Identitas Sebagai Orang Merdeka

Galatia 4:21-31

Ketika terjadi pertempuran antara dua buah perahu, strategi yang terbaik bukanlah mengalahkan penumpang di perahu lain tetapi menenggelamkan perahunya. Seperti itulah yang dilakukan Rasul Paulus di sini. Karena kelompok pengacau di Galatia berargumen dengan memakai Taurat, ia berkata, “Betulkah hukum Taurat mengajarkan apa yang dikatakan para pengacau itu, atau membenarkan apa yang kuberitakan bahwa hidupmu tidak berada di bawah Taurat?”
Rasul Paulus lalu memakai kiasan dengan membandingkan Sara dan Hagar. Hagar dikaitkan dengan gunung Sinai tempat hukum Taurat diberikan dan perhambaan (4:24-25), sedangkan Sara dikaitkan dengan Yerusalem sorgawi dan kemerdekaan (4:26) yang menerima anak mela-lui janji (4:27). Rasul Paulus berkata tentang Sara, “ialah ibu kita” (4:26) dan “kamu sama seperti Ishak adalah anak-anak janji” (4:28). Maksud-nya jelas. Ada dua macam “anak Abraham”. Yang satu adalah yang diperanakkan menurut daging (4:29), diikat dengan hukum Taurat, dan sesungguhnya bukanlah anak, melainkan hamba. Yang satu lagi adalah “anak Abraham” yang sesungguhnya, yaitu yang diperanakkan menurut Roh (4:29) dan merupakan orang merdeka. Jemaat Galatia menjadi “anak Abraham” menurut janji, sama seperti Ishak yang diperanakkan menurut Roh dan merupakan orang merdeka. Rasul Paulus menegaskan bahwa inilah yang dikatakan oleh Taurat. Maka, bagaimana mungkin mereka—berdasarkan Taurat—justru memilih menjadi anak Hagar? Lalu, apa yang dikatakan Kitab Suci untuk situasi yang dialami jemaat Galatia? Jawabannya adalah, “Usirlah hamba perempuan itu ....” (4:30). Bukan saja mereka harus menolak ajaran kelompok pengacau di Gala-tia, tetapi mereka juga diminta untuk mengusir orang-orang itu.
Rasul Paulus kembali mengingatkan siapakah jemaat Galatia yang sesungguhnya: Mereka adalah “anak-anak perempuan merdeka” (4:31). Maka mereka tidak boleh kembali kepada perhambaan. Sebaliknya, mereka harus belajar mengekspresikan kemerdekaan mereka dengan berjalan di dalam Roh. Identitas yang jelas sebagai “anak Abraham”, pewaris janji hidup yang kekal, dan orang merdeka yang mengikuti Roh Kudus, akan menentukan bagaimana mereka hidup. Apakah identitas Anda yang jelas sebagai anak-anak Allah, orang-orang tebusan Kristus, telah mengubah kehidupan Anda? [Pdt. Jeffrey Siauw]

Menegur Dengan Kasih

Galatia 4:12-20

Menegur kesalahan orang, apalagi agar teguran itu efektif, adalah sulit. Hal itu juga dialami oleh Rasul Paulus. Dia tahu bahwa tidak cukup menegur jemaat Galatia dengan menunjukkan kesalahan mereka atau menjelaskan apa yang dia inginkan dari mereka. Maka. di dalam bagian ini, Rasul Paulus mengingatkan jemaat Galatia akan hubungannya dengan mereka yang mesra dan betapa dia mengasihi mereka.
Permohonan Rasul Paulus adalah “jadilah sama seperti aku” (4:12). Dia memanggil jemaat Galatia untuk meniru dia dalam kesetiaan kepa-da berita Injil (2:5, 14). Dia menantang mereka untuk mati oleh hukum Taurat supaya hidup untuk Allah (2:19-20). Dia memohon agar mereka menjaga kemerdekaan mereka dan menikmati semua berkat yang terse-dia bagi mereka karena iman kepada Kristus (3:6-4:7). Permohonan ini didasarkan pada beberapa hal: Pertama, dia mengingatkan bahwa dia telah menjadi sama seperti mereka (4:12). Ketika memberitakan Injil kepada mereka, Rasul Paulus hidup seperti mereka. Dia tidak membuat jarak sama sekali antara dirinya dengan mereka. Dia menunjukkan bah-wa yang terpenting adalah iman kepada Kristus dan bukan hidup seperti orang Yahudi atau seperti orang Yunani. Kedua, dia mengingatkan mereka akan kasih mereka kepadanya (4:12-16). Waktu itu, mereka menyambut dia seperti menyambut Kristus Yesus dan mereka begitu bersukacita karena Injil yang dia beritakan kepada mereka, sehingga mereka rela mengorbankan apa saja untuk dia. Ketiga, dia menunjukkan bahwa kelompok pengacau di Galatia memiliki motivasi yang buruk—kontras dengan dia yang mengasihi mereka. Dia mengasihi mereka bukan saja dulu ketika memberitakan Injil kepada mereka, tetapi juga sekarang ketika mereka mengikuti Injil lain. Ia seperti seorang ibu yang sakit bersalin karena mereka (4:19).
Ada dua hal yang kita pelajari dari rasul Paulus di sini. Pertama, kasihnya yang luar biasa. Ia sangat menguatirkan jemaat Galatia. Apa yang akan terjadi bila mereka terus mengikuti Injil yang lain? Rasul Paulus tidak bisa tinggal diam karena dia mengasihi mereka seperti seorang ibu mengasihi anaknya. Apakah kita juga sangat mengasihi orang-orang yang kita layani? Kedua, dia menunjukkan kasih itu dengan tidak malu. Seringkali kita perlu menunjukkan dengan lebih jelas kasih sayang di balik teguran kita, apa lagi bila masalahnya berkaitan dengan Injil. Pikirkanlah bagaimana Anda akan melakukannya! [Pdt. Jeffrey Siauw]

Hidup Sebagai Anak-Anak Allah

Galatia 4:1-11

Ada seorang kaya yang meninggalkan sejumlah besar warisan untuk anaknya. Ia berpesan kepada orang kepercayaannya untuk mendidik anaknya dan menjaga warisan itu sampai anaknya dewasa. Artinya, sebelum anak itu dewasa, ia harus hidup sama seperti hamba yang lain. Waktu pun berlalu dan tibalah saatnya anak itu menerima warisan ayahnya. Tetapi, ternyata dia lebih suka hidup sebagai hamba! Sangat bodoh! Itulah ilustrasi yang dipakai rasul Paulus di sini untuk jemaat Galatia. Sejujurnya, ilustrasi ini tidak sempurna menjelaskan maksud sesungguhnya. Tetapi, sampai batas tertentu, ilustrasi ini cukup untuk membuat kita mengerti. Dulu orang Yahudi takluk kepada hukum Taurat dan orang Yunani takluk kepada ilah-ilah lain. Ketika waktunya sudah genap, Allah mengutus Kristus untuk menjadikan mereka sebagai anak. Sekarang, mereka sudah menjadi anak. Artinya, mereka sudah me-nerima warisan yang dijanjikan, yaitu hidup kekal. Bagaimana mungkin mereka lebih suka untuk hidup seperti saat belum mengenal Kristus?
Hukum Taurat diperlukan saat itu untuk menjaga mereka. Tetapi, ketika Kristus sudah menebus mereka, keinginan untuk kembali berada di bawah hukum Taurat merupakan sebuah kebodohan. Bagi rasul Paulus, berada di bawah hukum Taurat itu berarti berbalik dan memperhamba-kan diri kepada “roh-roh dunia yang lemah dan miskin” (4:9). Status kita sebagai anak dikonfirmasi oleh Bapa dengan mengutus Roh Kudus ke dalam hati kita. Roh itu yang meyakinkan kita untuk berseru: “ya Abba, ya Bapa!” - sebuah sebutan yang sangat intim dari seorang anak kepada ayahnya. Keyakinan ini bukan karena hasil studi atau keberhasilan moral kita, melainkan merupakan hasil pekerjaan Roh Kudus.
“Bagaimana mungkin kamu mau diperhamba lagi?” - Rasul Paulus berseru kepada jemaat Galatia. Apakah kita sama berdukanya seperti Rasul Paulus ketika ada yang mengajarkan hidup Kristen sebagai ketaatan kepada “hukum”? Apakah kita terganggu ketika orang Kristen lebih menekankan menjaga tradisi tertentu daripada menjaga relasi dengan Bapa melalui Kristus dengan kuasa Roh Kudus? Apakah kita memperhatikan bagaimana kasih kita kepada Allah atau hanya sekadar memikirkan bagaimana kita hidup? Mungkin kita ingin memperbaiki kelakuan kita. Tetapi, yang perlu kita lakukan adalah mulai dengan mengasihi Allah. Hidup yang kudus dan taat kepada Kristus adalah hasil yang pasti dari hidup yang dekat dengan Allah. [Pdt. Jeffrey Siauw]

Kasih Karunia

Galatia 3:15-29

Mengapa “iman” dan bukan “hukum Taurat” yang membuat seseorang dibenarkan? Rasul Paulus menggunakan “surat wasiat” sebagai ilustrasi untuk menjelaskan hal ini dari tiga aspek, yaitu penerimanya (3:16), waktu pemberian suratnya (3:17), dan syarat pemberian warisan itu (3:18).
Pertama, Rasul Paulus menegaskan bahwa perjanjian Allah de-ngan Abraham, yang berdasarkan iman Abraham, ditujukan kepada “keturunan Abraham”—hanya satu orang, yaitu Kristus. Karena janji itu diberikan kepada Kristus, maka hanya mereka yang berada di dalam Kristus-lah yang ikut menjadi penerima janji itu. Kedua, perjanjian itu sudah disahkan jauh sebelum hukum Taurat diberikan, maka perjanjian itu tak bisa dibatalkan oleh hukum Taurat. Ketiga, pertanyaan selanjutnya adalah, “Kalau begitu, apa gunanya hukum Taurat?” Rasul Paulus menjawab, “Hukum Taurat ditambahkan oleh karena pelanggaran-pelanggaran—sampai datang keturunan yang dimaksud oleh janji itu” (3:19). Dengan kata lain, hukum Taurat menjaga supaya orang-orang tetap berpegang kepada janji itu sampai tiba ahli waris yang sejati. Oleh karena itu, ketika Kristus—Sang Pewaris Janji—sudah datang, hukum Taurat tidak lagi diperlukan, dan sekarang kita bisa ikut memiliki janji itu melalui iman kepada Kristus. Janji itu tidak diberikan karena hukum Taurat. Artinya, tidak ada usaha manusia sama sekali. Allah memberikannya semata-mata karena kasih karunia. Abraham percaya dan Allah memperhitungkannya sebagai kebenaran. Dengan cara yang sama, sekarang Allah memberikan kasih karunia kepada setiap orang yang percaya kepada Kristus. Ketika kita percaya, Allah memperhitungkannya sebagai kebenaran.
Ada orang yang berkata: “Bagaimana mungkin semudah itu masuk sorga: Hanya percaya lalu selesai?” Jawabannya adalah “benar” dan “tidak”. “Benar” karena memang semudah itu. Semua usaha manusia tidak akan ada artinya, bahkan seperti kain kotor di hadapan Allah. Allah hanya memperhitungkan iman kita kepada Kristus dan itu cukup untuk membuat kita dibenarkan. Tetapi jawabannya juga “Tidak”. Siapa bilang mudah? Bukankah pewaris janji itu—Kristus Yesus—harus mati di kayu salib supaya kasih karunia itu mengalir kepada semua orang yang percaya kepada-Nya. Yang mati di kayu salib adalah Anak Allah! Kasih karunia itu gratis, tetapi tidak mudah, apalagi murahan. [Pdt. Jeffrey Siauw]

Memulai dan Mengakhiri Dengan Roh

Galatia 3:1-14

Jika suatu kali ada orang yang digendong oleh seorang ahli akrobat terkenal yang berjalan di atas tali, lalu dia minta turun di tengah jalan dan mau berjalan sendiri sampai ke tujuan akhir, apa yang akan kita pikirkan tentang orang itu? Kira-kira itulah yang dilihat rasul Paulus dari jemaat Galatia: “Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu?” (3:1). Mereka telah menerima Kristus dan kare-nanya menerima Roh Kudus di awal hidup Kristen mereka. Bagaimana mungkin sekarang mereka mau meneruskan perjalanan dengan kekuat-an sendiri—dengan melakukan hukum Taurat, seakan-akan mereka mampu mencapai keselamatan akhir dengan kemampuan sendiri?
Kelompok pengacau di Galatia mengajarkan bahwa untuk bisa di-perhitungkan sebagai “anak-anak Abraham”, anggota jemaat Galatia harus mengikuti hukum Taurat dan disunat. Argumen rasul Paulus: Abraham percaya sebelum disunat, dan Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Jadi, orang-orang yang percaya kepada Allah adalah anak-anak Abraham yang sesungguhnya. Mereka dibenar-kan—tanpa sunat—sama seperti Abraham. Tak ada orang yang dibe-narkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat karena tidak ada yang sanggup melakukan segala sesuatu yang tertulis di sana. Oleh karena itu, penebusan dari kutuk oleh Kristus Yesus adalah anugerah besar yang membuat—tanpa hukum Taurat—setiap orang yang perca-ya kepada-Nya bisa dibenarkan dan menerima Roh Kudus.
Saat ini, masih banyak orang yang bergantung kepada kekuatan sendiri untuk diterima oleh Allah. Mereka berusaha melakukan perbuat-an baik dengan banyak beribadah dan beramal, dengan harapan bahwa Tuhan akan menerima mereka. Akan tetapi, kita tahu bahwa hal itu ti-dak mungkin. Jika ada orang yang bisa diterima oleh Allah dengan usaha sendiri, Kristus tidak perlu mati disalib. Mereka perlu mendengar Injil ten-tang kasih karunia Kristus. Pikirkanlah apa yang bisa kita lakukan untuk mereka! Bagaimana mereka bisa mendengar Injil? Bagi kita yang sudah percaya kepada Kristus, kita sering lupa bahwa Allah sudah menerima kita dan tidak ada yang bisa membuat Dia lebih mengasihi kita. Dengarlah kembali kalimat Rasul Paulus ini, “Kamu telah mulai dengan Roh, maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?” (3:3b). Yang perlu kita lakukan hanyalah terus hidup di dalam kasih itu, dengan iman kepada Kristus dan tuntunan Roh Kudus. [Pdt. Jeffrey Siauw]

Makan Semeja

Galatia 2:11-21

Bagi orang Yahudi, tanda seseorang menjadi anggota umat Allah adalah ketaatan kepada hukum Taurat, termasuk menerima sunat. dan disunat untuk bisa menjadi anggota umat Allah? Saat ini, kita terbiasa makan semeja dengan orang lain (keluarga, teman, bahkan orang yang tidak kita kenal). bahwa identitas "saya" sama dengan "dia". Itu sebabnya, dengan siapa kita makan menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, Rasul Paulus menuduh Rasul Petrus "munafik" (ungkapan ini berarti pura-pura menjadi orhu yang persis bahwa Allah telah menciptakan satu keluarga-orang Yahudi dan bukan Yahudi-di dalam Tuhan Yesus.Itu sebabnya, semula, dia tidak keberatan makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat (2:12) .Tetapi, tekanan sekelompok orang membuat Rasul Petrus tidak mau lagi melakukannya.Teguran Rasul Paulus adalah, "Petrus, walaupun engkau seorang Yahudi, engkau bahwa itu benar. Mengapa engkau sekarang memaksa saudara-saudara bukan Yahudi untuk hidup secara Yahudi? Engkau berlaku munafik! "Yang ditekankan Rasul Paulus adalah bahwa semua oraku dihnarkan bukan oleh kaukum .Apakah dengan demikian mereka menjadi orang berdosa, seperti anggapan orang Yahudi (yang meyakini bahwa mereka yang tidak taat pada hukum Taurat hidup dalam dosa), dan karenanya Kristus menjadi pelayan dosa? Tidak! dengan ketaatan kepada Kristus (2: 19-20). Memisahkan orang Yahudi dan bukan Yahudi berarti kembali menegakkan hukum Taurat. Bila hukum Taurat menjadi standar, maka mereka me njadi pelanggar hukum Taurat dan menjadi orang berdosa.Tetapi, hukum Taurat bukanlah yang penting lagi. semeja dengan Tuhan. Hal itu harus menjadi ciri kehidupan umat Allah. [Pdt. Jeffrey Siauw]

Tujuan yang Sama

Galatia 2:1-10

Mungkin kelompok pengacau di Galatia mengejek bahwa rasul Paulus hanyalah seorang pengkhotbah yunior yang tidak bisa dipercaya. Mereka menuduh bahwa dia diutus oleh para rasul senior di Yerusalem untuk memberitakan Injil, tetapi mengubah isinya supaya menjadi lebih mudah diterima oleh orang non-Yahudi. Tuduhan ini bukan hal yang penting bagi Rasul Paulus pribadi, tetapi tuduhan ini menjadi penting karena menyangkut kebenaran Injil yang dia beritakan.
Di bagian ini, Rasul Paulus seperti berjalan di atas tali yang tipis. Di satu sisi, dia menegaskan bahwa dia tidak berada di bawah otoritas para rasul di Yerusalem. Dia pergi ke Yerusalem bukan untuk belajar dari pa-ra rasul di sana, tetapi untuk bercerita tentang pemberitaan Injil yang dia lakukan (2:2). Dia menekankan bahwa kedudukan para rasul itu tidak penting baginya (2:6). Saat ada “saudara-saudara palsu” yang memaksa supaya Titus disunat, Rasul Paulus tidak mau tunduk (2:4-5) dan para rasul di Yerusalem tidak memaksanya (2:6). Pesan penting yang Rasul Paulus sampaikan di bagian ini adalah bahwa dia sejajar dengan para rasul di Yerusalem. Di sisi lain, Rasul Paulus ingin menegaskan bahwa tidak ada perpecahan antara dirinya dan para rasul di Yerusalem. Dia mendatangi mereka berdasarkan suatu penyataan—artinya Tuhan menuntun dia untuk melakukan itu. Para rasul di Yerusalem mengakui kasih karunia yang dianugerahkan Tuhan kepada Rasul Paulus. Dia berjabat tangan dengan mereka sebagai tanda persekutuan dalam memberitakan Injil di wilayah yang berbeda (2:9).
Penegasan Rasul Paulus di atas itu penting karena Injil dan panggilan memberitakannya berasal dari Tuhan yang sama. Kita harus setia menjaga kemurnian pemberitaan Injil. Tidak ada kompromi untuk hal itu! Kita tidak bisa bekerja sama dengan orang yang memberitakan Injil yang berbeda, tetapi kita perlu rendah hati untuk bersatu dengan semua orang yang memberitakan Injil yang benar. Tidak mudah melihat dan mengakui adanya “kasih karunia yang dianugerahkan Tuhan” di dalam diri orang lain yang bekerja dengan cara yang berbeda dengan kita. Akan tetapi, kalau Tuhan yang memanggil dan menganugerahkan kasih karunia kepada orang lain untuk memberitakan Injil, mengapa kita perlu bersaing atau merasa iri? Untuk Injil dan Tuhan yang sama, kita harus saling berjabat tangan dan bekerja untuk tujuan yang sama. [Pdt. Jeffrey Siauw]

Menjawab Panggilan Allah

Galatia 1:11-24

Rasul Paulus menerima panggilan Allah untuk percaya kepada Injil dan memberitakan Injil. Itulah yang membuat dia yakin bahwa dia harus menegur jemaat Galatia yang mulai menyimpang dari kebenaran Injil. Dia menegaskan hal itu melalui dua hal.
Pertama, kisah pertobatan dan panggilannya menjadi seorang rasul. Dulu, dia telah “menganiaya jemaat Allah dan berusaha membina-sakannya” (1:13). Dia “lebih maju dari banyak teman yang sebaya” di dalam agama Yahudi, dan “sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangnya” (1:14). Maka, secara keyakinan maupun tindakan, Rasul Paulus adalah orang yang sangat jauh dari Injil. Tetapi, anugerah Allah bukan saja mengubah dia, melainkan juga memanggil dia menjadi pemberita Injil (1:15-16). Maka, ketika jemaat Galatia meninggalkan Injil itu, mereka sesungguhnya sedang meninggalkan Allah sendiri.
Kedua, kisah kunjungannya ke Yerusalem. Kelompok pengacau di Galatia mungkin berkata bahwa Rasul Paulus diutus oleh para rasul di Yerusalem. Lalu, karena jemaat di Yerusalem—yang adalah orang-orang Yahudi—masih hidup mengikuti hukum Taurat, mereka mungkin berkata bahwa seharusnya Rasul Paulus juga mengajarkan hal yang sama kepada jemaat Galatia. Mereka menuduh bahwa satu-satunya alasan bagi Rasul Paulus untuk tidak mengajarkan hal itu adalah karena dia ingin mempermudah tuntutan Injil! Maka, dengan tegas, Rasul Paulus menekankan bahwa dia tidak menerima—baik Injil maupun panggilan untuk memberitakannya—dari para rasul di Yerusalem. Karena itu, dia juga tidak wajib mengajarkan hal yang sama kepada jemaat bukan Yahudi di Galatia. Sekalipun jemaat Yahudi di Yerusalem hidup mengikuti hukum Taurat, Rasul Paulus menegaskan bahwa Injil yang dia beritakan sama sekali tidak salah.
Tidak seperti rasul Paulus, kita memang menerima Injil dari pem-beritaan orang lain. Tidak ada yang salah dengan itu! Allah memakai orang lain untuk memberitakan Injil dan menyatakan tuntunan-Nya kepada kita. Tetapi, setiap orang Kristen harus percaya secara pribadi kepada Allah dan menggumuli panggilannya secara pribadi dengan Allah. Itulah yang akan membuat kita meyakini apa yang kita lakukan. Bila Allah yang memanggil, mengapa kita ragu? Ingatlah, di akhir segala sesuatu, kita harus bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah. [Pdt. Jeffrey Siauw]

Persiapan Lebih Penting dari Perhitungan

Markus 13:24-37

Saya masih ingat betapa antusiasnya saya dan istri saya menyambut kelahiran anak pertama kami. Kami mencari kereta dorong, ranjang bayi, baju bayi, serta mencari informasi tentang susu formula yang baik, hingga membeli buku untuk mendapatkan nama bayi yang baik yang sesuai dengan harapan kami. Saya juga masih ingat hari-hari menjelang pernikahan kami. Kami mencari gaun pengantin yang sesuai dengan selera istri saya, pergi ke beberapa tempat untuk survei restoran yang baik, namun sesuai dengan anggaran kami. Kami mendaftarkan nama tamu yang ingin kami undang, menyewa mobil, membeli ranjang, lemari, dan melakukan banyak hal lainnya. Kami berusaha sebaik-baiknya untuk mempersiapkan diri menyambut hari yang kami anggap sangat penting bagi kami itu. Tuhan Yesus menggambarkan hari yang besar saat Ia datang kembali untuk kedua kalinya, “Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Dan pada waktu itu pun Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat-Nya dan akan mengumpul-kan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi, dari ujung bumi sampai ke ujung langit.” (13:26b-27). Pemandangan itu tidak terba-yangkan! Hari itu pasti akan tiba! Tuhan Yesus berkata, “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” (13:31). Akan tetapi, kapan semuanya itu akan terwujud? Tidak ada seorang pun yang tahu! (13:32). Akan tetapi, Tuhan Yesus memastikan bahwa akan ada tanda-tanda kedatangan-Nya yang memberi petunjuk kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya. Yang menarik, saat itu, Tuhan Yesus tidak menyarankan para pendengar-Nya menghitung waktunya masih berapa lama lagi, tetapi paling sedikit empat kali Ia mengingatkan mereka untuk berjaga-jaga (13:33,34,35,37). Jangan menghitung, tetapi lakukanlah persiapan: “Berjaga-jagalah!” Kita tahu cara mempersiapkan diri sebelum sampai ke suatu hari yang kita anggap penting (pernikahan, kelahiran anak, wisuda, memperingati ulang tahun, dan sebagainya). Akan tetapi, apakah kita tidak memiliki petunjuk tentang cara berjaga-jaga mempersiapkan diri menanti kedatangan Kristus kedua kali? Alkitab mengajarkan bahwa berjaga-jaga itu bukan berarti tidak melakukan apa-apa, melainkan justru melakukan tugas dengan setia (13:34). Jadi, arti berjaga-jaga itu sangat sederhana, “Lakukanlah firman Tuhan!” Selamat bersiap! [GI Mario Novanno]

Tebuslah Kesempatan

Markus 13:1-23

Bait Allah kedua telah berdiri selama 500 tahun sejak zaman Ezra. Lima belas tahun sebelum Yesus Kristus dilahirkan, Herodes membangun kembali dan mempercantik Bait Allah—sedemikian rupa hingga menjadi salah satu bangunan terindah di Yerusalem—bukan untuk menghormati Allah, tetapi untuk memperoleh dukungan dari orang-orang Yahudi. Seperti kebanyakan orang, para murid Tuhan Yesus terpukau oleh kemegahan Bait Allah (meskipun pembangunannya baru selesai tahun 64 AD). Sekalipun demikian, Tuhan Yesus melihat apa yang akan terjadi terhadap bangunan yang megah itu di masa depan. Bait Allah akan dihancurkan sampai tidak ada satu batu pun yang akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain. Ucapan Tuhan Yesus ini terwujud pada tahun 70 M, saat pasukan Romawi menghancurkan Bait Allah dan kota Yerusalem. Firman Tuhan pasti terjadi! Tuhan Yesus juga menubuatkan apa yang akan terjadi di masa depan sehubungan dengan kedatangan-Nya yang kedua kali, yaitu mengenai suatu masa yang sulit, khususnya bagi para pengikut-Nya. Banyak orang yang mengaku sebagai Kristus dan menyesatkan banyak orang. Akan ada banyak peperangan dan berita tentang peperangan, situasi yang sangat meresahkan. Beberapa orang akan diserahkan kepada majelis agama untuk dianiaya. Sesama anggota keluarga sendiri akan saling menyerahkan, tidak tahu lagi siapa yang dapat dipercaya. Sungguh, suatu masa yang sangat sulit! Nubuatan dalam Perjanjian Lama banyak yang sudah tergenapi, khususnya sehubungan dengan kedatangan Tuhan Yesus yang pertama kali. Akan tetapi, hal-hal yang disampaikan Tuhan Yesus banyak yang belum terjadi, hanya beberapa hal yang sudah terjadi. Akan tetapi, kita bisa meyakini bahwa nubuatan Tuhan Yesus pasti akan terjadi. Rasul Petrus mengatakan, “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” (2 Petrus 3:9). Tuhan tidak segera menjatuhkan hukuman karena Ia bermaksud memberi kesempatan kepada manusia untuk bertobat. Oleh karena itu, mumpung masih ada waktu, berbalik dan bertobatlah! Jangan sampai kita tiba pada masa yang penuh siksaan, yaitu masa pada saat segala yang hidup tidak dapat bertahan! [GI Mario Novanno]