Ketaatan

Yosua 11

Ketaatan adalah salah satu tema yang penting dalam Kitab Yosua. Setelah berlaku sembrono dalam hal mengadakan ikatan perjanjian dengan orang-orang Gibeon tanpa meminta keputusan TUHAN (9:14-15), Yosua dan para pemimpin Israel yang lain berlaku lebih hati-hati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Mereka berusaha menaati perintah Allah secara ketat. “Seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa, hamba-Nya itu, demikianlah diperintahkan Musa kepada Yosua dan seperti itulah dilakukan Yosua: tidak ada sesuatu yang diabaikannya dari segala yang diperintahkan TUHAN kepada Musa.” (11:15). Ketaatan merupakan suatu pilihan. Kita dapat memilih untuk taat melakukan semua perintah Tuhan atau memilih untuk tidak taat. Dalam kitab 1 Samuel, dikisahkan tentang ketidaktaatan Raja Saul. Pertama, karena tidak sabar menanti kedatangan Nabi Samuel yang akan bertindak sebagai imam, Saul bertindak sendiri mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan yang sebenarnya hanya boleh dilakukan oleh seorang imam. Ketidaktaatan Saul itu membuat TUHAN menolak dia dan mencopot dia dari kedudukannya sebagai seorang raja (1 Samuel 13:13-14). Kedua, Saul tidak menaati perintah Allah untuk membunuh semua orang Amalek beserta dengan seluruh ternaknya. Ia hanya membunuh ternak yang tidak berharga dan buruk, sedangkan Agag (raja Amalek) serta ternak yang berharga dan tambun tidak di bunuh. Kepada Nabi Samuel, Raja Saul berdalih bahwa dia tidak membunuh ternak yang berharga dan tambun karena hendak memakai ternak tersebut sebagai persembahan korban kepada Allah, padahal bagi Allah, ketaatan lebih penting daripada korban bakaran (1 Samuel 15:15,22). Sayang, Raja Saul tidak bertobat setelah menerima teguran TUHAN yang disampaikan melalui Nabi Samuel. Sikap Raja Saul ini bertolak belakang dengan sikap Yosua yang walaupun pernah gagal—untuk menaati perintah Allah—dalam hal membuat ikatan perjanjian dengan orang-orang Gibeon, namun kemudian berusaha menaati semua perintah TUHAN (Yosua 11:15). Ketaatan Yosua membuat bangsa Israel selalu berhasil memenangkan setiap pertempuran (11:16-17). Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, marilah kita berusaha untuk selalu berusaha menaati seluruh kehendak Allah. [GI Mathindas Wenas]

Kesetiaan Terhadap Janji

Yosua 10

Tindakan penduduk kota Gibeon membentuk ikatan persahabatan dengan bangsa Israel membangkitkan kemarahan suku-suku di sekitar kota Gibeon, sehingga suku-suku itu bersatu untuk memerangi orang-orang Gibeon. Ancaman tersebut membuat penduduk kota Gibeon merasa ketakutan dan memohon bantuan kepada bangsa Israel. Menarik untuk diperhatikan bahwa walaupun ikatan persahabatan dengan orang-orang Gibeon itu terjadi karena orang-orang Gibeon melakukan tipu muslihat, Yosua tetap mengerahkan tentaranya untuk membantu orang-orang Gibeon. Melalui sikap seperti itu, Yosua memperlihatkan integritasnya sebagai seorang pemimpin pilihan Tuhan yang memegang teguh perjanjian yang telah disepakati bersama. Sikap Yosua di atas mengajarkan beberapa hal kepada kita: Pertama, kita harus berlaku benar (baik) terhadap siapa pun, termasuk terhadap orang yang pernah bersalah terhadap diri kita. Yosua tetap mau menolong orang-orang Gibeon yang pernah menipu bangsa Israel karena adanya ikatan perjanjian di antara mereka. Kedua, kita harus melakukan apa yang benar dan berkenan kepada Tuhan. Bisa diduga bahwa kali ini, Yosua pasti bertanya dulu kepada Tuhan sebelum bertindak. Itulah sebabnya, Tuhan berfirman, "Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyerahkan mereka kepadamu.” (10:8b). Ketiga, walaupun Yosua pernah melakukan kesalahan saat mengikat perjanjian dengan orang-orang Gibeon, Allah tetap memberi kemenangan kepada bangsa Israel. Dengan demikian, Allah menunjukkan bahwa Yosua tetap merupakan orang pilihan di hadapan-Nya. Pengalaman Yosua dalam hubungan dengan orang-orang Gibeon menunjukkan bahwa seorang pemimpin Kristen pun merupakan manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Oleh karena itu, bila suatu saat kita melakukan kesalahan, kesalahan itu harus segera diperbaiki serta jangan dibiarkan merusak pelayanan, pekerjaan, dan kehidupan rohani kita. Jangan biarkan perbuatan jahat orang lain terhadap diri Anda membuat Anda menjadi ikut berbuat jahat (berdosa). Dalam segala keadaan, berusahalah agar kehidupan Anda berkenan kepada Tuhan. Ingatlah nasihat Rasul Paulus, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” (Kolose 3:23). [GI Mathindas Wenas]

Kebohongan orang orang Gibeon

Yosua 9

Ada kebohongan yang spontan dan ada kebohongan yang terencana. Dalam bacaan Alkitab hari ini, orang-orang Gibeon melakukan berbagai kebohongan yang sudah direncanakan dengan amat baik, yang membuat mereka berhasil mengikat perjanjian dengan bangsa Israel. Mereka mengirim utusan yang menyamar sebagai rombongan yang datang dari negeri yang jauh (memakai pakaian dan kasut yang buruk, membawa roti yang telah mengeras dan tinggal remah-remah, serta memakai kirbat anggur yang telah robek), padahal sebenarnya mereka tinggal sangat dekat. Puncak kebohongan mereka adalah perkataan, "Dari negeri yang sangat jauh hamba-hambamu ini datang karena nama TUHAN, Allahmu, sebab kami telah mendengar kabar tentang Dia, yakni segala yang dilakukan-Nya di Mesir, dan segala yang dilakukan-Nya terhadap kedua raja orang Amori itu ...” (9:9b-10a). Perhatikan bahwa mereka menyebut diri mereka sebagai, “hamba-hambamu”, padahal mereka adalah suku setempat yang harus dibasmi. Iblis adalah bapa segala dusta (Yohanes 8:44). Dusta yang dilakukan oleh orang-orang Gibeon membuat Yosua dan bangsa Israel terjebak oleh logika pemikiran orang-orang Gibeon, sehingga mereka memutuskan untuk mengikat perjanjian dengan orang-orang Gibeon. Kesalahan Yosua dan bangsa Israel adalah bahwa mereka membuat keputusan untuk mengikat perjanjian hanya berdasarkan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar, tanpa bertanya dulu kepada Tuhan. Mereka memutuskan bukan berdasarkan iman! Perhatikan adanya dua kontras menarik, yaitu: Pertama, orang-orang Gibeon memakai nama Tuhan untuk memperdaya Yosua dan bangsa Israel, sedangkan Yosua dan bangsa Israel tidak melibatkan Tuhan (memutuskan berdasarkan akal saja). Kedua, orang-orang Gibeon mengatakan bahwa mereka diutus oleh para tua-tua mereka dan membawa misi dari para tua-tua tersebut. sedangkan Yosua dan orang-orang Israel lupa bahwa mereka diutus Tuhan dan membawa misi Tuhan, sehingga mereka melanggar firman Tuhan karena tidak bertanya kepada Tuhan. Bacaan Alkitab hari ini mengingatkan kita bahwa Iblis dapat memakai berbagai tipu muslihat untuk menjatuhkan kita. Oleh karena itu, kita harus mengandalkan Tuhan dan selalu mewaspadai tipuan dunia ini. Jangan mengandalkan akal Anda yang terbatas! [GI Mathindas Wenas]

Ketaatan Menghasilkan Kemenangan

Yosua 8

Ketidaktaan selalu mengandung konsekuensi, sedangkan ketaatan menghasilkan reward (hadiah) atau berkat. Ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masalah ketaatan: Pertama, Ketaatan adalah cara untuk mengungkapkan bahwa kita mempercayai Allah. Kegagalan dari penyerangan pertama ke kota Ai membuat Yosua dan bangsa Israel merasa gentar (7:1-9). Dalam kondisi seperti itu, Tuhan berfirman kepada Yosua, "Janganlah takut dan jangan-lah tawar hati; bawalah seluruh tentara dan bersiaplah, majulah ke Ai. Ketahuilah, Aku serahkan kepadamu raja negeri Ai, rakyatnya, kotanya dan negerinya, dan haruslah kaulakukan kepada Ai dan rajanya, seperti yang kaulakukan kepada Yerikho dan rajanya; hanya barang-barangnya dan ternaknya boleh kamu jarah.” (8:1b-2a). Lalu bersiaplah Yosua beserta seluruh tentara untuk pergi ke Ai (8:3a). Walaupun mereka baru saja dikalahkan saat menyerbu kota Ai, mereka tidak membantah saat diminta untuk menyerang kota Ai lagi. Mereka memercayai Allah sehingga mereka menaati perintah Allah. Kedua, Ketaatan adalah cara untuk menyaksikan Tuhan bekerja. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Allah mengajarkan suatu strategi perang agar Yosua dan seluruh tentara Israel bisa mengalahkan penduduk kota Ai dan rajanya. Sebagian tentara Israel bersembunyi di belakang kota, dan sebagian lagi menyerang dari depan untuk memancing agar tentara lawan mengejar dan meninggalkan kota. Saat tentara Ai meninggalkan kota, tentara Israel yang bersembunyi datang menyerang dan berhasil merebut kota tersebut (8:1-29). Dengan demikian, Yosua dan tentara Israel meraih kemenangan yang berasal dari Tuhan. Ketaatan Yosua dan tentara Israel kepada perintah Tuhan membuat mereka bisa melihat Tuhan berkarya memberikan kemenangan. Dalam hidup kita sebagai orang percaya, banyak hal yang telah terjadi. Bila kita merasa tidak bisa menyaksikan bagaimana Allah berkarya dalam hidup kita, hal itu pastilah disebabkan karena kita tidak bersedia untuk taat kepada kehendak-Nya. Ketaatan akan membuat kita bisa menyaksikan kepedulian Allah serta kasih Allah kepada kita dan keluarga kita. Ingatlah selalu bahwa yang Allah tuntut dari setiap orang percaya adalah ketaatan, yaitu kehidupan yang sesuai dengan firman-Nya. [GI Mathindas Wenas]

Tidak Seindah Kelihatannya

Markus 8:27-38

Dunia ini memiliki standarnya sendiri. Ketika pertama kali membaca pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias, saya terkagum-kagum. Pengakuan itu tidak pernah terpikir oleh para murid lain. Mengapa hanya Petrus yang berpikir seperti itu? Apakah Petrus adalah murid yang kerohaniannya paling dewasa? Apakah Petrus adalah satu-satunya yang dipilih untuk mendapatkan penyataan dari Bapa di Sorga? Petrus pasti orang yang istimewa! Apa standar yang saya pakai sehingga saya kagum terhadap Petrus?
Ketika Tuhan Yesus memarahi Petrus, kekaguman saya terhadap Petrus menjadi sirna dalam sekejap. Bagi Petrus, tidak semestinya Mesias menanggung banyak penderitaan, ditolak imam-imam kepala dan para ahli Taurat, bahkan mati dibunuh! Mesias seharusnya megah dan mulia! Bagaimana mungkin Mesias mengalami kesusahan seperti orang-orang terhukum? Mesias versi Petrus berbeda kriteria dengan versi Tuhan. Pengakuan Petrus tidak seindah pemahamannya. Kelihatannya, Petrus punya kualitas yang wow, tetapi ternyata pemahamannya dangkal. Kualitas Petrus tidak seindah apa yang nampak.
Ada yang lebih penting dari sekadar menilai kualitas seorang seperti Petrus. Sebagaimana Sang Mesias telah mengalami penderitaan, setiap pengikut Mesias juga harus mengalami penderitaan yang serupa. Pengikut Mesias harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Sang Mesias. Secara tidak langsung, Sang Mesias mengatakan bahwa setiap orang yang mau mengikut Dia harus rela kehilangan nyawanya karena Dia dan karena Injil.
Ternyata bahwa memiliki status sebagai anak Allah dan sebagai murid Kristus tidak otomatis menjamin adanya privilege (hak istimewa) yang dalam standar dunia seharusnya melekat pada status itu sendiri. Menjadi pengikut Kristus menghadapkan kita pada pilihan-pilihan sulit karena adanya pergolakan batin antara menuruti keingingan diri sendiri atau taat pada perintah Allah. Secara terang-terangan, Yesus Kristus mengatakan bahwa setiap orang yang mau mengikut Dia harus menyangkal diri dan memikul salib. Hidup tidak akan menjadi lebih mudah, bahkan mungkin lebih buruk (secara keuangan, kesejahteraan, kesehatan). Setiap hari kita harus belajar melepas ego. Menjadi murid tidaklah seindah sangkaan orang. Akan tetapi, kesusahan kita akan tertutup oleh kemuliaan yang akan kita terima di masa depan! [GI Mario Novanno]

Hati yang (Tetap) Degil

Markus 8:1-26

Perkataan “Lebih sulit bagi Tuhan untuk mengubah hati manusia dibandingkan menciptakan dunia ini” telah menyentak pikiran saya. Saya langsung memikirkan pemahaman teologis yang ada di balik perkataan tersebut. Beberapa waktu selanjutnya, secara otomatis saya menyetujui perkataan tersebut. Benar bahwa sangat sulit untuk mengubah hati manusia. Saya menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak saya mengulang berbagai kesalahan dengan sengaja. Bahkan, dengan jujur dan sedih saya harus mengakui bahwa saya juga sering mengulang kesalahan yang sama terhadap Bapa Sorgawi.
Berulang kali, Yesus Kristus memperlihatkan kuasa-Nya yang besar melalui mujizat dan tanda-tanda lainnya. Akan tetapi, berulang kali pula para murid gagal paham. Berselang belum terlalu lama, Tuhan Yesus melakukan mujizat dengan memberi makan 4.000 orang. Akan tetapi, karena para murid Tuhan Yesus hanya membawa sepotong roti, mereka menghubungkan pengajaran untuk berhati-hati dengan ‘ragi’ orang Farisi dan ’ragi’ Herodes dengan kekurangan makanan. Tuhan Yesus menegur mereka, “Mengapa kamu memperbincangkan soal tidak ada roti? Belum jugakah kamu faham dan mengerti? Telah degilkah hatimu? Kamu mempunyai mata, tidakkah kamu melihat dan kamu mempunyai telinga, tidakkah kamu mendengar?” (8:17b-18a). KBBI online mengartikan kata “degil” sebagai: (1) tidak mau menuruti nasihat orang; (2) keras kepala; (3) kepala batu. Kata “degil” ini sama artinya dengan kata “tegar tengkuk” (susah diajar, auban) yang berulang kali dipakai di dalam Perjanjian Lama untuk dikenakan pada bangsa Israel. Lebih mudah mengajar orang bodoh daripada mengajar orang degil
Tuhan itu panjang sabar. Dia tidak pernah memaksakan kehendak-Nya untuk mengubah kita, meskipun Dia mampu melakukan hal itu. Dia tidak mau menjadikan kita seperti robot. Dia tidak mau memprogram kita menjadi AI (Artificial intelligence). Robot dan AI punya pilihan yang terkalkulasi dengan baik. Tuhan tidak mau meneror kita dengan ancaman agar kita mau memahami dan melakukan kehendak-Nya. Dia menghendaki agar kita belajar mengasihi-Nya dengan kerelaan dan ketulushatian. Untuk menyingkirkan hati yang degil dan menjadi teachable (mau diajar), kita harus rendah hati serta mengakui dan membiarkan Tuhan menjadi Penguasa dalam hidup kita, agar kita dapat melihat dan memahami maksud Tuhan dengan (lumayan) jelas. [GI Mario Novanno]

Terserah Tuhan Bagaimana Baiknya

Markus 7:24-37

Kedatangan seorang perempuan Yunani dari bangsa Siro-Fenisia untuk menemui Yesus Kristus adalah peristiwa yang wajar (7:25-30). Sebaliknya, aneh bila Tuhan Yesus mengharapkan untuk bertemu banyak orang Yahudi di daerah Tirus. Okelah seandainya Yesus Kristus mau mengambil kesempatan untuk me-time (waktu untuk menyendiri), sehingga Ia enggan diganggu. Akan tetapi, perlukah Tuhan Yesus ‘menghina’ perempuan itu—yang putus asa karena anaknya dirasuk setan—hanya karena Ia merasa terganggu? Toh dengan kuasa-Nya, Yesus Kristus dapat menyembuhkan anaknya hanya dengan mengatakan satu kalimat saja? Pada zaman kita, Tuhan Yesus dapat dituduh sebagai bersikap rasis (Catatan: Berdasarkan konteks, jelas bahwa Tuhan Yesus pasti tidak bermaksud menghina dan bersikap rasis).
Lain lagi dengan penyembuhan tidak lazim yang Yesus Kristus la-kukan terhadap seorang yang tuli dan gagap (7:32-35). Tindakan Tuhan Yesus memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu masih dapat dimaklumi. Akan tetapi, meludah dan meraba lidah orang itu benar-benar “out of the box” (di luar dugaan). Tuhan Yesus bisa dianggap sebagai Tabib yang nyeleneh, bahkan jorok. Bukankah cukup bila Tuhan Yesus sekadar meletakkan tangan-Nya ke atas orang itu dan mendoakannya seperti permintaan yang diajukan kepada-Nya? (catatan: pasti Tuhan Yesus memiliki alasan mengapa Dia memakai cara yang dianggap jorok ini).
Jangan bersikap terlalu kritis terhadap tindakan Tuhan Yesus yang tidak biasa karena cara kerja Tuhan tak selalu bisa kita pahami, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” (Roma 11:34; bandingkan dengan Yesaya 40:13). Tindakan Tuhan pasti mendatangkan kebaikan seperti yang dialami oleh ibu yang anak perempuannya kerasukan setan serta orang yang tuli dan gagap. Cara Tuhan bertindak tak perlu dipersoalkan. Sekilas, pemikiran ini seperti menganggap hasil lebih penting daripada proses. Sama sekali tidak! Tidak ada proses yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap hukum Allah saat Tuhan Yesus menyembuhkan dengan cara yang tidak biasa. Masalah muncul bila kita menilai kebijaksanaan Tuhan dari perspektif kita berdasarkan standar manusia yang sudah tercemar. Walaupun ada berbagai usaha untuk menjelaskan mengapa Tuhan Yesus melakukan ini dan itu, kita akan mengerti sejelas-jelasnya saat kita bertanya langsung kepada-Nya kelak dalam kekekalan. [GI Mario Novanno]

Cara Menjadi Munafik

Markus 7:1-23

Tuhan Yesus mencap serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat yang khusus datang dari Yerusalem untuk menemui-Nya sebagai orang-orang munafik. Ciri-ciri orang munafik adalah: (1) hatinya jauh dari Tuhan, (2) mengabaikan perintah Allah, dan (3) mengajarkan perintah manusia.
Sebenarnya, berdasarkan akal sehat, adat istiadat yang menjadi dasar orang Farisi dan ahli Taurat mempertanyakan perbuatan bebera-pa murid Tuhan Yesus ketika makan tidaklah salah, bahkan baik. Mem-basuh tangan sebelum makan, membersihkan diri setelah pulang dari pasar, tidak makan dengan tangan najis adalah adat istiadat yang baik bila ditinjau dari berbagai segi (higienis, etiket, disiplin pribadi, dan seba-gainya). Akan tetapi, masalahnya adalah bahwa mereka menggantikan hal yang terbaik dengan hal yang baik. Hal yang baik menggeser hal yang terbaik. Perintah Allah adalah hal yang terbaik. Ajaran (adat istiadat) yang baik merebut posisi perintah Allah yang merupakan hal yang terbaik. Hal yang kurang baik (bila dibandingkan dengan yang terbaik) dianggap lebih penting dari hal yang terbaik. Mereka seharusnya mengetahui bahwa hal itu salah! Akan tetapi, mereka tetap melakukan-nya. Tuhan yang mereka sembah menjadi kurang penting dibandingkan dengan diri mereka sendiri. Itulah kemunafikan!
Mudah bukan mempertahankan ‘warisan’ yang dari zaman ke zaman dianggap sudah dari sananya begitu? Bukankah banyak orang memilih bersikap tidak peduli saat sadar bahwa ada yang salah dalam warisan itu? Fanatisme terhadap warisan diam-diam menjadi berhala, sehingga saat ditemukan ada nya pelencengan terhadap prinsip firman Tuhan pun, warisan itu tetap dipertahankan? Warisan itu bisa berwujud pola pikir, cara bersikap, rasa bersalah yang salah, cara berbisnis, hingga model pelayanan. Segala hal yang berlawanan dengan ‘warisan’ yang sudah disepakati—sebagai hukum tidak tertulis—secara otomatis menja-di sumber serangan bagi orang-orang tertentu yang menikmati status quo (apa yang dari dulu sudah seperti itu dan sedang berjalan terus). Masalahnya, banyak orang yang menikmati status quo, walaupun mereka sadar bahwa warisan itu salah karena menyingkirkan prinsip firman Tuhan. Bagi Tuhan Yesus, berlaku munafik bukan sekedar ’memakai topeng’. Menjadi munafik adalah mengaku beriman, tetapi mengganti firman Tuhan dengan hal lain. Berhati-hatilah! [GI Mario Novanno]

Hati yang Degil

Markus 6:30-56

Pernahkah Anda diam sejenak dan memikirkan perjalanan hidup yang telah Anda lalui sampai saat ini? Dalam hidup kita, berapa kali Tuhan bertindak saat kita berada dalam masa kritis, saat kita merasa tidak ada jalan keluar lagi dan kita menyerah? Walaupun kita mungkin pernah kecewa terhadap Tuhan, Tuhan tetap setia dan Ia berkenan mengangkat kita dari situasi terpuruk. Kita melihat hal itu sebagai mujizat dari Tuhan, tetapi hanya untuk kemudian melupakannya (lagi) karena kita masih merasa sanggup mengatasi masalah kehidupan yang sedang kita jalani (mirip dengan pengalaman Yakub dalam Kejadian 32-33).
Rasul-rasul telah melihat mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus Kristus kepada orang-orang lain, bahkan mereka telah mengalaminya sendiri. Ketika perahu mereka hampir tenggelam di tengah danau yang mengamuk, Tuhan Yesus menenangkan danau itu (Markus 4:35-41). Rasul-rasul itu juga telah membuktikan sendiri bahwa kuasa ajaib Yesus Kristus bisa bekerja dalam pelayanan yang dipercayakan kepada mereka (6:30, bandingkan dengan 6:12-13). Selanjutnya, mereka menjadi saksi mata dan mengalami (lagi) mujizat Yesus Kristus memberi makan 5.000 orang laki-laki (tidak termasuk perempuan dan anak-anak) hanya dengan 5 roti dan 2 ikan. Setelah mereka makan sampai kenyang, ternyata masih tersisa roti sebanyak 12 bakul penuh (6:35-44). Peristiwa itu pasti menjadi ketakjuban tersendiri bagi para rasul dan normal-normal saja jika mereka terus membahasnya. Siapakah Yesus Kristus ini? Kok bisa Dia melakukannya? Pertanyaan-pertanyaan ini wajar. Sayang-nya, berbagai peristiwa itu seperti hilang tidak berbekas dalam hidup mereka saat menghadapi kenyataan bahwa Yesus Kristus—Sang Pembuat mukjizat—dapat berjalan di atas air. Mereka sulit mempercayai kesanggupan Yesus Kristus! Hati mereka tetap degil!
Apakah pengalaman rasul-rasul di atas terulang dalam kita? Apakah kita sulit percaya bahwa Tuhan saat ini masih bisa melakukan mujizat dalam hidup kita? Jangan-jangan Anda telah melupakan mujizat yang pernah Anda alami sendiri sehingga Anda melupakan kesanggupan Tuhan. Ada baiknya bila Anda mengingat, menghitung, dan (sangat dianjurkan) mencatat mujizat-mujizat Tuhan dalam hidup Anda. Mulailah dengan mencatat kisah pertobatan pribadi diri Anda. Lanjutkanlah dengan mencatat pengalaman yang telah Anda alami sendiri, bukan sekadar mengingat apa yang pernah dialami oleh orang lain! [GI Mario Novanno]

Teguran, Menolong

Markus 6:14-29

Usia, status, posisi, prestasi, reputasi, jasa, kapasitas (kemampuan) merupakan atribut (ciri) yang melekat pada diri manusia. Atribut-atribut ini seringkali menentukan harga diri manusia. Jika tidak dikuduskan, harga diri hanya akan membuatnya anti dan merasa diri imun (kebal) terhadap masukan, kritikan, apalagi teguran. Padahal, tidak ada manusia yang sempurna. Siapa pun orangnya, selalu ada yang bisa dikritik dan ditegur. Faktanya, kritikan dan teguran yang positif—bahkan termasuk yang negatif pun—jika diterima secara sehat akan membuat seseorang menjadi lebih baik.
Yohanes Pembaptis menegur Herodes sehubungan dengan tindakan asusilanya karena mengambil Herodias, istri Filipus—saudaranya—menjadi istrinya sendiri. Tegoran Yohanes sebenarnya menggantikan suara hati nurani Herodes sendiri yang telah dia bungkam secara paksa. Perasaan lebih dari sisi usia, status, posisi, reputasi, jasa, dan kapasitas membuat Herodes menolak dan mengabaikan teguran Yohanes. Hasrat atau—lebih tepat—hawa nafsulah penyebab utama penolakan Herodes. Sebenarnya, terjadi konflik batin yang besar dalam diri Herodes. Di satu sisi, dia memenjarakan Yohanes karena ia tidak suka ditegur. Di sisi lain, ia sadar bahwa Yohanes adalah orang yang benar dan suci, sehingga Herodes melindunginya. Setiap kali mendengarkan Yohanes, hatinya selalu terombang-ambing. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Yohanes benar, tetapi sisi gelap dalam dirinya membuat ia mengeraskan hati. Herodes gagal ‘memanfaatkan’ teguran Yohanes untuk mengikis kebebalan hatinya sendiri. Herodes pertama-tama membiarkan hasratnya menguasai dirinya (bandingkan dengan Yakobus 1:14-15). Selanjutnya, Herodes membiarkan statusnya sebagai Penguasa dimanfaatkan Herodias untuk membunuh Yohanes.
Jangan bersikap anti teguran, khususnya teguran yang positif! Ambillah hal positif dalam teguran itu. Dengarkan pesan dalam teguran itu. Jangan-jangan Tuhan sedang berusaha menyampaikan sesuatu melalui orang lain! Bawalah hati Anda ke depan cermin. Perhatikan reaksi hati Anda saat menerima dan menanggapi teguran. Apakah Anda marah? Apakah Anda ingin membalas? Respons yang dilandasi oleh kemarahan dan keinginan membalas adalah respons yang buruk. Orang yang dewasa secara rohani akan menguji diri dengan memandang teguran sebagai alat ukur bagi kesehatan hatinya sendiri. [GI Mario Novanno]