabila kita menyadari keberadaan diri kita dengan benar, kita akan lebih mampu bertindak sesuai dengan keberadaan diri kita tersebut. Sebagai contoh, apabila saya menyadari bahwa saya adalah seorang suami dan ayah, maka di tengah pandemi covid-19 ini, saya akan berusaha untuk menciptakan suasana yang kondusif di rumah, seperti memupuk komunikasi dua arah dengan istri maupun dengan anak.
Garam adalah mineral yang berfungsi untuk mencegah proses pembusukan daging, serta meningkatkan rasa suatu masakan. Terang tidak pernah hanya bersinar untuk dirinya sendiri, tetapi untuk lingkungan di sekitarnya. Renungkanlah, “Apakah saya adalah garam dan terang di dalam kehidupan ini?” Mulailah dengan memperhatikan orang-orang terdekat atau mereka yang dapat Anda jangkau. Apa yang dapat Anda lakukan untuk mengungkapkan kebaikan dan kebenaran, serta turut menegakkan kedamaian di kala bumi pertiwi menitikkan air mata pada hari proklamasi kemerdekaan ini? [ECW]

Sikap Mengucap Syukur

1 Samuel 30

Tuhan senantiasa campur tangan di dalam kehidupan Daud. Ia membawa Daud kembali ke jalan yang benar dengan belas kasihan. Bagi Daud, mungkin cara Tuhan bukan cara yang dia harapkan, tetapi kita bisa meyakini bahwa cara Tuhan pasti cara yang terbaik. Ia mem-bawa Daud kembali melalui penolakan para panglima Filistin, walaupun Akhis mendukungnya. Ketika Daud pergi meninggalkan Ziklag—yaitu daerah tempat tinggal Daud dan seluruh rombongannya— orang Amalek menyerbu ke sana. Mereka membawa dan menawan semua orang yang berada di sana, serta membakar Ziklag sampai habis (30:1-3). Peristiwa itu membuat Daud dan orang-orang yang ikut bersamanya merasa sangat terpukul dan bersusah hati. Mereka menangis karena begitu berduka (30:4). Daud bahkan hendak dilempari dengan batu oleh rakyat. Tampaknya, rakyat menyalahkan Daud karena ia telah mengajak mereka meninggalkan Ziklag. Allah menempatkan Daud dalam situasi yang sangat sulit untuk membuat Daud bergantung kepada-Nya dan mencari Dia dengan sungguh-sungguh.
Dalam situasi seperti itu, Daud menghampiri Tuhan. Ia menyadari bahwa hanya Tuhan yang mampu menolong dia dan orang-orang yang bersama dengan Dia. Di tengah ancaman maut, Daud menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN (30:6). Ia berdoa meminta petunjuk Tuhan. Tuhan menolong Daud sehingga Daud berhasil mengalahkan orang-orang Amalek. Semua tawanan dan segala yang dirampas orang Amalek berhasil diambil kembali, bahkan mereka bisa membawa pulang jarahan (30:20). Ini merupakan anugerah dan kebaikan Tuhan.
Ketika Daud kambali, ada 200 orang menyongsong dia. Mereka tidak ikut berperang karena kondisi fisik mereka terlampau lelah (30:10). Ada beberapa orang jahat yang tidak rela membagi jarahan yang mere-ka rampas, tetapi Daud tetap membagi hasil jarahan kepada mereka, karena ia sadar bahwa jarahan itu adalah pemberian Tuhan dan karena Tuhan sudah melindungi serta menolong mereka mengalahkan orang-orang Amalek (30:22-23). Inilah sikap yang benar dari seorang yang memercayai Tuhan. Semua yang kita miliki berasal dari Tuhan. Meskipun kita harus bekerja untuk mendapatkannya, namun bila Tuhan tidak memberi, kita tidak akan memperoleh apa pun. Ungkapkanlah rasa syukur Anda dengan menjadi berkat bagi orang lain! [WY]