Menolak, Menerima, & Imbasnya

Markus 6:1-13

Yesus Kristus datang ke dunia membawa pertentangan (Lukas 12: 51) dan pada akhirnya pemisahan. Tanggapan terhadap Yesus Kristus terbagi dalam dua kubu, yaitu kubu yang menerima dan kubu yang menolak. Tidak ada area abu-abu di antara keduanya. Tidak mungkin berdiri di tengah. Berdiri di tengah berarti menolak.
Yesus Kristus membuat takjub jemaat yang besar ketika Ia mengajar di rumah ibadat di tempat asal-Nya, yaitu Nazaret. Sayangnya, ketakjuban mereka tergeser oleh ketinggihatian yang membuat mereka menolak untuk mengakui bahwa Yesus Kritus memiliki keunggulan dan memang pantas untuk mengajar mereka. Penolakan itu membuat Yesus Kristus hanya menyembuhkan beberapa orang sakit di Nazaret, Jauh lebih sedikit daripada jumlah orang sakit yang disembuhkan di Kapernaum. Penolakan itu tidak merugikan diri-Nya, tetapi orang-orang Nazaret-lah yang rugi. Secara tidak langsung, Tuhan Yesus juga memberitahu para murid-Nya bahwa mereka juga akan menghadapi penolakan. Penolakan itu terlihat dari pesan berikut ini: “Kalau di suatu tempat kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari tempat itu. Dan kalau ada suatu tempat yang tidak mau menerima kamu dan kalau mereka tidak mau mendengarkan kamu, keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu yang di kakimu sebagai peringatan bagi mereka.” (6:10b-11). Lalu pergilah murid-murid dan Alkitab mencatat bahwa orang-orang yang menerima mereka mengalami berkat yang besar. Banyak orang mendengarkan berita pertobatan, dan banyak orang mengalami kesembuhan dari kerasukan setan dan dari sakit-penyakit mereka (6:12-13).
Kita mungkin sudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Akan tetapi, apakah setiap firman yang kita dengar kita terima dengan utuh dan dengan iman yang teguh, dan kita merespons dengan menguji setiap rencana yang kita pikirkan serta setiap keputusan yang kita buat berdasarkan firman Tuhan? Penerimaan atau penolakan terhadap firman-Nya pasti berimbas dalam hidup kita. Penerimaan akan membuat kita mengalami kebaikan dan kebesaran Tuhan, tetapi penolakan akan membuat kita menjauh dari Tuhan. Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk menerima setiap kebenaran firman Tuhan dengan iman yang teguh, termasuk kebenaran firman Tuhan yang terlihat seperti tidak masuk akal. [GI Mario Novanno]

Interupsi Ilahi

Markus 5:21-43

Salah satu hal yang terasa sangat menganggu adalah bila kita sedang terburu-buru, lalu tiba-tiba ada orang yang menghentikan langkah kita, kemudian—tanpa kepekaan dan rasa bersalah—menyita waktu kita dengan curhat-nya yang sangat panjang. Reaksi paling alami yang mung-kin kita ungkapkan adalah kita segera memutus percakapan tersebut dan melanjutkan apa yang menjadi agenda kita.
Tuhan Yesus diminta untuk segera datang ke rumah Yairus yang anaknya sedang kritis, hampir mati. Dia perlu bertindak cepat demi menyelamatkan anak itu. Dengan diiringi banyak orang yang berdesak-desakkan di dekat diri-Nya, Ia pergi ke tempat Yairus. Di tengah jalan, tiba-tiba Tuhan Yesus menghentikan langkah-Nya karena Dia merasa bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya. Dia mencari tahu siapa yang telah menjamah-Nya dengan bertanya kepada orang banyak, “Siapa yang menjamah jubah-Ku?” Pertanyaan ini aneh! Saat itu, orang banyak berdesak-desakkan sehingga pasti banyak orang yang tidak sengaja menyentuh jubah-Nya. Dia tak perlu secara khusus berhenti dan menghentikan gerakan beriringan orang banyak di tengah kondisi kritis anak Yairus. Sebagai kepala rumah ibadat, bila anaknya disembuhkan, Yairus pasti bisa memberi dukungan yang berarti terhadap pelayanan Tuhan Yesus. Akan tetapi, Tuhan Yesus berhenti dan—lebih aneh lagi—Dia mendengarkan dengan sabar penjelasan panjang lebar (perhatikan perkataan “segala sesuatu”, 5:33) dari perempuan yang telah sembuh karena menjamah jubah-Nya. Tuhan Yesus tidak meminta perempuan ini mempersingkat penjelasannya. Dia sengaja menyediakan waktu untuk mendengar. Akibatnya, ketakutan Yairus terwujud. Anak perempuannya mati. Akan tetapi, kisah ini berakhir dengan happy ending (5:35-42).
Tuhan tidak terburu-buru atau tergesa-gesa. Tuhan itu Mahatahu. Dia sudah tahu sebelum sesuatu terjadi pada diri kita. Dia mengerti hari esok kita. Akan tetapi, manusia itu terbatas. Rencana kita tidak selalu berjalan mulus. Saat rencana kita gagal, mungkin Tuhan sedang menyiapkan rencana lain yang lebih baik bagi diri kita, yang bisa saja kita pandang sebagai suatu interupsi (halangan atau rintangan). Akan tetapi, interupsi itu justru pada akhirnya memperlihatkan kesempurnaan rencana-Nya demi kebaikan kita. Bersediakah kita “diinterupsi” oleh Tuhan? Bersediakah kita menerima interupsi dari orang lain yang mungkin saja sebenarnya merupakan bagian dari agenda ilahi? [GI Mario Novanno]

Membayar Harga untuk Menyelamatkan

Markus 5:1-20

Pernahkah Anda mengerjakan sesuatu yang dianggap tidak signifikan (tidak penting) oleh orang lain? Suatu saat, komisi pemuda sebuah gereja menyelenggarakan retret di daerah Sukabumi. Yang menarik, peserta retret ’hanya’ 15 orang, 12 di antaranya adalah pengurus komisi pemuda itu. Mereka mengundang 8 anak muda yang terlatih (bukan anggoota gereja mereka) untuk melayani sebagai panitia, ditambah 2 orang pembicara. Perbandingannya, 8 orang melayani 15 orang dalam retret 3 hari 2 malam. Dari sisi efisiensi, retret ini terlihat sebagai suatu pemborosan. Tidak mengherankan bahwa ternyata gereja itu tidak mau menanggung seluruh biaya dan panitia diwajibkan menanggung sebagian biaya. Yang menarik, panitia bersedia menanggung kekurangan biaya itu dari uang mereka sendiri.
Tuhan Yesus pergi ke daerah orang Gerasa hanya untuk melayani satu orang yang kerasukan banyak setan. Perhatikan bahwa pelayanan ini hanya menjangkau satu orang saja! Demi orang itu, Tuhan Yesus bukan hanya rela memberi waktu, emosi, dan tenaga-Nya, melainkan ia merelakan 2.000 ekor babi yang nilainya milyaran rupiah sebagai pengganti bagi satu orang itu. Bagi masyarakat Gerasa, orang itu agaknya dianggap lebih baik mati saja daripada menjadi ancaman bagi setiap orang yang hendak melintas. Mereka beranggapan bahwa nilai 2000 ekor babi itu terlalu mahal untuk menjadi pengganti kesembuhan satu orang yang belum diketahui apakah setelah sembuh dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi daerah mereka. Apakah orang itu dapat memberikan keuntungan senilai keberadaan 2.000 babi itu?
Berapa harga yang harus kita bayar untuk membuat seseorang diselamatkan? Berapa harga yang harus kita bayar untuk memuridkan seseorang? Berapa harga yang harus kita investasikan untuk membuat seseorang mencintai Tuhan dan sesama? Jika mau fair, pertanyaan-pertanyaan itu harus diimbangi dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Seberapa berharganya diri saya sampai Tuhan Yesus mau mati buat saya, orang yang tidak layak ini? Apa keuntungan yang Tuhan peroleh sehingga Ia mau menebus hutang dosa saya, padahal saya masih sering jatuh dalam dosa? Mudah-mudahan kita tidak lupa bahwa kita telah menerima anugerah keselamatan secara cuma-cuma! Mudah-mudahan Anda tidak lupa bahwa Anda ditebus untuk melakukan pekerjaan baik yang disediakan Allah bagi diri Anda! (Efesus 2:10). [GI Mario Novanno]

Perjalanan Itu Merupakan Tujuan

Markus 4:21-41

Hasil lebih penting dari proses atau proses lebih penting dari hasil atau dua-duanya penting (proses dan hasil sama penting)? Perlukah kita membuat pengkategorian untuk menjawab pertanyaan di atas? Di dunia bisnis, hasil sangat penting karena ketiadaan hasil berarti ketiadaan profit (keuntungan). Akan tetapi, profit yang diperoleh secara tidak saleh akan membuat kita berhadapan dengan hukum. Bagaimana halnya bila masalah ini diterapkan untuk pertumbuhan rohani?
Tuhan Yesus mengajak para murid untuk bertolak menyeberangi Danau Galilea dengan memakai perahu. Di tengah jalan, tanpa diduga, mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu sehingga perahu itu penuh dengan air. Ketaatan para murid terhadap ajakan Tuhan Yesus membuat nyawa mereka ter-ancam. Parahnya, Yesus Kristus—yang bersama-sama dengan mereka—bisa-bisanya tidur, seakan-akan tidak mempedulikan situasi mencekam yang sedang terjadi. Reaksi sarkastis para murid ketika membangunkan Tuhan Yesus dapat dimengerti. Mereka berseru, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”. Tuhan Yesus bangun, menghardik angin, lalu berkata kepada danau itu, “Diam! Tenanglah!” Hanya dua kata saja yang diucapkan Tuhan Yesus dan angin menjadi reda sehingga danau itu menjadi teduh sekali. Murid-murid yang semula ketakutan karena perahu mereka terancam tenggelam, sekarang menjadi sangat takut melihat seorang Manusia yang perintah-Nya ditaati oleh angin dan danau (4:35-41). Seandainya tidak ada amukan taufan dan semburan ombak, seandainya para mantan nelayan itu menolak menyeberang karena sudah memprediksi cuaca yang tidak bersahabat, mereka tidak akan melihat kebesaran Tuhan. Bukan tempat tujuan yang penting. Tuhan Yesus tidak menyebut tempat tujuan yang akan mereka datangi. Akan tetapi, perjalanan itu sendiri menjadi sangat penting karena di dalam perjalanan itulah mereka semakin mengenal siapa Yesus itu.
Kita cenderung ingin memastikan outcome (hasil, tujuan, capaian, dll) dari segala usaha yang kita lakukan berhasil atau mencapai target. Untuk itu, kita bisa menghalalkan segala cara atau mengambil jalan pintas. Jangan melupakan dan mengabaikan proses untuk mencapai tujuan. Perjalanan untuk mencapai tujuan akan membentuk kita. Perjalanan yang dipersingkat justru akan membuat kita kehilangan pengalaman yang paling berharga! [GI Mario Novanno]

Celah Antara Pengetahuan dan Perbuatan

Markus 4:1-20

Jarak terjauh di bumi bukanlah jarak antara ujung bumi yang satu dengan ujung bumi yang lainnya. John Maxwell mengatakan: “The greatest gap in the world is the gap between knowing and Doing.” (Jarak terjauh dalam dunia adalah jarak antara pengetahuan dan perbuatan). Ada kebenaran alkitabiah yang penting dalam teks yang mendasari renungan hari ini.
Tuhan Yesus mengajar tentang pendengar dan pelaku firman de-ngan memakai perumpamaan tentang penabur. Ada empat jenis wadah tempat benih yang ditaburkan itu jatuh, yaitu pinggir jalan, tanah yang berbatu-batu, semak duri, dan tanah yang baik. Semua wadah mendapat taburan benih. Pembedanya terletak pada kualitas wadah (tanah) penerima benih. Demikian juga mereka yang (sering) mendengarkan firman. Jika diibaratkan sebagai wadah, ada tipe pendengar yang seperti pinggir jalan, ada tipe pendengar yang seperti tanah berbatu-batu, ada tipe pendengar yang seperti semak duri, dan ada tipe pendengar yang seperti tanah yang baik. Keempatnya adalah pendengar firman, tetapi hanya pendengar yang termasuk kategori kualitas baik yang menikmati pertumbuhan, yaitu mereka yang bukan hanya mendengar, menerima informasi, mendapat pengetahuan, dan menyimpan dalam hati, tetapi juga menerapkan (menggunakan) informasi (pengetahuan) yang mereka terima untuk mengembangkan diri serta mengikuti dorongan hati untuk bertindak sesuai dengan pimpinan Roh Kudus. Ya, merekalah yang dianggap berhasil di mata Tuhan.
Sudah berapa kali Anda mengikuti kebaktian dan mendengarkan pengkhotbah inspirasional yang diurapi Tuhan? Sudah berapa kali Anda membaca Alkitab dan mendapatkan pemahaman baru oleh Roh Kudus yang membuat Anda kagum terhadap kedalaman firman Tuhan? Akan tetapi, mungkin saja Anda merasa frustrasi karena kehidupan spiritual Anda seperti berlari di atas treadmill. Anda mencerminkan situasi, “Sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti.” (Markus 4:12). Masalahnya bukanlah seberapa sering atau seberapa banyak Anda mendengar atau membaca. Anda sudah tahu banyak, tetapi mungkin Anda baru melakukan sedikit atau bahkan belum melakukan sama sekali. Anda enggan melakukan karena banyak informasi lain yang mengalihkan apa yang Anda tahu harus Anda lakukan sesuai dengan kehendak Allah. [GI Mario Novanno]

Disalah Mengerti

Markus 3:13-35

Yesus Kristus adalah sosok yang kontroversial. Hal ini bukan disebab-kan karena Ia tampil flamboyan, necis, atau memilih penampilan yang nyeleneh, tetapi karena Ia mengajar dan melakukan hal-hal yang dianggap bersifat provokatif dan bertentangan dengan wawasan dunia yang menjadi pola pikir dan sistem (budaya, kerohanian, etika) dalam tatanan masyarakat, baik selama masa hidup-Nya di bumi maupun pada masa kini yang diwakili oleh para pengikut-Nya. Tidak mengherankan jika banyak orang menyalahartikan dan tidak memahami diri-Nya.
Keluarga-Nya sendiri menganggap Yesus Kristus sudah tidak waras lagi (3:21). Para ahli Taurat yang khusus datang dari Yerusalem mencoba untuk menggiring opini publik dengan mengatakan, “Ia kerasukan Beelzebul. Dengan penghulu setan Ia mengusir setan.” (3:22). Artinya, Tuhan Yesus dituduh kerasukan roh jahat (3:30). Tuduhan ini merupakan suatu fitnah keji yang ironisnya terlontar dari mulut orang yang dikenal sebagai ahli Kitab Suci (Taurat). Bagaimana reaksi Tuhan Yesus ketika disalahmengerti? Apakah Dia membela diri dengan nada tinggi dan balik menyerang lawan bicaranya? Tidak nampak sama sekali bahwa Yesus Kristus terprovokasi dan menjadi marah. Jika kita perhatikan dengan jeli, Yesus Kristus tidak membela diri, melainkan menyatakan kebenaran yang mengoreksi pola pikir mereka yang keliru, baik terhadap para ahli Taurat maupun terhadap ibu dan saudara-saudara-Nya. Kelihatan sekali bahwa Yesus Kristus tidak mau membuang-buang tenaga untuk berdebat kusir, apalagi membela diri-Nya.
Kesalahpahaman dapat terjadi pada siapa saja. Kita mungkin saja menjadi korban. Saat terjadi kesalahpahaman, bagaimana kita bereaksi? Apakah kita menjadi gelisah dan berusaha membela diri, bahkan membalas dengan berusaha menjatuhkan? Kita harus menyadari bahwa bila kita bisa “mengalahkan” orang lain, tidak berarti bahwa pandangan orang lain terhadap diri kita menjadi positif. Kita bertanggung jawab untuk memberi penjelasan bila terjadi kesalahpahaman, tetapi kita tidak bisa mencegah orang lain tetap berpikir dan berkata buruk tentang diri kita. Kita harus menyadari betapa sulitnya mengontrol lidah (Yakobus 3:1-8). Daripada berjuang untuk mengalahkan orang lain, lebih baik kita berpegang teguh pada kebenaran yang berasal dari firman Allah. Cara kita bereaksi saat menghadapi kesalahpahaman memperlihatkan kedewasaan kita sebagai murid Kristus. [GI Mario Novanno]

Belas Kasih yang Beresiko

Markus 3:1-12

Setiap kali tergerak untuk mengajar, menyembuhkan orang sakit atau mengusir setan, motivasi Tuhan Yesus sangat jelas: Dia digerakkan oleh belas kasihan (Markus 1:4; Matius 9:36; 14:14; bandingkan dengan Markus 8:2; Lukas 7:19, dan sebagainya). Sedemikian besar belas kasihan Tuhan Yesus sehingga seringkali Ia rela mengorbankan waktu dan energi-Nya untuk menolong orang sakit atau orang yang dirasuk setan. Belas kasihan membawa Tuhan Yesus ke dalam situasi yang membahayakan reputasi–Nya, bahkan mengancam nyawa-Nya. Berulang kali Dia berhadapan dengan kenyataan bahwa Ia menabrak tembok tebal tradisi Sabat sehingga Ia bertentangan langsung dengan para penegak tradisi. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Tuhan Yesus membongkar tradisi sakral—yaitu tradisi Sabat—dengan menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya. Tuhan Yesus pasti sadar bahwa banyak mata yang mengamat-amati diri-Nya untuk mencari bukti guna dipakai untuk menjatuhkan diri-Nya dengan mempersalahkan Dia. Akan tetapi, Tuhan Yesus justru menunjukkan bahwa belas kasihan harus menang terhadap tradisi. Tidak ada sedikit pun kegentaran dalam diri-Nya saat Ia dengan sengaja mempertontonkan belas kasihan-Nya dengan menyembuhkan orang lumpuh di tengah ruangan rumah ibadat itu (3:1-5). Akibatnya, orang-orang Farisi segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian (yang biasanya menjadi musuh politik orang-orang Farisi) untuk membunuh Tuhan Yesus.
Sebagai manusia yang memiliki hati nurani, kita dapat merasa iba ketika melihat ada orang-orang yang tidak seberuntung diri kita. Mungkin kita memiliki keinginan untuk menolong orang-orang yang sedang bergumul dengan pernikahan mereka, kesehatan mereka, keuangan mereka, bisnis mereka, bahkan kesalahan dan dosa mereka. Akan tetapi, cukup sering bahwa dalam waktu yang singkat, keinginan itu padam saat kita mulai berhitung: Bila saya mendampingi orang itu, bagaimana bila pekerjaan saya terganggu? Berapa banyak waktu yang harus saya habiskan? Berapa uang yang harus saya keluarkan? Pehitungan untung-rugi mendasari tindakan kita. Akibatnya, bara belas kasihan kita dipadamkan oleh kekikiran kita. Kita lupa bahwa kita adalah orang-orang yang berhutang besar, sedemikian besarnya sampai kita tidak dapat melunasi hutang kita! Kita lupa bahwa sebenarnya kita adalah penerima belas kasihan Tuhan yang besar! [GI Mario Novanno]

Anggur Baru HARUS Kantong Baru

Markus 2:18-28

Perubahan membongkar status quo (keadaan tetap) dan kebiasaan. Tidak heran bahwa perubahan pasti dapat membuat orang-orang yang sudah ada di dalam comfort zone (zona nyaman) menolak dengan keras. Zona nyaman mengambil banyak bentuk dalam hidup, budaya, dan tradisi manusia. Apa yang menjadi zona nyaman Anda?
Dalam kasus orang Farisi, aktivitas berpuasa adalah kebiasaan lama, bahkan merupakan tradisi turun-temurun yang telah berusia ratusan tahun. Kemungkinan besar, orang Farisi berpuasa sebagai aktivitas tanpa makna, tanpa tujuan, tanpa manfaat (bandingkan dengan Yesaya 29:13). Puasa harus dilakukan! Adalah aneh—bahkan salah—jika puasa tidak dilakukan. Selain puasa, tradisi Yahudi yang dianggap penting adalah tidak melakukan aktivitas yang dianggap sebagai ‘kerja’—termasuk memetik bulir gandum—pada hari Sabat. Oleh karena itu, saat orang-orang Farisi melihat para murid Tuhan Yesus memetik bulir gandum pada hari Sabat, mereka langsung memprotes Tuhan Yesus, “Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak dipebolehkan pada hari Sabat?” (Markus 2:24). Alasan para murid memetik bulir gandum jelas, yaitu karena mereka lapar. Sebenarnya, tidak ada larangan mengolah makanan pada hari Sabat. Protes keras orang-orang Farisi didasarkan pada penafsiran yang melenceng terhadap aturan Sabat. Mereka terbiasa menegakkan “kebenaran” versi mereka sendiri. Mereka kesal melihat betapa beraninya para murid Tuhan Yesus melanggar aturan Sabat di depan mata mereka. Perubahan (pelanggaran) terhadap tradisi harus dicegah!
Dunia berubah dengan sangat cepat. Teknologi informasi mendorong perubahan di hampir setiap aspek kehidupan manusia. Dunia menjadi kampung global karena semua informasi dapat dibagikan melalui ujung jari. Kita dipaksa menyesuaikan diri! Masalahnya, sering kali kita berpikir bahwa cara lama lebih baik daripada cara baru. Pola pikir kita (anggur lama) dibayangi keberhasilan di masa lalu (kantong lama). Kesuksesan pelayanan (anggur lama) di suatu gereja di masa lalu (kan-tong lama) sering dijadikan benchmark (standar) tanpa filter (penyaring). Tuhan Yesus berkata bahwa anggur baru HANYA dapat disimpan dalam kantong baru. Perubahan tidak mudah, tetapi tidak terelakkan. Kita perlu unlearn (melucuti apa yang kita tahu) supaya dapat relearn (belajar lagi untuk menyesuaikan diri). Bersediakah Anda? [GI Mario Novanno]

Sahabat Sejati

Markus 2:1-17

Di dalam dunia yang terkoneksi ini, terdapat suatu ironi. Meskipun manusia dengan mudah dapat berhubungan melalui berbagai media sosial/media komunikasi, faktanya adalah bahwa manusia sering tidak terhubung secara nyata. Relasi antar manusia tidak menjadi semakin dalam, tetapi semakin dangkal. Banyak orang mengalami kesepian. Kehadiran secara nyata semakin dibutuhkan. Kepedulian yang tulus semakin dirindukan. Persahabatan yang “dalam” yang dibuktikan melalui kesediaan menjalani kehidupan dengan bergandengan tangan menjadi tantangan bagi komunitas orang percaya.
Narasi (kisah) orang lumpuh yang disembuhkan dalam bacaan Alkitab hari ini memperlihatkan bagaimana seharusnya menjadi sahabat yang sejati. Usaha sahabat-sahabat orang lumpuh itu tidaklah kecil. Mereka harus menggotong sahabat mereka yang lumpuh (bayangkan bahwa selain mereka harus mengeluarkan banyak tenaga, di antara mereka juga harus ada komunikasi dan kerja sama yang baik). Mereka mengambil risiko tinggi saat dengan nekat mereka membobol atap rumah orang yang (mungkin) tidak mereka kenal. Mereka mengusik konsentrasi orang-orang yang sedang mendengarkan pengajaran Tuhan Yesus. Mengapa mereka begitu berani membayar harga bagi sahabat mereka? Selain kasih, mereka memiliki keyakinan yang teguh bahwa Yesus Kristus adalah jawaban bagi permasalahan sahabat mereka yang lumpuh. Tuhan Yesus melihat hati mereka. Penulis Injil Markus mencatat bahwa saat melihat IMAN mereka, Tuhan Yesus berkata kepada orang lumpuh itu, “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!” (2:5). Masalah terbesar (yaitu dosa) telah diselesaikan, masalah kesembuhan mengikuti.
Setelah menyembuhkan dengan perkataan yang menuai polemik, Tuhan Yesus memperlihatkan lebih jelas arti menjadi sahabat sejati saat Ia pergi ke pantai danau dan memanggil Lewi untuk menjadi sahabat-Nya (bukan hanya menjadi murid, lihat Yohanes 15:15). Kita tahu siapa Lewi: Ia adalah seorang pemungut cukai! Umumnya, pemungut cukai memungut pajak secara berlebihan sehingga menyebabkan kesusahan finansial dan dianggap pengkhianat oleh sesama orang Yahudi. Sekalipun demikian, Tuhan Yesus tidak mencerca atau menolak, melainkan memilih Lewi menjadi sahabat-Nya. Beranikah Anda menjangkau orang yang kita tahu bahwa sejarah hidupnya kelam atau reputasinya buruk? Sahabat macam apakah Anda bagi sesama manusia? [GI Mario Novanno]

Fokus Pada Panggilan

Markus 1:29-45

Sesuatu yang fenomenal mudah menarik perhatian, baik secara lang-sung maupun tidak. Orang-orang takjub terhadap pengajaran Yesus Kristus yang berkuasa, pengusiran roh jahat yang Dia lakukan, serta tindakan penyembuhan yang tidak biasa terhadap ibu mertua Simon. Orang-orang dengan sukarela dan sukacita menyebarkan kabar baik itu. Maka, berkerumunlah seluruh penduduk kota membawa orang-orang yang menderita bermacam-macam penyakit dan kerasukan setan di depan pintu tempat Tuhan Yesus berada. Tuhan Yesus menyembuhkan banyak orang sakit dan mengusir banyak setan. Pelayanan-Nya membuat Dia langsung naik daun pada saat itu juga. Publikasi melalui instagram, facebook, website, youtube, atau sms blast tidak diperlukan lagi! Semua orang mencari Dia! Semakin banyak orang yang ingin mendapatkan jasa pelayanan-Nya. Yesus Kristus menjadi Sosok penting dalam sekejap. Jelas bahwa situasi seperti ini merupakan momentum berharga yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya supaya memberi keuntungan. Apakah pemikiran semacam ini yang terbersit dalam pikiran para murid? Setelah bertemu dengan Tuhan Yesus, mereka justru mendapat jawaban yang (mungkin) mengecewakan nalar mereka dan membuat mereka tidak dapat berkata-kata. Yesus Kristus menjawab, “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang.” (1:38). Entah apa yang terbersit dalam pikiran murid-murid saat itu. Mungkin saja mereka berpikir, “Apa? Ayolah! Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan datang kedua kali!”
Yesus Kristus tahu jelas panggilan-Nya. Tujuan utama kedatangan-Nya ke bumi bukanlah untuk menyembuhkan orang sakit atau mengusir setan. Ia tidak datang ke dunia untuk mengerjakan apa yang dianggap baik oleh dunia atau orang banyak. Ia datang untuk mengerjakan hal terbaik menurut kehendak Bapa-Nya, yaitu memberitakan Injil. Apakah yang sedang Anda lakukan saat ini adalah pekerjaan (termasuk pelayanan) yang baik? Sadarkah Anda bahwa ada pekerjaan terbaik yang dapat Anda lakukan, yang hanya dapat terwujud jika Anda berani merespons dengan tepat terhadap panggilan yang Tuhan nyatakan kepada diri Anda? Musuh dari yang terbaik bukanlah hal-hal yang buruk. Musuh dari yang terbaik adalah hal-hal baik yang membuat kita mengabaikan hal yang terbaik. [GI Mario Novanno]