Gema

Dampak Dosa Terhadap Manusia

Bacaan Alkitab hari ini:

Keluaran 5

Musa dan Harun berkata di hadapan Firaun bahwa TUHAN, Allah Israel telah bersabda supaya Firaun membiarkan bangsa Israel untuk beribadah kepada-Nya (5:1,3). Mendengarkan perkataan itu, Firaun menjawab bahwa ia tidak mengenal siapa TUHAN (5:2). Pada zaman kuno, ada pemahaman bahwa bila suatu bangsa ditundukkan oleh bangsa lain, maka berarti bahwa dewa (atau tuhan) dari bangsa yang kalah telah dikalahkan oleh dewa bangsa yang menang. Oleh sebab itu, Firaun berpikir bahwa TUHAN, Allah Israel juga sudah ditaklukkan oleh berbagai dewa yang disembah bangsa Mesir. Oleh karena itu, Firaun berkata bahwa ia tidak perlu mendengarkan firman-Nya (5:2). Bahkan, kemudian Firaun semakin menindas bangsa Israel dengan semakin memperberat tugas mereka (5:7-18). Ketetapan Firaun tersebut sangat tidak berperikemanusiaan dan sesungguhnya sangat kejam. Firaun hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

Bangsa Mesir menyembah banyak dewa, termasuk Firaun—Sang Raja Mesir—yang diyakini sebagai titisan dewa. Penyembahan semacam ini sebenarnya mencerminkan adanya kesadaran pada diri manusia tentang adanya Yang Ilahi dalam kehidupan (Roma 1:20). Oleh karena itu, dalam berbagai kebudayaan, selalu ada dewa atau tuhan yang disembah. Namun, manusia berdosa tidak dapat mengenal Allah yang sejati. Manusia berdosa menyembah berbagai macam ilah yang digambarkan sebagai menyerupai berbagai hewan maupun menyerupai manusia (Roma 1:23). Dosa yang mencemari manusia membuat manusia melakukan berbagai macam kejahatan terhadap sesamanya (Galatia 5:19-21, Kolose 3:8-9). Kekejian Firaun terhadap bangsa Israel mencerminkan karakteristik orang bebal yang tidak berseru kepada TUHAN dan suka melakukan kejahatan terhadap umat Allah (Mazmur 14:4).

Saat ini, masih banyak orang yang tidak mengenal Allah yang benar. Orang-orang semacam ini menyembah berbagai illah lain, termasuk meninggikan (mendewakan) dirinya sendiri. Banyak pula orang yang tega untuk berbuat jahat terhadap sesamanya. Marilah kita memberitakan Injil Yesus Kristus sekarang juga. Jumlah orang yang masih perlu mendengar berita tentang Injil Yesus Kristus masih sangat banyak. Hanya melalui berita Injil sajalah, manusia dapat mengalami perubahan yang sejati (Yehezkiel 36:26). [ECW]

Merespons Panggilan Allah

Bacaan Alkitab hari ini:

Keluaran 3:15-4:31

Saat Musa diperintahkan oleh Tuhan untuk kembali ke Tanah Mesir guna memimpin umat Israel keluar dari sana, ia telah berusia sekitar 80 tahun (Keluaran 7:7). Pada usia yang telah lanjut itu, ternyata bahwa kepribadian Musa telah berubah bila dibandingkan dengan kondisinya saat masih muda. Ia nampak menjadi lebih penakut bila dibandingkan dengan saat masih tinggal di Mesir sekitar 40 tahun sebelumnya. Saat masih muda, Musa meyakini bahwa Allah akan memakai dirinya untuk menolong bangsa Israel (bandingkan dengan Kisah Para Rasul 7:23-25). Dengan mengandalkan kekuatan tangannya, ia berani membunuh seorang Mesir yang sedang menganiaya seorang Ibrani (Keluaran 2:11-12). Sikap kepahlawanan seperti itu sangat berbeda bila dibandingkan dengan sikap Musa dalam bacaan Alkitab hari ini. Saat Allah mengutus Musa untuk pergi ke Mesir, Allah memakai tongkat yang ada di tangan Musa sebagai perlengkapan bagi Musa. Walaupun tongkat itu sederhana dan tidak sebanding dengan perlengkapan senjata pasukan Mesir, tongkat itu merupakan alat yang hendak dipakai Allah Sang Pencipta untuk menunjukkan kuasa-Nya (4:2-9). Semestinya, Musa bisa pergi ke Mesir melaksanakan panggilan Tuhan dengan langkah ringan. Namun, ternyata Musa menolak tugas yang Allah berikan kepadanya sampai tiga kali (4:1, 10, 13). Hal itu membuat Allah murka. Akhirnya, Musa tidak dapat mengelak lagi dan ia harus menjalankan panggilan Allah (4:14).

Saat berusia 80 tahun, Musa telah berkeluarga dan telah memiliki pekerjaan yang dapat ia nikmati. Nampak bahwa Musa enggan meninggalkan zona nyamannya. Selain itu, Musa tidak siap menerima penolakan dari orang-orang Israel. Agaknya pengalaman di Mesir sekitar 40 tahun sebelumnya (2:14) masih menimbulkan trauma. Jelaslah bahwa menyaksikan secara langsung kuasa yang ajaib dari Allah tidak membuat Musa menjadi taat untuk melakukan panggilan-Nya.

Setiap pengikut Kristus adalah rekan kerja Allah yang bertanggung jawab untuk memperbesar Kerajaan-Nya (1 Petrus 2:9). Saat melaksanakan tanggung jawab itu—seperti Musa—mungkin kita harus berhadapan dengan berbagai macam tantangan yang membuat kita harus keluar dari zona nyaman. Yang dituntut dari diri kita adalah kerelaan menundukkan diri dan menaati kehendak-Nya, kegigihan mengatasi segala tantangan, serta tekad untuk menyingkirkan keraguan. [ECW]

Melakukan Yang Benar Dengan Benar

Bacaan Alkitab hari ini:

Keluaran 2:11-3:14

Musa dilahirkan saat raja Mesit telah mengeluarkan perintah bahwa setiap bayi laki-laki orang Israel harus dilemparkan ke dalam Sungai Nil (1:22). Ayah dan Ibu Musa bermaksud untuk merawat Musa secara diam-diam. Akan tetapi, lama-kelamaan, mereka tidak dapat terus-menerus menyembunyikan anak mereka itu, sehingga akhirnya Musa dimasukkan dalam sebuah peti, lalu dihanyutkan. Alih-alih tenggelam dalam Sungai Nil, bayi Musa justru ditemukan dan kemudian dipelihara oleh seorang putri Firaun. Sejak masih bayi, Musa memperoleh asupan makanan yang bergizi, dan selanjutnya Musa dibesarkan serta dididik seperti lazimnya anak bangsawan Mesir (2:8-10, Kisah Para Rasul 7:22). Setelah Musa beranjak dewasa, ia menyadari bahwa dirinya adalah orang Israel (Kisah Para Rasul 7:23). Musa sadar bahwa dia telah mengalami pengalaman yang luar biasa, yaitu tidak tenggelam di Sungai Nil dan kemudian bertumbuh dewasa di negeri Mesir Oleh karena itu, Musa memiliki keyakinan bahwa Allah ingin memakai dirinya untuk menolong kaum Israel (Kisah Para Rasul 7:23-25). Berdasarkan keyakinan itu, saat melihat seorang Mesir sedang menganiaya seorang Ibrani, Musa menjadi marah dan membunuh orang Mesir itu (Keluaran 2:11-12).

Pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang Mesir tampaknya merupakan sebuah pelanggaran hukum yang serius (2:12, 14-15). Apabila kita kembali kepada peristiwa sesudah air bah surut pada zaman Nuh, Allah telah menyatakan bahwa pembunuhan adalah suatu kejahatan yang akan mendatangkan penghukuman yang keras (Kejadian 9:5-6). Walaupun bangsa Mesir adalah bangsa yang tidak mengenal Allah, tetapi ketetapan Allah tersebut tampaknya telah diwariskan melalui tradisi secara turun menurun dari nenek moyang umat manusia. Tidak mengherankan bila Musa menjadi terancam nyawanya karena kesalahan yang dilakukannya tersebut.

Musa memiliki niat yang baik, namun ia menempuh cara yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Padahal, saat Musa menyaksikan penganiayaan itu, Musa tidak harus merespons dengan main hakim sendiri (melakukan pembunuhan). Niat yang baik tetap harus diwujudkan dengan upaya yang tidak bertentangan dengan firman Tuhan. Bila Saat ini Anda sedang terjerumus melakukan tindakan yang berdosa, segeralah bertobat dan minta ampun kepada Tuhan. [ECW]

Jangan Menjadi Batu Sandungan

Bacaan Alkitab hari ini:

Keluaran 1:1-2:10

Bangsa Israel sudah tinggal di Mesir dan terus bertambah banyak hingga tak terbilang banyaknya. (Keluaran 1:7). Padahal, beberapa tahun sebelumnya, bangsa Israel terancam akan binasa karena terjadi kelaparan selama tujuh tahun di seluruh bumi (Kejadian 41). Namun, Allah memelihara umat pilihan-Nya (Kejadian 50:20), sehingga Israel bukan hanya dapat melalui masa paceklik, tetapi menjadi bangsa yang semakin banyak jumlahnya. Pertumbuhan kuantitas itu sesungguhnya merupakan penggenapan dari sebagian janji Allah kepada Abraham (Kisah Para Rasul 7:17, Kejadian 15:5). Setelah Yusuf mati, sedangkan orang Israel bertambah jumlahnya dengan sangat cepat, raja Mesir yang baru yang sudah tidak mengenal Yusuf lalu merancang hal-hal yang sangat jahat untuk meredam pertambahan jumlah orang Israel (Keluaran 1:8-22, Kisah Para Rasul 7:19).

Saat mencermati kesaksian dari seluruh Alkitab, kita bisa membaca bahwa setidaknya ada dua orang raja yang berupaya untuk membunuh anak-anak lelaki bangsa Israel. Rencana pembunuhan pertama adalah kisah yang dicatat dalam Keluaran pasal 1, sedangkan rencana pembunuhan kedua adalah pembunuhan yang digagas oleh Herodes setelah kelahiran Kristus (Matius 2:16-18). Kedua rencana kejam tersebut sesungguhnya hendak menghambat penggenapan janji Allah. Raja Mesir dan Herodes tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi alat Iblis untuk menggagalkan rencana dan kehendak Allah. Kita bersyukur bahwa Allah setia terhadap janji-Nya, sehingga para bidan tidak mau menuruti perintah raja Mesir (Keluaran 1:17) dan bayi Kristus bisa dibawa menyingkir ke Mesir (Matius 2:14).

Jelas bahwa para pembaca Gema tidak akan melakukan tindakan atau membuat rencana jahat seperti yang dilakukan oleh Raja Mesir maupun Herodes. Sekalipun demikian, kita bisa bersikap seperti Petrus yang tidak menyadari bahwa dirinya telah dimanfaatkan oleh Iblis untuk mengacaukan terwujudnya kehendak Allah Sang Pencipta (Matius 16:21-23). Kita perlu menguji motivasi dari tindakan dan pikiran kita, supaya kita tidak menghalangi pekerjaan Allah di dunia ini. Segala sesuatu yang bertujuan untuk memuaskan diri sendiri harus ditolak. Sebaliknya, pilihlah alternatif yang terbaik untuk kemajuan Kerajaan Allah dan untuk memuliakan Dia. [ECW]

Berakhirnya Era Bapa Leluhur

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 50

Belakangan ini, kita sering mendengar istilah “khilafah” yang dikumandangkan oleh sebagian kaum muslim. Khilafah memiliki arti dasar “para pemimpin umat beriman,” suatu posisi yang juga ditempati oleh para Bapa Leluhur Israel yang dimulai dari Abraham, Ishak, dan Yakub. Kita sudah melihat di pasal 48 dan 49, bahwa menjelang kematiannya, Yakub telah memberikan nasihat dan berkat kepada semua anaknya yang kelak akan menjadi cikal bakal bangsa Israel. Pada pasal 50 ini, kita melihat sisa-sisa pemerintahan “khilafah” Israel yang dipimpin oleh Yusuf, sang anak kesayangan Yakub yang mendapat anugerah memimpin bangsa Mesir.

Ada dua bagian menarik dalam pasal ini. Hal pertama adalah keengganan Yusuf untuk membalaskan dendamnya kepada semua sanak saudara yang dahulu pernah berniat membunuhnya. Pada zaman sekarang ini, tindakan balas dendam merupakan kekejian besar. Namun, pada zaman dulu, pembalasan dendam merupakan suatu hal yang lumrah terjadi. Tidaklah mengherankan apabila Alkitab berkata bahwa semua saudara Yusuf begitu ketakutan ketika Yakub meninggal dunia. Namun, sikap Yusuf amat luar biasa. Dia bukan hanya tidak mau membalas dendam, namun ia beranggapan bahwa semua yang telah terjadi pada dirinya di masa lampau merupakan tindakan Allah yang telah membawanya sampai pada kondisi yang mulia pada saat itu. Sungguh, sikap Yusuf telah merekonsiliasi keluarga besar Bapa leluhur Israel yang tidak pernah lepas dari pertikaian dan perasaan dendam. Sikap Yusuf merupakan suatu langkah maju yang tepat sekali dalam menyongsong era baru di tanah asing.

Hal kedua yang menarik adalah permintaan Yusuf kepada semua saudaranya untuk membawa pergi tulang-tulangnya saat Tuhan Allah memimpin mereka keluar dari Mesir dan menuju Tanah Perjanjian. Tindakan ini sungguh di luar kelaziman para penguasa Mesir di kala itu yang berusaha membangun piramida yang amat megah guna menyimpan mayat secara permanen serta memamerkan status sosial mereka sebagai penguasa Mesir. Namun, Yusuf tidak mengikuti kebiasaan tersebut karena ia beriman kepada Tuhan yang telah berjanji untuk memberikan Tanah Perjanjian. Sungguh, Yusuf telah mendemonstrasikan iman yang luar biasa! Rekonsiliasi dan pertunjukan iman yang luar biasa inilah yang mengakhiri kitab Kejadian! [Sung]

Bangkitnya Suatu Bangsa

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 49

Kitab Kejadian memasuki fase puncak yang berfokus pada pengukuhan suatu bangsa baru yang kelak akan menjadi bangsa yang besar dan berpengaruh. Sebagaimana layaknya pengukuhan suatu bangsa besar, penulis kitab ini dengan gamblang menunjukkan momentum puncaknya, yaitu berkat Tuhan bagi semua suku bangsa Israel.

Menarik sekali untuk diperhatikan bahwa Yakub menitipkan pesan pada semua anaknya tanpa kecuali, dan masing-masing mendapatkan penekanan pada aspek yang berbeda. Namun, dari semua anaknya, ada tiga orang yang mendapatkan teguran keras, yaitu Ruben, Simeon dan Lewi. Ruben—sang sulung yang dahulu pernah menolong Yusuf dari ancaman pembunuhan oleh saudara-saudaranya yang lain—memiliki dosa moral yang teramat besar (49:3-4). Simeon dan Lewi dikutuk karena dosa kekerasan yang telah mereka perbuat. Akibatnya, keturunan mereka akan diserakkan di antara saudara mereka yang lain. Sementara itu, sembilan anak yang lain tidak menerima teguran, bahkan mereka menerima janji bahwa keturunan mereka kelak akan mengisi posisi-posisi penting. Demikianlah isi pasal 49 ini.

Apa yang bisa kita pelajari dari bacaan Alkitab hari ini? Pertama, kita bisa melihat karakter Tuhan, yaitu bahwa Ia benar-benar membenci dosa dan tidak akan membiarkan orang berdosa luput dari hukuman. Bahkan, kesalahan yang tidak disadari oleh orang lain pun tidak akan bisa luput dari pandangan Tuhan. Kedua, kita bisa melihat karakter Tuhan yang sebaliknya, yaitu penuh pengampunan. Yehuda yang khusus mendapat jatah satu pasal untuk menceritakan dosa seksualnya, justru mendapat anugerah yang luar biasa, yaitu janji bahwa tongkat kerajaan Israel kelak tidak akan pernah beranjak darinya. Sang Mesias pun kelak akan datang dari keturunan Yehuda! Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan bersedia mengampuni dan memulihkan posisi kita bila kita mau bertobat. Ketiga, Tuhan akan senantiasa memelihara umat yang mau percaya dan taat kepada-Nya. Ketika janji ini diberikan, ada satu asumsi dasar (landasan berpikir) yang menyertai janji itu, yaitu kepastian janji Tuhan yang teguh! Yakub tidak pernah khawatir bahwa keturunannya akan sengsara selepas kepergiannya karena ia mengetahui persis kesetiaan Tuhan terhadap janji-Nya sendiri! Sungguh, Tuhan kita itu begitu besar dan agung! [Sung]

Suksesi Kepemimpinan Israel (2)

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 48

Dalam suatu suksesi kepemimpinan di suatu negara atau bangsa, biasanya dilakukan semacam seremoni atau upacara pelantikan pejabat baru sebagai bukti nyata pengakuan atau afirmasi negara terhadap pejabat yang bersangkutan. Dalam sistem demokrasi modern, yang berkuasa adalah rakyat, sehingga dalam pelantikan presiden baru, yang melantik adalah ketua MPR. Di masa lampau, penguasa adalah Tuhan atau dewa setempat, sehingga pelantikan raja baru biasanya dilakukan di kuil atau dengan cara pemberkatan. Secara khusus, Kejadian 48 membahas mengenai penetapan pemimpin baru Israel, dengan keunikan khusus.

Keunikan pertama adalah bahwa berkat diturunkan Yakub bukan hanya kepada Yusuf, namun kepada kedua anak Yusuf juga. Praktik ini sangat tidak lazim, dan tentu saja mengandung simbol khusus, yaitu kehendak Tuhan untuk mengubah konsep Israel yang bukan lagi sebagai sebuah keluarga, namun sebagai sebuah bangsa, dengan Tuhan sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi. Berkat yang diterima Efraim dan Manasye menunjukkan bahwa Tuhan hendak menjadikan kedua anak Yusuf ini ikut memegang tampuk kekuasaan di antara bangsa yang baru tersebut. Jika kelak kita memperhatikan komposisi bangsa Israel, kita akan melihat kedua nama ini disebut secara terpisah, Manasye dan Efraim merupakan dua suku di antara 12 suku bangsa Israel! Keunikan kedua adalah bahwa Yakub tidak memberikan berkat utama kepada Manasye (sang kakak), melainkan kepada Efraim. Tindakan ini mengingatkan kita bahwa dalam memberikan perkenan-Nya, Tuhan tidak memandang pada senioritas garis keturunan, namun keputusan-Nya didasarkan pada kedaulatan kehendak-Nya sendiri. Dengan kata lain, Tuhan hendak menunjukkan bahwa penerima berkat hanyalah semata-mata alat di tangan Tuhan! Tuhanlah yang berkuasa menentukan siapa yang hendak Dia pakai untuk melaksanakan kehendak-Nya.

Bacaan Alkitab hari ini mengingatkan kita tentang siapa yang sesungguhnya berkuasa atas bangsa Israel. Pemilihan Allah tidaklah didasarkan pada kemampuan atau kepantasan diri kita, tetapi didasarkan pada kedaulatan-Nya yang tidak dibatasi oleh apa pun atau siapa pun. Manusia bisa saja silih berganti memimpin, tetapi Tuhanlah Penguasa yang sebenarnya! [Sung]

Suksesi Kepemimpinan Israel (1)

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 47

Dalam kisah-kisah sejarah segala bangsa di dunia, ada peristiwa yang sangat ditakuti dan sangat menarik perhatian, yaitu terjadinya suksesi atau proses pergantian kepemimpinan. Sangat sering terjadi bahwa proses pergantian kepemimpinan tidak berjalan mulus sehingga mengakibatkan pertumpahan darah sesama anak bangsa. Peristiwa Mei 1998 merupakan contoh kelam yang sangat menakutkan dalam sejarah bangsa Indonesia. Namun, bagaimana dengan bangsa Israel?

Kitab Kejadian pasal 47 secara khusus memperlihatkan berakhirnya era kepemimpinan Yakub sebagai Bapak bangsa Israel dan naiknya Yusuf sebagai pemimpin baru mereka. Mulai saat itu, Israel sudah bukan merupakan suatu keluarga kecil, namun mereka mulai menjadi cikal-bakal bangsa pilihan Tuhan. Yakub digambarkan sudah sangat tua dan sedang menyongsong kematiannya. Siapakah yang akan menggantikan posisi Yakub? Apakah Ruben (sang anak sulung) atau Yehuda (sang anak berandal yang telah menunjukkan potensi kepemimpinannya di pasal 43-44) atau Yusuf (sang anak kesayangan yang sedang berada dalam posisi kuat sebagai penguasa Mesir)?

Andaikan kisah ini adalah kisah bangsa-bangsa bukan Israel, niscaya akhir kisah ini adalah pertumpahan darah! Namun, hal ini tidak terjadi. Dalam sejarah Israel, jelas terlihat bahwa pemegang tampuk kekuasaan tertinggi adalah Tuhan Allah sendiri—bukan manusia—dan Tuhan telah menetapkan Yusuf sebagai penerus kepemimpinan Israel. Penempatan Yusuf sebagai “raja” yang memimpin Israel ini ditunjukkan melalui kepiawaiannya memikirkan dan memutuskan hal-hal besar. Namun, semua itu bukanlah karena kualitas atau kemampuan Yusuf, melainkan karena Tuhan berkarya melalui dirinya.

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah ini? Pertama, kita harus mengakui bahwa tangan Tuhan yang memampukan kita untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Tanpa penyertaan Tuhan, kita tidak berarti apa-apa.

Kedua, menjadi pemimpin berarti tunduk kepada Tuhan. Mengapa Yusuf yang dipilih? Kemungkinan besar, Yusuf dipilih karena ia mau tunduk kepada Tuhan! Tanpa ketundukan dan ketaatan kepada Tuhan, niscaya kita akan menggali lubang kejatuhan kita sendiri. Bila kita bersedia untuk senantiasa taat, Tuhan leluasa berkarya dalam hidup kita. Soli Deo Gloria![Sung]

Rekonsiliasi Keluarga Israel

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 45

Apakah ciri keluarga yang relasinya sehat? Jawabannya tentu saja bisa beraneka ragam, namun tidak ada yang berani membantah jikalau disebutkan bahwa salah satu cirinya adalah adanya semangat rekonsiliasi (pemulihan hubungan) di dalam keluarga tersebut. Sebagai manusia biasa yang penuh kelemahan, tentu saja setiap anggota keluarga bisa khilaf dan itu adalah hal yang manusiawi. Namun belum tentu semua keluarga memiliki semangat rekonsiliasi karena dibutuhkan kebesaran hati dan keberanian untuk membuka komunikasi.

Demikianlah isi pasal 45 yang menceritakan kebesaran hati Yusuf untuk melakukan rekonsiliasi terhadap para abangnya yang dahulu telah berlaku jahat kepadanya. Kebesaran hati Yusuf tampak jelas saat ia sama sekali tidak mengungkit semua kesalahan mereka, padahal ia sangat berhak untuk marah. Sebaliknya, dengan restu Firaun, Yusuf segera mengirimkan armada yang megah untuk menjemput seluruh rombongan keluarga Yakub untuk datang ke Mesir.

Apakah yang membuat Yusuf mampu melakukan hal tersebut? Pertama, Yusuf sangat menyadari bahwa semua yang telah menimpa dirinya terjadi atas seizin Tuhan. Memang, para abangnya telah melakukan tindakan keji atas dirinya, bahkan menjualnya sebagai budak. Namun, tanpa izin Tuhan, tindakan keji itu tidak akan terjadi. Jika Tuhan mengizinkan hal itu terjadi, Yusuf meyakini bahwa Tuhan pasti akan menyertai. Kedua, Yusuf menyadari bahwa semua hal yang menimpa dirinya pastilah sejalan dengan maksud dan rencana Tuhan yang jauh lebih indah. Bahkan, Tuhan dapat mengerjakan hal-hal yang luar biasa di dalam kondisi terburuk. Melalui keberadaannya di Mesir, Yusuf justru dapat menyelamatkan banyak orang dari ancaman kelaparan yang hebat. Bukan hanya itu, keberadaan Yusuf merupakan tangan Tuhan untuk menyelamatkan dan memelihara keluarga Israel sebagai umat pilihan-Nya!

Jikalau pada saat ini kita sedang mengalami pertikaian di dalam keluarga karena ada perlakuan yang tidak pantas, marilah kita berekonsiliasi dengan memegang dua buah prinsip, yaitu bahwa semua hal yang terjadi atas diri kita adalah terjadi atas seizin Tuhan, dan bahwa hal-hal buruk atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang kita alami bisa dipakai Tuhan menjadi kebaikan bagi diri kita. [Sung]

Klimaks Hubungan dalam Keluarga Israel

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 44

Pasal 44 merupakan kelanjutan kisah perjumpaan (reuni) antara anak-anak Israel, yang akhirnya bisa berjumpa kembali setelah bertahun-tahun terpisah. Tentu saja, saat itu, semua saudara Yusuf sama sekali tidak mengerti mengapa sang penguasa Mesir menaruh minat yang luar biasa pada keluarga mereka, dan bahkan mampu mengatur tempat duduk mereka sesuai dengan urutan usia, mulai dari yang sulung sampai pada yang bungsu. Dalam pasal inil, Yusuf membuat persiapan sebelum akhirnya memperkenalkan diri pada saudara-saudaranya.

Satu hal yang tak mudah dipahami dari pasal ini adalah keputusan Yusuf untuk membuat jebakan dengan memerintahkan ajudannya memasukkan piala peraknya ke karung Benyamin. Apakah maksud dari tindakan tersebut? Pertama, Yusuf hendak memberi pelajaran bagi saudara-saudaranya semua tentang betapa menderitanya orang yang dihukum karena “kesalahan” yang tidak dilakukannya. Bandingkan pengalaman saudara-saudara Yusuf ini dengan perlakuan mereka terhadap Yusuf. Mereka nyaris membunuh Yusuf, padahal Yusuf sama sekali tidak melakukan kesalahan kepada para abangnya, melainkan para abangnyalah yang merasa iri terhadap Yusuf. Melalui pengalaman pahit yang dialami oleh saudara-saudara Yusuf, mereka diingatkan agar tidak berlaku jahat kepada orang lain, sama seperti mereka juga tidak mau dihukum atas suatu kesalahan yang tidak mereka lakukan, Kedua, Yusuf hendak memberikan pelajaran pada semua saudaranya agar berani bertanggung jawab. Ingatlah perbuatan para abang Yusuf yang tidak mau bertanggung jawab, malahan mereka membohongi Yakub atas apa yang mereka lakukan terhadap diri Yusuf (pasal 37). Yehuda—orang yang memprakarsai ide menjual Yusuf sebagai budak—tampil untuk membela Benyamin, bahkan dia menyerahkan dirinya sendiri untuk menempati posisi si bungsu. Perkembangan karakter Yehuda yang amat menonjol dibandingkan sebelumnya nampak dari perkataannya, yaitu bahwa kalau ia gagal membawa Benyamin pulang, ia berdosa terhadap ayahnya (44:32). Terkadang Tuhan membiarkan suatu peristiwa buruk terjadi agar anak-anak Allah belajar bertanggung jawab dan tidak berlaku jahat terhadap sesama, karena Tuhan kita sangat membenci perbuatan jahat. [Sung]