Nama Baik yang sia-sia

Pengkhotbah 7:1-22

Dalam bacaan Alkitab hari ini, Pengkhotbah menekankan tentang pentingnya nama baik: “Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal” (7:1). Minyak yang mahal di sini mewakili semua keuntungan di bumi. Selain keharumannya yang menyukakan hati, pada saat itu, minyak digunakan untuk mengurapi raja. Nama baik tidak dihasilkan saat kita dilahirkan. Saat dilahirkan, semua orang sama, yaitu sebagai seorang bayi yang belum bisa dinilai baik atau tidak baik. Saat meninggal, barulah nama baik atau tidak baik bisa ditetapkan (7:1,8). Berada di rumah duka merupakan hal yang baik karena di rumah duka, kita akan memikirkan apakah kita akan meninggal dengan meninggal-kan nama baik atau nama buruk (7:2,4).

Meninggalkan nama baik sebagai orang berhikmat lebih baik daripada meninggalkan nama buruk sebagai orang bodoh (7:4-6,11-12). Selain hikmat, yang menghasilkan nama baik adalah kesalehan. Tentu saja, memiliki nama baik tidaklah salah. Namun, adalah salah bila hidup ini hanya digunakan untuk mengejar nama baik. Pengkhotbah mengingatkan agar manusia jangan hidup terlalu saleh dan jangan pula terlalu berhikmat (7:16). Bila kita mengejar nama baik, lalu suatu saat kita gagal, kita akan berusaha mempertahankan nama baik dengan cara apa saja, termasuk dengan berdalih untuk menutupi kebohongan (7:29) atau melakukan kejahatan untuk membungkam orang yang mengetahui kegagalan kita. Dosa semacam itu bisa mendatangkan kematian (7:16, bandingkan dengan Roma 6:23). Sadarilah bahwa kemujuran maupun kemalangan itu dikendalikan oleh Allah (7:14). Jadi, nama baik yang didasarkan pada hikmat dan kesalehan tidak bisa menjadi jaminan karena kemalangan bisa saja menimpa orang yang memiliki hikmat. Seberapa pun salehnya kita hidup, firman Tuhan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang memenuhi standar kesalehan yang ditetapkan Allah (7:20,22). Bila hikmat dan kesalehan saja tidak bisa menjadi jaminan, apalagi kehidupan sebagai orang fasik. Semua orang menuju kematian! Hanya orang yang takut akan Allah yang akan terluput dari kematian yang kekal (7:18). Firman Tuhan mengatakan bahwa setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus akan beroleh hidup yang kekal. (Yohanes 3:15-16). Bagaimana dengan Anda? Semoga hikmat dan kesalehan Anda bukan sekadar untuk pencarian nama baik, namun merupakan hasil dari relasi Anda dengan Allah! [BW]

Kekayaan yang sia-sia

Pengkhotbah 5:7-6:12

Dalam 1-2 tahun terakhir ini, muncul istilah Crazy Rich yang menunjuk kepada orang-orang yang kelihatan sangat kaya karena mereka senang memamerkan kekayaan mereka. Namun, dalam 1-2 bulan belakangan, ada beberapa Crazy Rich yang ditahan oleh polisi. Orang-orang ini ditahan karena mereka menjadi Crazy Rich melalui usaha yang melanggar hukum dan merugikan banyak orang.

Dalam bacaan Alkitab hari ini, Pengkhotbah memberi peringatan, “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang” (5:9). Walaupun sudah menjadi kaya, mereka terus berusaha memperkaya diri, sehingga mengejar kekayaan itu menjadi seperti candu. Mereka memperlihatkan bahwa kekayaan adalah sumber kebahagiaan mereka. Bagi mereka, makna hidup terdapat pada kekayaan. Pengkhotbah mengingatkan bah-wa kekayaan dapat menjadi sumber malapetaka (5:12) karena kekayaan bisa membuat seseorang menjadi sombong, merasa berkuasa, lalu menindas (5:7), merugikan orang lain, merasakan keamanan yang semu, mencintai dunia, bahkan menjauh dari TUHAN. Adakalanya, pengejaran kekayaan membuat seseorang bisa melupakan keluarganya, sehingga anaknya tidak merasakan kasih orang tuanya (5:13). Walaupun dikaru-niai banyak anak dan panjang umur, dia tidak bisa menikmatinya karena waktunya dihabiskan untuk mengejar kekayaan (6:3-6). Orang yang tidak bisa menikmati kekayaannya (6:2) sama seperti mereka yang memperoleh banyak kekayaan, namun akhirnya masuk penjara atau sakit atau hidupnya hanya dipakai untuk mengejar kekayaan, sehingga dia tidak bisa menikmati kebersamaan dengan keluarga maupun teman. Tuhan Yesus berfirman, "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." (Lukas 12:15)

Pengkhotbah mengingatkan bahwa yang dianggap baik dan tepat adalah orang yang bisa menikmati bagiannya untuk bersukacita atas kekayaan, harta benda, dan kekuasaan, yang semuanya merupakan pemberian Allah (5:17-18). “Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya.” (Amsal 10:22). Apakah saat ini, Anda lebih mementingkan mencari uang atau mencari TUHAN? Ketika Anda dalam kesulitan, apakah Anda lebih mengandalkan uang atau lebih mengandalkan TUHAN? [BW]

Ibadah yang sia-sia

Pengkhotbah 4:17-5:6

Dalam pembahasan tentang masalah ibadah (4:17-5:6), Pengkhotbah tidak menyebut tentang keadaan “di bawah matahari” dan “kesia-siaan” yang sebelumnya sering disebut. Apakah hal ini berarti bahwa ibadah adalah jawaban atas pencarian makna hidup? Sebagai umat Allah, ibadah memang merupakan kewajiban. Akan tetapi, pembahasan menyangkut ibadah ini diawali dengan perkataan, “Jagalah langkahmu, ....” (4:17) Ingatlah bahwa saat Allah memanggil Musa, Musa diminta untuk menanggalkan kasutnya. Hal ini menunjukan bahwa sikap hormat itu penting bila kita hendak menghadap hadirat Allah yang kudus.

Pengkhotbah mengingatkan bahwa mendengar lebih baik daripada mempersembahkan korban. Bila kita datang kepada Allah, kita harus mendengarkan Allah, bukan sebaliknya. Kita harus datang dengan ketetapan hati untuk menaati kehendak Allah. Tanpa kesediaan mendengar, kita bisa memberi persembahan dengan cara yang salah, yaitu seperti orang bodoh memberi persembahan dalam kebodohannya, yaitu memberi tanpa memedulikan kehendak Allah. Memberi secara sembarangan berarti menganggap Allah kekurangan seperti pengemis, dan tindakan itu merupakan penghinaan terhadap Allah, Sang Pemilik alam semesta ini. Oleh karena itu, perbuatan itu jahat (4:17).

Ketika kita diizinkan berbicara melalui doa, kita harus berkata-kata dengan bijaksana (5:1). Jangan mengeluarkan terlalu banyak kata-kata seolah-olah Allah sulit memahami apa yang kita inginkan (Bandingkan dengan Matius 6:5-15). Kita juga harus berhati-hati sebelum mengucap-kan nazar karena nazar harus ditepati (Pengkhotbah 5:3-4). Jangan sampai kita mengikuti jejak Ananias dan Safira yang menipu Allah saat memberi persembahan, sehingga kebohongan itu mendatangkan hukuman (Kisah Para Rasul 5:1-11).

Dalam Alkitab, adakalanya Allah berbicara melalui mimpi. Namun, Pengkhotbah mengingatkan agar jangan terlalu mudah menafsirkan mimpi sebagai perkataan Allah karena mimpi bisa muncul dari beban pikiran dan juga bisa berkaitan dengan kesibukan (Pengkhotbah 5:2).

Melalui pemaparan Pengkhotbah dalam bacaan Alkitab hari ini, jelas bahwa pencarian makna hidup melalui aktivitas ibadah bisa menjadi kesia-siaan dan mendatangkan hukuman bila kita tidak memahami bahwa ibadah itu harus digerakkan oleh hati yang takut akan Allah. Apakah seluruh aktivitas ibadah Anda disertai sikap takut akan Allah? [BW]

Kesuksesan yang sia-sia

Pengkhotbah 4:7-16

Harta–Wanita-Takhta atau Kekayaan-Relasi-Kekuasaan sering di-anggap sebagai ukuran kesuksesan seseorang. Dalam bacaan Alkitab hari ini, ketiga hal di atas dipaparkan oleh Pengkhotbah. Namun, benarkah Kekayaan-Relasi-Kekuasaan merupakan ukuran kesuksesan?

Sifat selfish adalah sifat mementingkan diri sendiri. Tanda dari orang yang bersifat selfish adalah ketidakpedulian terhadap perasaan atau kepentingan orang lain. Sifat selfish ini merupakan penyebab timbulnya kejahatan dan bersifat memperbudak diri sendiri. Bila orang seperti itu menjadi raja, orang itu tidak akan mau menerima nasihat orang lain. Contoh orang yang memiliki sifat selfish adalah orang yang terus mengejar kekayaan, padahal dia sudah tidak memiliki tanggungan lagi (4:7). Orang yang demikian akan sulit untuk mengucap syukur dan mencukupkan diri dengan apa yang ada. Pengkhotbah menjelaskan bahwa sikap selfish ini merupakan suatu kebodohan karena kekayaan yang dikumpulkan akan menjadi tidak berguna, bahkan kekuasaan yang dimiliki pun akan menjadi pudar.

Pengkhotbah mengingatkan bahwa lebih baik memiliki teman dekat daripada sendirian. Sepasang suami istri bisa menghangatkan badan dengan tidur berdua. Dengan saling membantu, mereka akan bisa mengerjakan hal-hal yang tidak bisa dikerjakan sendiri (4:9-12). Tentu sa-ja mereka harus saling menasihati dan saling mendengarkan. Pentingnya relasi ini kontras dengan raja yang tidak mau mendengar (4:13). Sekalipun miskin, kalau seseorang bisa membangun relasi yang baik, ia bisa menjadi berkuasa, apalagi kalau dia kaya. Jadi, orang berhikmat akan memanfaatkan kekayaan untuk membangun relasi yang kemudian dipakai untuk membangun kekuasaan. Sepintas lalu, hal ini seperti membenarkan ungkapan “Harta-Wanita-Tahta” atau “kekayaan-Relasi-Kekuasaan” sebagai ukuran kesuksesan. Akan tetapi, Pengkhotbah mengingatkan bahwa bila kita hanya bersandar pada kekayaan, relasi, dan kekuasaan saja, akhirnya kita akan memperoleh kesia-siaan belaka (4:16).

Ingatlah bahwa kekayaan-relasi-kekuasaan akan berlalu, tetapi kasih tidak berkesudahan (1 Korintus 13:8). Hidup kita harus tetap berpusat kepada Allah yang adalah Kasih (1 Yohanes 4:8). Kekayaan-Relasi-Kekuasaan yang Tuhan percayakan adalah sarana untuk menga-sihi Allah dan mengasihi sesama. Apakah Anda dikenal sebagai orang yang penuh kasih atau arang yang mementingkan diri sendiri? [BW]

Kuasa yang sia-sia

Pengkhotbah 3:16-4:6

Dalam bacaan Alkitab sebelumnya (3:1-15), Pengkhotbah memperli-hatkan bahwa sesungguhnya, manusia tidak berkuasa atas hidup-nya. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Pengkhotbah memperlihatkan bahwa bila seseorang menganggap dirinya berkuasa memakai kekuasaannya secara sewenang-wenang, pasti akan timbul ketidakadilan (3:16) dan penindasan (4:1).

Berdasarkan pengamatannya, Pengkhotbah menemukan bahwa dalam hidup manusia di bawah matahari, banyak terjadi ketidakadilan. Di pengadilan, tempat yang seharusnya untuk menegakkan keadilan pun, ternyata bisa ditemukan ketidakadilan (3:16). Orang yang berkuasa—yang seharusnya memberi kesejahteraan—justru melakukan penindasan (4:1). Pengkhotbah melihat bahwa sumber ketidakadilan dan penindasan adalah iri hati seseorang terhadap orang lain (4:4). Itulah sebabnya, keti-dakadilan dan penindasan bisa terjadi kepada semua orang. Bila kita me-nuntut agar kita diperlakukan adil secara sempurna di bawah matahari, kita akan sulit menemukan kebahagiaan. Kita hanya akan menemukan kebahagiaan bila kita memandang keadilan Allah, karena Dialah yang Mahaadil. Dia akan mengadili seluruh umat manusia secara adil. Peng-khotbah mengingatkan bahwa mereka yang—dengan kekuasaannya—memutarbalikkan keadilan serta melakukan penindasan akan menerima ganjaran dari Allah. Allah akan mengadili secara adil (3:17). Oleh karena itu, janganlah berlaku tidak adil sehingga kita menindas orang lain. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan tidak ubahnya dengan bina-tang yang tidak menikmati kehidupan setelah kematiannya. Semuanya akan berakhir dengan kesia-siaan (3:19-22).

Jagalah hati Anda agar Anda tidak memiliki perasaan iri hati. Milikilah hati yang takut akan Allah karena Allah akan mengadili semua orang secara adil. Jangan menuntut keadilan dari dunia yang berdosa yang tidak sanggup untuk bertindak adil sepenuhnya. Bersikaplah tenang dan bersandarlah kepada TUHAN saat Anda menemui atau mengalami ketidakadilan dan penindasan. Hiburlah mereka yang tertindas. Itulah yang diharapkan oleh Pengkhotbah.

Sebagai pimpinan, orang tua, karyawan, atau dalam posisi apa pun, apakah Anda telah menggunakan kekuasaan yang Anda miliki secara adil dan sesuai dengan kehendak Allah? [BW]

Untuk segala sesuatu ada waktunya

Pengkhotbah 3:1-15

Semua orang menginginkan hal-hal yang membahagiakan. Dengan hikmat, kuasa dan kerja keras, banyak orang berpikir bahwa mereka akan dapat mewujudkan apa yang mereka harapkan. Akan tetapi, kenyataan tidak selalu demikian. Pengkhotbah mengamati bahwa dalam hidup ini, terjadi banyak hal yang tidak sama dengan apa yang kita harapkan, karena untuk segala sesuatu ada waktunya (3:1-8).

Perkataan “ada waktu” untuk segala sesuatu menunjukkan bahwa manusia tidak berkuasa atas terjadinya hal-hal itu. Oleh karena itu, untuk hal yang tidak kita inginkan pun, hal itu akan tetap terjadi. Jadi, sebenarnya, manusia tidak berkuasa atas hidupnya sendiri. Pengkhotbah memperlihatkan bahwa Allah terlibat dalam segala peristiwa (3:10). Bacaan Alkitab hari ini mengingatkan kita bahwa kita tidak dapat me-nyelami pekerjaan Allah dengan segala hikmat dan pengetahuan yang kita miliki (3:11). Kita harus menyesuaikan diri dengan waktu dan rencana Allah. Apa yang kita lihat dan alami saat ini memiliki batas. Sama seperti seseorang yang kebingungan saat melihat seorang pemahat “merusak” sebongkah kayu besar di pinggir jalan yang biasa digunakan untuk duduk. Pemahat itu mencoret-coret dengan pisau di tangannya. Bahkan, sang pemahat memotong-motong kayu itu, sehingga dia menegurnya. "Hai pemahat, mengapa kamu merusak kayu yang bagus dan berguna ini?" Namun, sang pemahat itu tetap melanjutkan aktivitasnya. Akhirnya, terlihatlah sebuah karya yang sangat indah yang harganya mahal.

Pengkhotbah memahami bahwa Allah telah memberikan kekekalan dalam hati manusia (3:11) dan Allah mengajak manusia melihat segala sesuatu bukan dari sudut pandang kesementaraan yang sia-sia, tetapi dari sudut pandang kekekalan. Apa yang kita alami saat ini—baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan—merupakan pemberian Allah yang akan terlihat indah pada waktunya (3:11) sekalipun kita tidak memahami cara kerja Allah dalam mewujudkannya. Pengkhotbah menemukan bahwa hal terpenting adalah bahwa manusia harus memiliki sikap takut akan Allah (3:14), yaitu rasa takut yang didasari oleh sikap hormat atas keagungan-Nya. Nikmatilah hidup Anda dengan sikap takut akan Allah, meskipun saat ini Anda belum memahami sepenuhnya apa yang akan terjadi. Saat Anda membuat perencanaan, apakah Anda selalu berusaha menyesuaikan rencana Anda dengan kehendak Allah? [BW]

Pekerjaan Besar yang Sia-sia

Pengkhotbah 2

Saat berjumpa dengan seorang yang belum kita kenal, hal pertama yang biasanya kita tanyakan selain nama adalah pekerjaan. Pekerjaan sering kali dianggap sebagai identitas seseorang. Namun, apakah pekerjaan mencerminkan makna hidup yang sebenarnya?

Pada bagian sebelumnya, Pengkhotbah menyatakan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia, termasuk hikmat dan pengetahuan. Akan tetapi, dalam bacaan Alkitab hari ini, Pengkhotbah melihat bahwa hikmat dan pengetahuan adalah hal yang baik, karena hikmat melebihi kebodohan(2:13). Hikmat membuat dia bisa sukses melakukan berbagai pekerjaan besar (2:4-8) dan membuat dia menjadi orang besar, bukan orang biasa (2:9), sehingga Pengkhotbah dapat berkata, “inilah jerih payahku” (2:10). Namun, saat ia melihat bahwa semua akan berakhir dan kebesarannya harus diwariskan kepada generasi berikutnya yang belum tentu bisa meneruskan kebesaran tersebut, dia sadar bahwa hasil akhir pekerjaannya adalah kekecewaan dan kesia-siaan (2:11), apa lagi saat ia melihat yang paling akhir, yaitu bahwa baik orang berhikmat maupun orang bodoh memiliki akhir yang sama, yaitu kematian. Oleh karena itu, segala keberhasilan yang ia capai itu pun merupakan kesia-siaan (2:16).

Pengkhotbah menyadari bahwa kehidupan yang bermakna itu bukanlah didasarkan pada hasil pekerjaan yang ia lakukan. Akan tetapi, hidup yang bermakna adalah hidup yang berkenan kepada Allah. Pengkhotbah menemukan bahwa kepada orang yang diperkenan-Nya, Allah mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan (2:26). Bagai-mana agar hidup kita bisa berkenan kepada TUHAN? Pertama-tama, kita harus menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat dalam hidup kita. Kita tidak mungkin hidup berkenan kepada Allah dengan segala keberdosaan kita yang tidak terampuni, kecuali bila kita datang bersama Anak-Nya yang tunggal, yaitu Yesus Kristus yang telah menebus segala dosa kita. Dalam Yohanes 14:6, firman Tuhan mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Apakah Anda sudah menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat Anda? Apakah Anda sudah berusaha untuk hidup berkenan kepada Allah? Apakah Anda selalu bersyukur atas apa yang Anda miliki? Apakah Anda selalu berusaha melakukan yang terbaik berdasarkan apa yang telah Allah percayakan kepada Anda? [BW]

Hikmat Duniawi yang Sia-sia

Pengkhotbah 1

Dalam bacaan Alkitab hari ini, Pengkhotbah mengajak kita untuk menyelami makna hidup manusia melalui sebuah pertanyaan, “Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (1:3). Pengkhotbah membandingkan manusia dengan proses di alam semesta yang terus berlangsung secara rutin seolah-olah tanpa tujuan. Rasa penasaran membuat Pengkhotbah tidak berdiam diri, dia berusaha mencari tahu makna hidup manusia yang sebenarnya (1:13).

Dalam pencariannya, Pengkhotbah memperhatikan kehidupan manusia di bawah matahari. Berdasarkan hasil pengamatannya, dia menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan manusia hanyalah kesia-siaan dan seperti usaha menjaring angin (1:14). Kata “sia-sia” memiliki makna bahwa usaha yang dilakukan itu tidak bermanfaat atau hanya sekejap saja manfaatnya. Namun, dia tidak berhenti di sana. Dia berusaha memperbesar dan menambah hikmat serta pengetahuannya (1:16). Akan tetapi, kesimpulannya tetap sama, yaitu bahwa hidup itu merupakan kesia-siaan. Walaupun pencarian Pengkhotbah akan makna hidup tidak menemukan jawaban, ada hal menarik yang perlu kita perhatikan. Pengkhotbah menggunakan istilah “di bawah matahari" untuk menjelaskan bahwa hikmat dan pengetahuan yang ditemukan Pengkhotbah adalah penemuan berdasarkan realita kehidupan di dunia yang berdosa ini. Bila makna hidup yang dicari melalui hikmat dan pengetahuan duniawi adalah kesia-sian, apakah ada makna hidup yang tidak berada di bawah matahari?

Kita harus mencari makna hidup pada sumber terang! Tuhan Yesus bersabda, "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup. " (Yohanes 8:12). Yesus Kristus adalah Allah yang terlibat dalam penciptaan alam semesta ini (Yohanes 1:3). Dialah yang mengetahui tujuan penciptaan alam semesta ini. Alam semesta—termasuk manusia di dalamnya—diciptakan untuk kemuliaan Allah (Mazmur 19:2; Yesaya 43:7). Carilah makna hidup Anda! Mulailah dengan memandang kepada Allah, karena “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian.” (Amsal 9:10). Rasul Paulus mengatakan, “...dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (1 Korintus 15:58). Apakah Anda telah mencari hikmat dengan dilandasi rasa takut akan Allah? [BW]

Menghadapi Para Pembenci Misi

Kisah Para Rasul 22:23-23:11

Walaupun Rasul Paulus rela menderita, ia tidak mencari penderitaan. Ia memprotes perwira yang diperintahkan untuk melaksanakan pencambukan terhadap dirinya dengan menuntut haknya sebagai warga negara Romawi untuk diadili lebih dahulu bila hendak dicambuk (22:25). Tujuan kedatangannya ke Yerusalem bukan untuk mencari penderitaan. Bagi orang Kristen, penderitaan bukanlah tiket atau sarana untuk masuk ke sorga, walaupun penderitaan diakui sebagai bisa mengerjakan kemuliaan kekal yang amat berharga (2 Korintus 4:7). Oleh karena itu, bila ia harus menderita demi pemberitaan Injil, Rasul Paulus telah siap!

Sikap memusuhi yang diungkapkan oleh orang-orang Yahudi yang membenci misi Kristen adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Mereka beranggapan bahwa diri merekalah yang memiliki kebenaran yang mutlak. Setiap perbedaan pendapat akan dipandang sebagai suatu kesa-lahan atau kesesatan. Oleh karena itu, Rasul Paulus berusaha meredam sikap memusuhi terhadap dirinya dengan menjelaskan bahwa sebenar-nya dirinya juga termasuk seorang Farisi dan keturunan orang Farisi yang mengharapkan kebangkitan orang mati (Kisah Para Rasul 23:6). Sebenarnya, orang Farisi memang berbeda paham dengan orang Saduki yang tidak memercayai kebangkitan orang mati serta menganggap ma-laikat dan roh itu tidak ada. Oleh karena itu, pengakuan Rasul Paulus di atas membuat beberapa ahli Taurat dari golongan Farisi berbalik mem-bela Rasul Paulus, sehingga terjadilah perpecahan di antara orang Farisi dan orang Saduki yang sebelumnya bersatu untuk mencari kesalahan Rasul Paulus. Perpecahan itu mengakibatkan terjadinya keributan besar, sehingga akhirnya kepala pasukan kembali memerintahkan pasukannya untuk mengamankan Rasul Paulus (23:7-10). Dalam keadaan yang kacau dan menegangkan itu, Tuhan menguatkan Rasul Paulus untuk tetap per-gi menjadi saksi di kota Roma (23:11).

Pengalaman seperti yang dialami oleh Rasul Paulus—yaitu adanya para pembenci misi Kristen yang mencari-cari kesalahan—terus berulang di sepanjang sejarah sampai saat ini, walaupun pelakunya berbeda. Dunia terus mengamati orang Kristen, sehingga orang Kristen yang sejati harus berusaha menjalani cara hidup yang baik agar tidak bisa dicela dan difitnah (bandingkan dengan 1 Petrus 2:12). Apakah Anda sudah menjalani cara hidup yang baik? [P]

Keputusan Berisiko Tinggi

Kisah Para Rasul 21:1-26

Hidup selalu diwarnai oleh pengambilan keputusan. Allah mencipta-kan manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas, walaupun kebebasan itu terbatas. Kebebasan itu membuat keputusan kita tidak selalu bisa langsung kita sebut sebagai kehendak Allah. Di satu sisi, Allah memiliki rencana yang tak bisa ditolak, yang kita sebut sebagai kehendak Allah yang mutlak. Di sisi lain, Allah juga memiliki kehendak moral. Bila kita berbuat dosa, jelas bahwa kita melakukan kehendak kita sendiri, bukan melakukan kehendak Allah karena dosa bertentangan dengan kehendak moral Allah.

Roh Kudus sudah memberi tahu Rasul Paulus bahwa rencananya untuk pergi ke Yerusalem akan membuat dia menghadapi ancaman penjara dan kesengsaraan (20:23). Kita sulit menilai apakah rencana itu adalah bagian dari kehendak Allah yang mutlak atau merupakan hasil keputusan Rasul Paulus sendiri. Sekalipun demikian, jelas bahwa rencana itu tidak bertentangan dengan kehendak moral Allah. Walaupun “bisikan Roh” membuat para murid di kota Tirus menyarankan agar Rasul Paulus jangan melanjutkan perjalanan ke Yerusalem (21:4), dan nubuat Nabi Agabus tentang penangkapan Rasul Paulus oleh bangsa lain—yaitu oleh prajurit Romawi—membuat para murid di Kaisarea meminta Rasul Paulus agar tidak melanjutkan perjalanan ke Yerusalem (21:10-12), Rasul Paulus bebas memutuskan untuk tetap pergi ke Yerusalem. Keputusan Rasul Paulus untuk tetap pergi ini tidak memiliki permasalahan moral, melainkan merupakan bagian dari kebebasan yang diberikan Allah kepa-da manusia. Perkenan Tuhan terlihat jelas dalam dorongan yang Ia beri-kan di kemudian hari, "Kuatkanlah hatimu, sebab sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian juga-lah hendaknya engkau pergi bersaksi di Roma." (23:11).

Misi Kristen selalu diwarnai oleh keputusan berisiko tinggi. Melalui orang-orang yang berani menempuh risiko sebagai ungkapan kesetiaan dan ketaatan terhadap kehendak Allah, misi Kristen melakukan berbagai terobosan yang membuat banyak orang bisa mengenal Kristus dan memperoleh keselamatan. Dalam sejarah Kristen, kita mengenal banyak misionaris yang mengorbankan nyawanya sebelum Injil bisa diterima oleh suatu kelompok masyarakat. Apakah pada zaman ini masih ada orang yang berani mengorbankan nyawa untuk pemberitaan Injil? [P]