Disalah Mengerti

Markus 3:13-35

Yesus Kristus adalah sosok yang kontroversial. Hal ini bukan disebab-kan karena Ia tampil flamboyan, necis, atau memilih penampilan yang nyeleneh, tetapi karena Ia mengajar dan melakukan hal-hal yang dianggap bersifat provokatif dan bertentangan dengan wawasan dunia yang menjadi pola pikir dan sistem (budaya, kerohanian, etika) dalam tatanan masyarakat, baik selama masa hidup-Nya di bumi maupun pada masa kini yang diwakili oleh para pengikut-Nya. Tidak mengherankan jika banyak orang menyalahartikan dan tidak memahami diri-Nya.
Keluarga-Nya sendiri menganggap Yesus Kristus sudah tidak waras lagi (3:21). Para ahli Taurat yang khusus datang dari Yerusalem mencoba untuk menggiring opini publik dengan mengatakan, “Ia kerasukan Beelzebul. Dengan penghulu setan Ia mengusir setan.” (3:22). Artinya, Tuhan Yesus dituduh kerasukan roh jahat (3:30). Tuduhan ini merupakan suatu fitnah keji yang ironisnya terlontar dari mulut orang yang dikenal sebagai ahli Kitab Suci (Taurat). Bagaimana reaksi Tuhan Yesus ketika disalahmengerti? Apakah Dia membela diri dengan nada tinggi dan balik menyerang lawan bicaranya? Tidak nampak sama sekali bahwa Yesus Kristus terprovokasi dan menjadi marah. Jika kita perhatikan dengan jeli, Yesus Kristus tidak membela diri, melainkan menyatakan kebenaran yang mengoreksi pola pikir mereka yang keliru, baik terhadap para ahli Taurat maupun terhadap ibu dan saudara-saudara-Nya. Kelihatan sekali bahwa Yesus Kristus tidak mau membuang-buang tenaga untuk berdebat kusir, apalagi membela diri-Nya.
Kesalahpahaman dapat terjadi pada siapa saja. Kita mungkin saja menjadi korban. Saat terjadi kesalahpahaman, bagaimana kita bereaksi? Apakah kita menjadi gelisah dan berusaha membela diri, bahkan membalas dengan berusaha menjatuhkan? Kita harus menyadari bahwa bila kita bisa “mengalahkan” orang lain, tidak berarti bahwa pandangan orang lain terhadap diri kita menjadi positif. Kita bertanggung jawab untuk memberi penjelasan bila terjadi kesalahpahaman, tetapi kita tidak bisa mencegah orang lain tetap berpikir dan berkata buruk tentang diri kita. Kita harus menyadari betapa sulitnya mengontrol lidah (Yakobus 3:1-8). Daripada berjuang untuk mengalahkan orang lain, lebih baik kita berpegang teguh pada kebenaran yang berasal dari firman Allah. Cara kita bereaksi saat menghadapi kesalahpahaman memperlihatkan kedewasaan kita sebagai murid Kristus. [GI Mario Novanno]