Penghargaan Terhadap Martabat Manusia

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 21

Keluaran 21 mencatat berbagai peraturan untuk umat Israel. Bagi kita, beberapa peraturan terasa janggal—misalnya peraturan tentang masalah budak (21:1-11)—karena saat ini sudah tidak ada lagi perbudakan. Pertama-tama, sadarilah bahwa adanya peraturan tentang perbudakan tidak berarti bahwa Allah mendukung perbudakan. Sadari juga bahwa peraturan tentang perbudakan itu disampaikan dalam konteks masyarakat kuno, saat perbudakan merupakan kelaziman. Allah memahami kelemahan dan keterbatasan manusia yang telah tercemar oleh dosa, sehingga Ia memberikan peraturan tentang perbudakan dengan maksud agar praktik perbudakan dilaksanakan dengan lebih menghargai martabat manusiawi para budak. Allah mengingatkan umat Israel di zaman Musa bahwa mereka adalah mantan budak di Mesir, dan bahwa Allah telah menebus mereka (Ulangan 15:15). Seharusnya, prinsip yang melandasi sikap bangsa Israel terhadap para budak adalah kasih, yaitu “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18).

Meskipun sudah tidak ada sistem perbudakan dalam perekonomian saat ini, relasi tuan-hamba, atasan-bawahan, dan pemilik usaha-karyawan tetap ada. Perilaku tidak adil, tekanan, bahkan kekerasan, masih bisa dialami oleh hamba, bawahan, dan karyawan. Bentuk ketidakadilan itu misalnya berupa: 1) Pembagian bonus atau tunjangan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik dari sisi nominal maupun sisi waktu pembagian; 2) Fasilitas dan lingkungan kerja yang mengabaikan kepentingan bawahan (seperti tidak tersedianya makanan dan minuman sehat, cahaya, serta ventilasi yang memadai); 3) Kata-kata kasar dari atasan terhadap pegawai; serta 4) Perilaku tidak manusiawi seperti tuntutan jam kerja yang melewati batas kewajaran.

Tindakan berdasarkan kasih dan penghargaan terhadap martabat manusiawi seharusnya dapat dipraktikkan saat ini. Perjanjian Baru memberi beberapa petunjuk: 1) Allah yang menciptakan para tuan sama dengan Allah para hamba. Pribadi Sang Khalik yang sama wajib disembah dan ditakuti, baik oleh majikan maupun bawahan, sebab Allah tidak pernah memandang muka (Efesus 6:9). 2) Setiap orang wajib melakukan segala sesuatu yang baik dalam hidupnya (Efesus 6:8, 5:2). 3) Segala tindakan harus dilakukan seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia (Efesus 6:7, Kolose 3:23). 4) Tuhan Yesus bersabda, “Kasihilah seorang akan yang lain,” (Yohanes 15:17). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Kekudusan Pikiran dan Hati (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:17 (Hukum Kesepuluh)

Dari zaman dahulu hingga saat ini, setiap manusia dikatakan bersalah apabila tindakan atau perkataannya didapati melanggar hukum yang berlaku. Misalnya, seseorang divonis bersalah sebagai pencuri apabila ia memang secara faktual terbukti melakukan tindakan mencuri benda yang menjadi hak milik orang lain. Seseorang dinyatakan telah melakukan perzinahan ketika dirinya terbukti melakukan hubungan badan dengan seseorang yang bukan pasangannya yang sah dalam pernikahan. Hukum kesepuluh merupakan teroboson bagi zaman itu, bahkan masih merupakan terobosan sampai sekarang, karena hukum kesepuluh ini bukan hanya mengatur apa yang dapat dilihat, tetapi juga mengatur apa yang ada di dalam pikiran dan hati. Standar Sepuluh Hukum dari Allah lebih tinggi daripada standar moral lain yang ada dalam dunia, karena Allah dapat menyelidiki dan menilai hati setiap orang, sampai bagian yang terdalam (1 Samuel 16:7).

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, manusia memang hanya bisa mengkaji dan menilai perilaku serta perkataan yang teramati oleh panca indera. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki dan melakukan verifikasi terhadap apa saja yang berada dalam batin seseorang. Hukum maupun konsekuensi sosial hanya bisa berperan terhadap tindakan yang nyata dan ucapan yang terdengar. Oleh karena itu, manusia masih bisa melakukan, mengatakan, mengekspresikan, dan menuliskan segala sesuatu yang sebetulnya berbeda dengan sistem nilai dalam dirinya, pikirannya, asumsinya, serta keyakinannya. Melalui teguran Kristus kepada para pemimpin Yahudi, kita mengetahui bahwa Kristus mencela dengan keras sikap orang-orang yang mementingkan perilaku luar yang positif, namun menyembunyikan banyak hal yang tidak benar dalam hati dan pikiran (Matius 23:25-28). Allah menghendaki kebenaran yang utuh dari umat-Nya. Allah menuntut integritas (kesatuan pikiran, hati, perkataan, dan tindakan).

Setiap pengikut Kristus hendaknya menjaga hati dengan kewaspadaan yang tinggi (Amsal 4:23). Firman Tuhan menyerukan agar kita mengusahakan supaya pikiran kita sepenuhnya tunduk kepada firman Tuhan (2 Korintus 10:5). Kiranya Allah menolong agar hati kita menjadi kudus, sehingga kita bisa berpikir secara benar (Mazmur 51:12). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Jangan Berdusta (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:16 (Hukum Kesembilan)

Dalam konteks asli dari hukum kesembilan ini, Allah menghendaki agar orang tidak berdusta dalam konteks bersaksi di persidangan. Persidangan semestinya menegakkan keadilan, sehingga setiap pribadi yang bersaksi di dalamnya harus mengatakan yang benar, seperti dicatat di dalam Amsal 12:17, “Siapa mengatakan kebenaran, menyatakan apa yang adil.” Namun, hingga saat ini, masih ada orang yang mengatakan hal-hal yang tidak jujur dalam suatu sidang peradilan. Ia yang bersaksi dusta dalam persidangan hendaklah memperhatikan firman Tuhan yang berkata, “Tipu daya ada di dalam hati orang yang merencanakan kejahatan” (Amsal 12:20). Baik disadari maupun tidak, orang tersebut telah terlibat dalam upaya yang dinilai merencanakan kejahatan, sehingga perbuatan menjadi saksi dusta ini merupakan kekejian bagi Tuhan Allah (Amsal 12:22).

Selain di dalam konteks persidangan, hukum kesembilan ini juga mengatur perkataan seseorang kepada sesamanya dalam interaksi antarpribadi setiap hari. Allah adalah sumber kebenaran dan Allah tidak mungkin berdusta (Bilangan 23:19). Standar yang Allah kehendaki untuk terjadi dalam kehidupan kita adalah kesempurnaan, sama seperti Bapa di sorga adalah sempurna (Matius 5:48). Dengan demikian, seharusnya yang menjadi acuan dalam relasi kita dengan sesama adalah tidak mengatakan kebohongan sama sekali. Zakharia 8:16 menegaskan, “Berkatalah benar seorang kepada yang lain dan laksanakanlah hukum yang benar, yang mendatangkan damai di pintu-pintu gerbangmu.” Jadi, mengatakan kebenaran akan mewujudkan damai sejahtera di dalam hidup ini. Sebaliknya, sadarilah bahwa mendustai sesama adalah tindakan yang dibenci Allah (Zakharia 8:17).

Dalam hidup ini, ada beragam tuntutan terhadap kejujuran dalam bertutur kata maupun dalam bersikap. Misalnya, di setiap persidangan, kita tentu diminta untuk bersaksi secara benar. Saat membuat tulisan ilmiah dalam konteks pendidikan, jelas bahwa kita dilarang membuat karya yang tidak memenuhi kaidah kejujuran dalam penulisan. Namun, dalam interaksi sosial setiap hari, walaupun berbohong adalah salah secara etis, kebohongan belum tentu mendatangkan sanksi sosial yang besar. Sekalipun demikian, ingatlah bahwa dusta itu kekejian di mata Allah dan dusta dibenci oleh Allah. [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Jangan Mencuri (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:15 (Hukum Kedelapan)

Hukum kedelapan mengatur bagaimana manusia harus bersikap terhadap sesamanya dalam kaitan dengan hak kepemilikian di dalam hidup ini. Allah mengizinkan manusia untuk memiliki barang-barang dalam hidupnya, namun kita harus menyadari bahwa alam semesta beserta seluruh isinya adalah milik Allah (Mazmur 24:1). Sesungguhnya, manusia adalah pihak yang dipercaya oleh Allah untuk mengelola kepunyaan-Nya, dengan tujuan akhir agar nama-Nya semakin dimuliakan (Kejadian 1:28, Yesaya 43:7).

Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, natur manusia yang telah tercemar oleh dosa membuat manusia kehilangan kepedulian dan lebih memikirkan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, Rasul Paulus mengingatkan agar kita lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri (Filipi 2:1-11). Manusia yang tercemar oleh dosa juga dapat merasa iri kepada sesamanya (Yakobus 3:14). Dorongan untuk mementingkan kepuasan diri sendiri serta perasaan iri membuat manusia akhirnya mencuri hak milik orang lain (Amsal 6:30, Keluaran 22:1-4). Dalam penilaian Allah, mencuri itu salah karena Allah telah menetapkan bagian yang dimiliki dan boleh dikelola oleh seseorang. Mencuri adalah dosa karena tindakan itu tidak mencerminkan kasih kepada orang lain. Setiap pencuri harus menyadari firman Tuhan yang dengan keras berkata, “Pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah” (1 Korintus 6:10). Rasul Paulus meminta agar seorang mantan pencuri tidak lagi mengulangi perbuatan yang tidak terpuji itu, namun bekerja keras supaya dapat membantu orang lain yang berkekurangan (Efesus 4:28).

Saya percaya bahwa para pembaca Gema bukanlah pencuri harta benda yang dimiliki orang lain. Akan tetapi, kita perlu mewaspadai kemungkinan mencuri hal-hal yang bersifat non-materi, misalnya mencuri waktu (menggunakan jam kerja untuk melakukan aktivitas lain yang tidak terkait dengan pekerjaan, padahal sebenarnya ada tugas yang harus dikerjakan pada waktu yang sama) atau menggunakan fasilitas kantor (atau fasilitas organisasi) yang seharusnya tidak boleh dipakai untuk kepentingan diri sendiri. Waspadalah dan jadilah orang yang berintegritas dalam setiap aspek kehidupan Anda. [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Jangan Berzinah (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:14 (Hukum Ketujuh)

Kepada pria dan wanita yang telah diteguhkan dan diberkati ke dalam pernikahan, Allah memberikan berkat berupa hubungan badan. Melalui hubungan badan yang hanya diizinkan untuk dialami dalam pernikahan, relasi antara suami dan istri dapat dipupuk menjadi lebih erat serta lebih hangat. Hubungan intim antara suami dan istri juga merupakan sarana yang digunakan Allah untuk menciptakan anak-anak (Mazmur 139:13). Jadi, dalam pernikahan, Allah memberi kepercayaan besar kepada pria dan wanita. Dengan demikian, wajar bila berbagai macam hubungan seksual di antara pria dan wanita di luar pernikahan yang telah diteguhkan serta diberkati oleh Tuhan (perzinahan) merupakan dosa yang serius (Imamat 20:10-14, 17, 19-21). Selain perzinahan antar manusia, Alkitab juga menyebut hubungan seksual yang tidak wajar antara manusia dengan binatang sebagai perzinahan (Imamat 20:15-16). Perzinahan dibenci oleh Allah! Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan Allah (atau dikenal dengan istilah teokrasi) terhadap umat Israel dalam Perjanjian Lama, pelaku perzinahan diancam dengan hukuman yang berat (Imamat 20:10-21).

Allah yang maha kuasa mendirikan lembaga keluarga dengan maksud agar suami dan istri dapat saling membangun (Amsal 27:17). Bila Allah menganugerahkan anak dalam sebuah keluarga, maka keluarga yang utuh merupakan arena terbaik bagi orang tua untuk melaksanakan tugas memuridkan anak (Ulangan 6:4-9). Perzinahan akan merusak relasi suami istri dan akan menghalangi tujuan Allah bagi sebuah keluarga. Dosa perzinahan akan membangkitkan kemarahan pasangan si pelaku zinah serta berdampak buruk pada diri anak berupa munculnya kemarahan, kecemasan, perasaan takut, perasaan tidak percaya terhadap lembaga keluarga, bahkan bisa memunculkan keraguan terhadap kebaikan Tuhan. Bila kita mencintai anak, jangan berzinah!

Dalam Perjanjian Baru, Kristus memperluas pengertian kita tentang perzinahan, yaitu bahwa perzinahan bukan hanya tindakan secara fisik, melainkan bisa dilakukan di dalam batin atau dalam pikiran tanpa seorang pun tahu (Matius 5:27-28). Dosa perzinahan dalam pikiran ini juga dibenci Tuhan. Oleh sebab itu, kita bukan hanya harus menghindari perzinahan secara fisik, melainkan juga harus melepaskan diri dari ikatan pornografi dan masturbasi atau onani. [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Jangan Membunuh (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:13 (Hukum Keenam)

Pada waktu menciptakan manusia, Allah berkata, “Baikah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,” (Kejadian 1:26). Saat itu, ada diskusi di antara ketiga Pribadi Allah, tidak seperti saat Allah menjadikan ciptaan lainnya. Hal ini mengungkapkan bahwa manusia ialah makhluk yang istimewa dalam pandangan Allah. Alkitab mengungkapkan bahwa terjadinya manusia itu dahsyat dan ajaib, karena Allah yang menenun setiap orang (Mazmur 139:13, 14). Jadi, bukan hanya manusia pertama—Adam dan Hawa—saja yang diciptakan melalui kuasa serta karya Allah yang kreatif, tetapi semua manusia diciptakan oleh Allah itu sendiri. Sangatlah pantas bila dikatakan bahwa manusia adalah mahakarya dari Allah. Manusia—mahakarya Allah itu—disebut berharga dan mulia dalam pandangan Allah (Yesaya 43:4). Keberadaan manusia yang seperti itu membuat Allah melarang pembunuhan terhadap sesama manusia. Allah sangat membenci pembunuhan. Oleh karena itu, bila terjadi pembunuhan, Allah akan mengadili dan menghukum si pelaku (Kejadian 9:5, 6). Hukuman Allah yang paling mengerikan bukan yang ditujukan kepada tubuh jasmaniah, tetapi hukuman terhadap roh (Matius 10:28). Hukum keenam ini harus kita perhatikan: “Jangan membunuh!”

Banyak orang merasa bahwa dirinya telah memenuhi tuntutan Sepuluh Hukum Allah seperti orang kaya yang menemui Tuhan Yesus (Matius 19:16-20, Markus 10:17-20). Akan tetapi, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa mengucapkan makian atau perkataan kasar, mengungkapkan amarah secara berlebihan, dan mendendam terhadap orang lain berada di level yang sama dengan membunuh sesama manusia (Matius 5;21-26). Tuhan Yesus datang untuk menggenapi hukum Taurat (Matius 5:17). Selain itu, Dia memberikan penafsiran yang memperkaya pengertian kita akan hukum-hukum Allah. Berdasarkan penilaian manusiawi, tindakan membunuh dipandang lebih bersalah dan lebih jahat daripada makian, umpatan, perkataan sarkastis, serta kebencian dalam hati., padahal standar firman Tuhan jauh lebih tinggi daripada penilaian moral dan etis manusiawi. Tuhan tidak hanya menilai tindakan, perkataan, ekspresi emosi yang dapat dilihat orang lain, melainkan Dia menyelidiki apa yang ada dalam hati kita yang terdalam (1 Samuel 16:7). Perhatikanlah dengan saksama tindakan dan isi batin kita. Patuhilah hukum-hukum-Nya! [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Hormat Kepada Orang Tua (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:12 (Hukum Kelima)

Keluarga adalah lembaga pertama yang Allah dirikan saat Dia menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya (Kejadian 1:26-28, 2:24). Melalui relasi antara ayah dan ibu dalam keluarga, lahirlah anak-anak yang semestinya dididik oleh orang tua untuk semakin mengenal Allah (Kejadian 1:28, 18:19, Ulangan 6:4-9). Dalam rencana dan kehendak Allah, kedudukan orang tua lebih tinggi daripada anak, sehingga anak menghormati orang tua (20:12). Perintah tersebut harus dilakukan untuk menjaga tatanan dalam keluarga seperti yang dikehendaki Allah.

Pada masa kini, ada anak yang menaruh hormat dengan semestinya, tetapi ada pula anak yang tidak peduli—bahkan bersikap buruk—terhadap orang tua yang sudah membesarkan mereka. Tak dapat disangkal bahwa banyak orang tua yang telah gagal dalam mengasuh dan mendidik anak yang telah dipercayakan kepada mereka. Ada orang tua yang membuat anaknya menyimpan kemarahan (Efesus 6:4), merasa sakit hati, takut, atau sangat gelisah (Kolose 3:21). Sikap orang tua yang seperti itu membuat anak sulit melakukan hukum kelima ini. Jelaslah bahwa ada keadaan saling mempengaruhi antara orang tua dengan anak. Anak yang tidak menyimpan rasa marah dan sakit hati terhadap orang tua akan lebih mampu menghormati serta mematuhi orang tuanya (20:12, Efesus 6:1). Sebaliknya, orang tua yang diperlakukan dengan hormat dan ditaati oleh anaknya akan lebih mudah membesarkan dan mendidik anak sesuai dengan firman Tuhan.

Kondisi saling mempengaruhi di antara para pihak dalam keluarga tersirat dalam perkataan, “Rendahkan dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus,” (Efesus 5:21). Namun, jika dinamika relasi dalam keluarga hanya ditentukan oleh keadaan saling mempengaruhi, relasi dalam keluarga itu akan bersifat kondisional: anak hormat dan taat hanya bila orang tuanya tidak membangkitkan amarah dan tidak melukai hati. Sebaliknya, orang tua hanya akan mengasuh dan mendidik anak dengan benar bila anak itu menghormati dan menaati orang tua. Dinamika relasi yang kondisional ini tidak sesuai dengan makna “di dalam Kristus” yang mendasari relasi keluarga Kristen. Kristus mengasihi kita bukan karena kita mampu mematuhi firman-Nya. Kasih Kristus tidak kondisional! Walaupun orang tua telah melukai hati dan menimbulkan kemarahan, marilah kita tetap bersikap menghormati dan menaati mereka di dalam takut akan Kristus (Efesus 5:21). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Kuduskan Hari Sabat (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:8-11 (Hukum Keempat)

Hukum keempat yang memerintahkan umat Allah untuk menguduskan hari Sabat didasarkan pada tindakan Allah sendiri yang memberkati dan menguduskan hari Sabat (20:11). Melalui teks kitab suci yang melandasi perenungan hari ini, kita mengetahui bahwa pola kerja Allah dalam penciptaan alam semesta dan seluruh isinya (Kejadian 1) adalah pola yang harus kita tiru. Alkitab mengungkapkan bahwa Allah menciptakan alam semesta dan seluruh isinya dalam enam hari, kemudian Allah berhenti mencipta di hari yang ketujuh (20:11). Berdasarkan pola tersebut di atas, manusia diharuskan bekerja selama enam hari, dan di hari yang ketujuh berhenti dari segala aktivitas pekerjaan, profesi, maupun rutinitas yang biasa dilakukan pada hari pertama hingga keenam (20:9-10). Manusia harus mengkhususkan hari ketujuh untuk beribadah kepada Allah, sebab Allah telah menetapkan hari ketujuh sebagai hari yang kudus dan mulia (Yesaya 58:13). Apabila manusia menyembah Allah pada hari itu, sesungguhnya manusia akan mendapatkan kepuasan yang sejati (Yesaya 58:13). Hari yang ketujuh adalah hari bagi manusia untuk memupuk kerohaniannya dan mendapatkan kesegaran serta kekuatan baru untuk menghadapi hari-hari selanjutnya, seperti yang Allah sendiri katakan, “maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau ....” (Yesaya 58:14).

Bagi orang Kristen, hukum keempat ini harus diingat dan dilakukan. Kristus berkata bahwa kita harus menuruti segala perintah-Nya (Yohanes 14:15). Kristus juga menegaskan bahwa Dia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, tetapi untuk menggenapinya (Matius 5:17). Oleh sebab itu, siapa saja yang meniadakan salah satu dari hukum Taurat akan dihukum oleh Allah (Matius 5:19). Pola dari hukum keempat itu adalah enam hari kerja dan satu hari istirahat yang dikhususkan untuk Allah (Keluaran 31:14-15). Dalam Perjanjian Baru, konsep hari Sabat (hari terakhir setiap minggu) sebagai waktu yang dikhususkan untuk beristirahat dan beribadah itu diganti menjadi hari Minggu (hari pertama) sebagai hari untuk beristirahat (dari pekerjaan rutin) dan untuk memupuk relasi yang dekat dengan Allah. Bagi rohaniwan Kristen, hari Minggu merupakan hari untuk melayani jemaat. Oleh karena itu, pada umumnya, rohaniwan Kristen beristirahat pada hari Senin (hari kedua). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Kekudusan Nama Allah (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:7 (Hukum Ketiga)

Hukum Allah yang ketiga menegaskan bahwa Allah serta merta akan memandang bersalah setiap orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan (20:7). Perlu diingat bahwa nama Allah menyatakan siapa Allah, bukan hanya sekadar panggilan atau sebutan. Nama Allah menyatakan keberadaan dan natur atau sifat Allah. Ketika Musa hendak diutus untuk pergi ke Mesir, ia berkata kepada Allah, “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? -- apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (3:13). Terhadap pertanyaan tersebut, Allah menjawab, “AKU adalah AKU” (3:14). Jawaban ini menyingkapkan keberadaan Allah yang kekal, tidak berubah, dan juga menyatakan bahwa Dia adalah sumber dari segala keberadaan yang lain. Karena nama Allah menyatakan siapa Allah sebenarnya, dalam Doa Bapa Kami,Yesus Kristus mengajar kita untuk mengatakan, “Dikuduskanlah nama-Mu” (Matius 6:9). Raja Daud—yang menyadari keagungan makna nama Allah—berkata, “Ya TUHAN, Tuhan kami, bertapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.” (Mazmur 8:2). Dengan demikian, Alkitab memperlihatkan kepada kita bahwa nama Allah itu menyingkapkan kekudusan dan kemuliaan-Nya.

Berdasarkan pengertian di atas, setidaknya ada tiga hal yang harus kita lakukan untuk mematuhi hukum ketiga itu: Pertama, kita harus datang menyembah kepada-Nya dengan sebuah sikap hati dan kesadaran akan betapa kudus serta mulianya Allah. Adanya sikap hati dan kesadaran itu akan mempengaruhi sikap, pikiran, perkataan, dan perasaan saat kita sedang beribadah kepada-Nya. Kedua, Rasul Paulus menuliskan bahwa karena umat Allah tidak mematuhi firman-Nya maka, “Nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain” (Roma 2:24). Sangat jelas bahwa perilaku umat Allah yang menaati firman-Nya akan menjaga kekudusan dan kemuliaan nama-Nya. Ketiga, setiap janji yang diucapkan di dalam nama-Nya—janji saat baptis dewasa, pernikahan gerejawi, ikrar jabatan gerejawi, dan lainnya—harus dipenuhi. Ketika kita melanggar janji tersebut, maka kita telah melanggar kekudusan nama-Nya (Imamat 19:12). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Allah adalah Roh: Tak Boleh Digambarkan (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:4-6 (Hukum Kedua)

Dari dalam dirinya, setiap manusia menyadari akan adanya Sang Ilahi. Namun, karena manusia telah tercemar oleh dosa maka ia tidak dapat mengenal Allah yang sejati (Roma 1:18-21). Selain itu, setiap manusia lebih menyukai segala sesuatu yang konkrit dan pengalaman yang nyata dalam hidupnya daripada segala sesuatu yang tidak jelas (abstrak) atau tidak pasti. Di lain pihak, Allah itu tidak dapat dilihat secara kasat mata, dan berbagai konsep tentang Allah bersifat abstrak. Itulah sebabnya, manusia membuat patung, ukiran, dan berbagai figur (bentuk)—entah terbuat dari kayu, batu, perak, emas, maupun bahan lainnya—sebagai perwujudan dari Sang Ilahi, lalu menyembah berbagai buatan tangan itu (Roma 1:22-23). Dengan melakukan tindakan seperti itu, manusia jatuh ke dalam dosa penyembahan kepada ilah-ilah, sehingga perbuatan itu sangat dibenci oleh Allah (Roma 1:24-32). Allah tidak dapat diwakili atau digambarkan oleh buatan manusia dalam bentuk apa pun juga. Allah ingin agar kita mengenal dan menyembah Dia sebagaimana adanya, yaitu sebagai Roh (Yohanes 4:24).

Allah yang diberitakan dalam Alkitab adalah Pribadi yang Pencemburu. Sifat cemburu Allah sangat berbeda dengan sifat cemburu manusia. Manusia dapat cemburu terhadap sesuatu yang dimiliki oleh orang lain, padahal ia tidak berhak untuk mendapatkan apa yang menjadi objek rasa cemburunya. Sebagai contoh, seorang pegawai cemburu terhadap direktur perusahaan yang lebih memperhatikan rekan kerjanya. Sikap cemburu semacam ini salah karena sang pegawai tidak berhak menuntut agar sang atasan paling memperhatikan dirinya. Tidak demikian halnya dengan Allah. Dia berhak meminta kita mengasihi Dia saja dan menaati kehendak-Nya (20:5) karena Dia adalah Sang Pencipta segala sesuatu. Dialah yang telah membebaskan kita dari jerat dosa, dan tindakan-Nya itu membuktikan kesetiaan Allah pada janji-Nya (20:1-3). Sudah sewajarnya dan sepantasnya bila Allah memerintahkan kita untuk hanya mengasihi Dia dan mematuhi perintah-Nya. Tidak boleh ada bentuk-bentuk buatan tangan manusia yang mengalihkan penyembahan kita kepada Allah, meskipun benda yang kita sembah itu dianggap sebagai wakil dari keberadaan Allah. [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]