Tunduk Pada Sang Pencipta

Bacaan Alkitab hari ini:

Ayub 40-41

Dalam bacaan Alkitab hari ini, TUHAN memperlihatkan betapa lemahnya Ayub bila dibandingkan dengan dua makhluk ciptaan Allah, yaitu Behemot (40:10-19, dalam Alkitab Terjemahan Baru diterjemahkan sebagai “kuda Nil”) dan Lewiatan (40:20-41:25, dalam Alkitab Terjemahan Baru diterjemahkan sebagai “buaya”). Karena “kuda Nil” hidup di Mesir, bukan di Palestina, maka terjemahan “Behemot” sebagai “kuda Nil” ini meragukan. Ada ahli Perjanjian Lama yang beranggapan bahwa Behemot ini adalah makhluk dongeng yang menunjuk kepada makhluk perkasa yang hidup di darat, sedangkan Lewiatan merupakan makhluk dongeng yang menunjuk kepada makhluk perkasa yang hidup di air. Kedua makhluk perkasa (mewakili monster darat dan monster air) yang menakutkan itu adalah makhluk ciptaan Allah. Bila dibandingkan kedua makhluk itu, Ayub (manusia) secara fisik merupakan makhluk yang sangat lemah. Oleh karena itu, keberanian Ayub beranggapan bahwa Allah bersalah karena membiarkan dirinya menderita merupakan perbuatan yang keterlaluan dan tidak tahu diri.

Sebagai manusia, kita perlu menyadari bahwa sebagai makhluk ciptaan Allah, kita tidak sederajat dengan Allah. Sudah sepantasnya bila kita tunduk dan taat kepada Allah tanpa membantah. Sikap Ayub yang hendak membantah Allah merupakan sikap yang tidak patut. Syukurlah bahwa Ayub tidak mengeraskan hatinya. Setelah Allah menyatakan diri-Nya kepada Ayub, Ayub berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” (42:5-6). Sayang bahwa ada banyak orang yang mengeraskan hati saat Allah menyatakan diri melalui firman-Nya. Orang yang tidak merasa puas dengan apa yang terjadi pada diriya—lalu menyalahkan Allah—adalah orang yang tidak tahu diri. Kita adalah ciptaan Allah dan Allah adalah Pencipta diri kita. Tidaklah patut bila kita protes kepada Allah atas apa yang terjadi dalam hidup kita. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda merasa bahwa diri Anda kaya, pandai, popular, dan dihormati, bahkan ditakuti oleh banyak orang, sehingga Anda beranggapan bahwa Allah pun harus menghargai diri Anda? Anda salah! Anda tidak berhak menggugat Allah karena Anda hanyalah makhluk ciptaan, sedangkan Allah adalah Sang Pencipta! [P]

Tunduk Kepada Hikmat Allah

Bacaan Alkitab hari ini:

Ayub 39

Dalam pasal ini, TUHAN memberi tahu Ayub bahwa Dialah Sang Pemelihara semua makhluk hidup di bumi ini. TUHAN sudah mengatur dengan sedemikian bijaksana, sehingga semua makhluk hidup bisa bertahan hidup. Ayub sama sekali tidak bisa mengatur kehidupan makhluk hidup di bumi ini. Pada zaman ini pun, yang bisa dilakukan oleh para pecinta lingkngan hidup bukan mengatur alam supaya makhluk hidup (hewan) bisa tetap hidup, melainkan mengusahakan agar alam berada pada kondisi yang asli. Hewan-hewan liar yang tersesat dikembalikan ke habitatnya (lingkungannya) yang asli agar bisa bertahan hidup. Manusia tidak bisa merekayasa alam untuk membuat alam menjadi lebih baik, melainkan manusia hanya bisa berusaha agar alam tetap dalam kondisi asli yang sesuai dengan rancangan Allah. Berdasarkan kenyataan tentang hikmat Allah yang luar biasa dan kenyataan tentang ketidakberdayaan mausia, TUHAN berkata kepada Ayub, “Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!” (39:35). Terhadap pertanyaan tersebut, Ayub menjawab, “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, tetapi tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan.” (39:37-38). Ayub tunduk kepada hikmat Allah!

Apakah Anda bersedia untuk tunduk kepada hikmat Allah tanpa protes sedikit pun terhadap apa yang Allah izinkan terjadi dalam kehidupan Anda? Sesungguhnya, hidup mengikuti pengaturan TUHAN adalah hidup yang paling menyenangkan karena Dia tahu apa yang paling baik bagi kehidupan kita. Di dalam kebodohan kita, sering kali kita ingin menentukan sendiri apa yang baik bagi diri kita dan kemudian kita menemui kegagalan dan kekecewaan. Kita perlu senantiasa mengingat bahwa kita adalah makhluk yang memiliki pengetahuan terbatas. Kita hanya tahu apa yang masih dapat terjangkau oleh panca indra kita, tetapi kita sama sekali tidak bisa mengerti apa yang tidak kita lihat atau hal-hal apa yang akan terjadi di masa depan. Bagaimana mungkin kita—sebagai makhluk dengan pengetahuan yang sangat terbatas—bisa merasa lebih tahu dibandingkan Allah yang mahatahu dan mahabijak? Manusia yang bijaksana adalah manusia yang bersedia tunduk kepada hikmat Allah tanpa membantah! [P]

Mengenal Allah dalam Penderitaan

Baca:Ayub 36-37

Dalam rangkaian perkataan Elihu yang terakhir, Elihu terlalu berani berbicara “demi Allah” (mewakili Allah, 36:2). Walaupun banyak perkataannya yang baik dan benar, pemahaman Elihu terbatas, sehingga rasa percaya diri Elihu terlihat berlebihan. Sekalipun demikian, niat Elihu untuk membela keadilan Allah adalah keinginan yang baik. Di samping tentang keadilan Allah, Elihu mengemukakan bahwa Allah itu perkasa, namun manusia tidak dipandang rendah (36:5). Allah itu mulia dalam kekuasaan-Nya (36:22). Kebesaran Allah sebagai Sang Pencipta alam semesta yang mahakuasa dan mahatahu tak terjangkau oleh pikiran kita (36:26-37:24). Walaupun tuduhan Elihu terhadap Ayub keliru (36:17, 21), ada hal-hal baik yang ia kemukakan tentang orang yang sedang mengalami kesengsaraan. Pertama, ia mengemukakan bahwa Allah akan memberi keadilan kepada orang yang sengsara (36:6). Kata-kata semacam ini adalah kata-kata yang bisa membangun semangat. Kedua, Elihu mengemukakan konsep penderitaan sebagai sarana bagi Allah untuk mendidik umat-Nya (36:8-12, 15). Dalam hal ini, Elihu memperkenalkan Allah sebagai Guru yang luar biasa (36:22).

Saat mengalami penderitaan, penting bagi kita untuk mengenal Allah secara benar. Bila pengenalan kita akan Allah keliru, kita bisa menyalahkan Allah atas penderitaan yang kita alami. Kita harus senantiasa meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu yang baik, bukan Pencipta kejahatan atau penderitaan. Kejahatan dan penderitaan bukanlah inisiatif Allah. Bila Allah membiarkan terjadinya kejahatan dan penderitaan, Allah pasti memiliki maksud baik. Kita harus senantiasa mencari tahu maksud baik Allah melalui penderitaan yang kita alami. Jangan sampai kita beranggapan bahwa Allah mengabaikan diri kita. Bila Allah belum bertindak untuk menolong, janganlah kita menganggap Allah tidak mampu menolong. Kita harus mempercayai hikmat Allah yang jauh melampaui kemampuan kita untuk memahami apa yang terjadi atas hidup kita. Bagaimana sikap Anda terhadap Allah saat Anda mengalami penderitaan, baik berupa kegagalan (dalam usaha, pekerjaan, studi, dan sebagainya) maupun kehilangan (kesehatan, keluarga, teman baik, dan sebagainya)? Apakah Anda bisa selalu melihat kebaikan Allah dan Anda dapat mempercayai Allah walaupun belum mengerti mengapa Allah membiarkan Anda mengalami penderitaan? [P]

Mengenal Allah dalam Penderitaan

Baca:Ayub 36-37

Dalam rangkaian perkataan Elihu yang terakhir, Elihu terlalu berani berbicara “demi Allah” (mewakili Allah, 36:2). Walaupun banyak perkataannya yang baik dan benar, pemahaman Elihu terbatas, sehingga rasa percaya diri Elihu terlihat berlebihan. Sekalipun demikian, niat Elihu untuk membela keadilan Allah adalah keinginan yang baik. Di samping tentang keadilan Allah, Elihu mengemukakan bahwa Allah itu perkasa, namun manusia tidak dipandang rendah (36:5). Allah itu mulia dalam kekuasaan-Nya (36:22). Kebesaran Allah sebagai Sang Pencipta alam semesta yang mahakuasa dan mahatahu tak terjangkau oleh pikiran kita (36:26-37:24). Walaupun tuduhan Elihu terhadap Ayub keliru (36:17, 21), ada hal-hal baik yang ia kemukakan tentang orang yang sedang mengalami kesengsaraan. Pertama, ia mengemukakan bahwa Allah akan memberi keadilan kepada orang yang sengsara (36:6). Kata-kata semacam ini adalah kata-kata yang bisa membangun semangat. Kedua, Elihu mengemukakan konsep penderitaan sebagai sarana bagi Allah untuk mendidik umat-Nya (36:8-12, 15). Dalam hal ini, Elihu memperkenalkan Allah sebagai Guru yang luar biasa (36:22).

Saat mengalami penderitaan, penting bagi kita untuk mengenal Allah secara benar. Bila pengenalan kita akan Allah keliru, kita bisa menyalahkan Allah atas penderitaan yang kita alami. Kita harus senantiasa meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu yang baik, bukan Pencipta kejahatan atau penderitaan. Kejahatan dan penderitaan bukanlah inisiatif Allah. Bila Allah membiarkan terjadinya kejahatan dan penderitaan, Allah pasti memiliki maksud baik. Kita harus senantiasa mencari tahu maksud baik Allah melalui penderitaan yang kita alami. Jangan sampai kita beranggapan bahwa Allah mengabaikan diri kita. Bila Allah belum bertindak untuk menolong, janganlah kita menganggap Allah tidak mampu menolong. Kita harus mempercayai hikmat Allah yang jauh melampaui kemampuan kita untuk memahami apa yang terjadi atas hidup kita. Bagaimana sikap Anda terhadap Allah saat Anda mengalami penderitaan, baik berupa kegagalan (dalam usaha, pekerjaan, studi, dan sebagainya) maupun kehilangan (kesehatan, keluarga, teman baik, dan sebagainya)? Apakah Anda bisa selalu melihat kebaikan Allah dan Anda dapat mempercayai Allah walaupun belum mengerti mengapa Allah membiarkan Anda mengalami penderitaan? [P]

Pemahaman Kita Belum Utuh!

Bacaan Alkitab hari ini:

Ayub 34-35

Bila ketiga teman Ayub yang lain (Elifas, Bildad, dan Zofar) menuduh Ayub secara membuta (tidak berdasarkan fakta), Elihu menyerang Ayub berdasarkan perkataan Ayub sebelumnya. Dia mengkritik Ayub yang beranggapan bahwa Allah salah karena telah berlaku tidak semestinya terhadap dirinya dan bahwa tidak ada gunanya hidup berkenan kepada Allah (34:5-9). Elihu membela keadilan Allah dengan mengatakan bahwa Allah tidak bisa disebut curang karena Dialah yang menopang kehidupan di bumi ini (34:10-15). Allah adalah Pemegang kekuasaan yang tidak memihak siapa pun (34:16-20). Allah itu mahatahu, sedangkan pengetahuan Ayub amat terbatas (34:21-37). Sayangnya, Elihu juga membuat tuduhan yang berlebihan, yaitu dia mengatakan bahwa Ayub “mencari persekutuan dengan orang-orang yang melakukan kejahatan dan bergaul dengan orang-orang fasik” (34:8). Bila Ayub mengeluh karena penderitaan hebat yang dialaminya, tidak perlu Elihu menuduh bahwa keluhan itu merupakan pengaruh pergaulan dengan orang jahat dan orang fasik (orang yang tidak mempedulikan Tuhan). Walaupun benar bahwa “Ayub berbicara tanpa pengetahuan, dan perkataannya tidak mengandung pengertian” 34:35), tidak tepat bila Elihu mengatakan bahwa Ayub “menjawab seperti orang-orang jahat” (34:36). Perkataan Ayub disebabkan karena penderitaan yang dialaminya, bukan karena pengaruh pergaulan. Selanjutnya, dalam pasal 35, Elihu mencela Ayub yang membenarkan diri di hadapan Allah. karena sesungguhnya kebaikan atau kejahatan manusia tidak mempengaruhi Allah, melainkan mempengaruhi manusia.

Di 35:16, Elihu mengatakan bahwa Ayub berbicara tanpa pengertian. Akan tetapi, sebenarnya, memang seluruh diskusi yang terjadi di antara Ayub dengan semua teman-temannya ini dilakukan tanpa pengertian yang utuh! Elihu pun tidak memiliki pengertian yang utuh! Saat berusaha memahami tentang penderitaan yang dialami manusia, kita harus menyadari bahwa pengertian kita terbatas. Tidak mungkin kita memahami hikmat Allah secara utuh. Yang harus kita lakukan adalah mempercayai bahwa Allah itu baik dan adil walaupun kebaikan dan keadilan Allah itu tidak kita pahami sepenuhnya. Saat Anda mengalami keadaan yang buruk, apakah Anda bisa tetap mempercayai Allah? Saat kita bertemu dengan Tuhan Yesus, barulah semua hal menjadi jelas. [P]

Sikap Bijaksana dalam Berdiskusi

Bacaan Alkitab hari ini:

Ayub 32-33

Elihu adalah seorang yang bijaksana. Dia bersedia mendengarkan diskusi dengan sabar (32;11)—tanpa melakukan interupsi—saat terjadi pembicaraan antara Ayub dan ketiga temannya (Elifas, Bildad, dan Zofar). Elihu berusaha untuk bersikap tidak memihak saat terjadi silang pendapat antara Ayub dan ketiga temannya (32:21-22). Ia marah kepada Ayub karena Ayub menganggap dirinya lebih benar daripada Allah (32:2). Sebaliknya, dia juga marah kepada ketiga sahabat Ayub yang mempersalahkan Ayub secara membuta, tanpa bisa mengemukakan alasan yang tepat (32:3, 12). Sebagai seorang yang paling muda, sikap Elihu sangat tepat: Dia tidak mau menggurui orang-orang yang lebih tua! Dia memperhatikan pembicaraan antara Ayub dengan ketiga temannya sampai pembicaraan tersebut berakhir, sehingga dia bisa menyimpulkan secara tepat (32:4-16). Elihu meyakini bahwa hikmat yang sejati berasal dari Allah (32:8-9, 13). Oleh karena itu, walaupun semula dia ragu-ragu untuk ikut bicara karena dia adalah orang yang paling muda, akhirnya dia memiliki ketetapan hati bahwa dia harus ikut berbicara (32:6-7, 10, 16-20; 33:1-5). Dalam mengemukakan pendapatnya, Elihu memegang beberapa prinsip penting: Pertama,dia berjanji untuk bersikap netral dan berbicara apa adanya (32:21-22; 33:3). Kedua, dia menempatkan dirinya sejajar dengan Ayub yang menjadi lawan bicaranya. Dia berjanji untuk tidak asal menyerang. Bila ternyata bahwa dia salah dan Ayub lebih benar, dia berjanji untuk bersedia mengakuinya (33:6-7, 32). Ketiga, dia mengemukakan bahwa ia telah memperhatikan dengan saksama pembicaran antara Ayub dengan ketiga temannya, sehingga ia bisa merumuskan dengan tepat apa yang menjadi pokok persoalan (33:8-11) dan ia tidak mengulang argumentasi yang telah dikemukakan sebelumnya dalam diskusi tersebut (33:12-30).

Sikap Elihu dalam berdiskusi dengan Ayub yang usianya lebih tua merupakan sikap yang patut dipuji dan dijadikan teladan. Bagaimana sikap Anda saat Anda berdiskusi? Apakah Anda telah membiasakan diri untuk menghargai lawan bicara Anda? Apakah Anda telah membiasakan diri untuk mendengar dengan saksama sebelum mengemukakan pendapat Anda? Apakah Anda bersedia menghindarkan sikap “asal saya menang”, bahkan bersedia mengaku salah bila ternyata bahwa yang benar adalah pendapat lawan diskusi Anda? [P]

Menjaga Kesalehan Hidup

Bacaan Alkitab hari ini:

Ayub 31

Keinginan Ayub untuk membela diri di hadapan Allah tidak boleh ditafsirkan sebagai sikap memberontak kepada Allah. Kita perlu memahami bahwa masyarakat masa itu berkeyakinan bahwa penderitaan merupakan wujud hukuman Allah. Ayub pun juga memiliki pemahaman yang sama. Akan tetapi, karena Ayub tidak merasa bersalah, dia menjadi kebingungan saat dia tertimpa berbagai bencana yang dahsyat. Oleh karena itu, pembelaan diri Ayub harus dipahami sebagai keinginan untuk mencari penjelasan tentang mengapa dia harus mengalami penderitaan. Dalam pasal 31 ini, Ayub mengemukakan bahwa dia tidak bersalah dalam berbagai hal, bukan hanya menyangkut perbuatan, tetapi juga menyangkut pikiran (31:1, 9). Dia bukan hanya mempertahankan kehidupan moral yang bersih, tetapi dia juga melaksanakan kewajiban sosialnya (31:13-22, 31-32). Ayub juga mengemukakan bahwa dia tidak gila harta (21:24-25) dan tidak menyembah ilah lain (matahari, bulan; 31:26-27). Terhadap orang yang bersikap memusuhi pun, Ayub tetap bersikap baik (31:30). Ayub tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya (31:38-40).

Tidak mudah bagi kita untuk menemukan orang yang baik dan sungguh-sungguh berusaha menjaga kesucian hidup seperti Ayub. Sekalipun sudah berusaha menempuh kehidupan yang baik, Ayub tetap saja tidak bebas dari kesengsaraan. Oleh karena itu, jelas bahwa penderitaan bisa menimpa siapa saja: orang jahat maupun orang baik, orang miskin maupun orang kaya. Sekalipun demikian, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa menempuh kehidupan yang baik itu tidak ada manfaatnya. Bila kita menjalani kehidupan yang baik, berarti bahwa kita sedang mengikuti kehendak Allah, dan kita bisa memiliki keyakinan bahwa Allah bisa memakai peristiwa apa pun (termasuk penderitaan) untuk mendatangkan kebaikan terhadap diri kita (Roma 8:28).

Pada zaman ini, nilai moral masyarakat menjadi semakin kacau. Hal-hal yang pada zaman dulu dianggap tabu sekarang dilakukan secara terang-terangan. Koruptor yang tertangkap tangan pun bisa melambaikan tangan sambil melempar senyum. Dalam situasi semacam ini, orang beriman perlu meneladani Ayub untuk menjalani kehidupan yang baik dan saleh (sesuai dengan kehendak Tuhan). Bila Anda ingin agar hidup Anda diperkenan Tuhan, jangan takut menderita! Apakah Anda berani menentang arus dengan selalu berusaha menjaga kesucian hidup? [P]

Mengingat Maksud Baik Allah

Bacaan Alkitab hari ini:

Ayub 30

Keadaan Ayub yang terpuruk dalam pasal 30 amat kontras dengan keadaan masa jaya yang diuraikan dalam pasal 29. Sebelumnya, Ayub adalah seorang yang memiliki keluarga harmonis, kaya, dan amat terhormat (pasal 29). Akan tetapi, malapetaka membuat dia kehilangan segala-galanya. Dari keadaan amat terhormat, dia menjadi orang yang hina: miskin, diremehkan, dan ditertawakan (pasal 30). Ayub merasa ditinggalkan (diabaikan), bukan hanya oleh orang-orang yang sebelumnya mengelu-elukan dia, tetapi juga oleh Allah (30:20). Bisa dikatakan bahwa malapetaka yang menimpa Ayub membuat dia terhempas dari puncak kejayaan ke keadaan yang paling sengsara. Apa yang terjadi pada diri Ayub itu merupakan realita yang bisa menimpa siapa saja. Ada orang kaya yang bisa menjadi miskin dalam sekejap mata, entah karena terjadi krisis moneter, ditipu, kalah judi, atau karena penyebab lainnya. Ada orang yang mendadak kehilangan orang-orang yang dikasihinya karena terjadi kecelakaan atau bencana alam. Pendek kata, penderitaan seperti yang dialami oleh Ayub itu bisa dialami oleh siapa saja!

Apakah Anda pernah mengalami malapetaka seperti yang dialami oleh Ayub? Bagaimana Anda akan bersikap bila Anda mengalami malapeta? Apakah Anda tetap bisa mempertahankan iman? Sungguh, tidak mudah untuk tetap mempertahankan iman bila kita berada dalam keadaan seperti Ayub. Satu-satunya penghiburan adalah bahwa kita harus mengingat kesengsaraan Tuhan Yesus yang Dia jalani untuk menebus dosa kita. Pengorbanan Tuhan Yesus merupakan jaminan bahwa Allah tetap mengasihi kita. Ingatlah, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32). Kita harus mengingat bahwa Allah senantiasa memiliki rencana yang baik bagi kita di masa depan. Malapetaka pun seringkali dipakai Tuhan untuk mengajarkan hal yang amat penting dalam kehidupan. Misalnya, kehilangan akan menolong kita untuk memahami bahwa Tuhan lebih penting daripada semua hal lain di dunia ini. Setelah malapetaka berakhir, kita akan bisa berkata, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28) [P]

Memakai Hikmat dan Akal Budi

Bacaan Alkitab hari ini:

Ayub 28-29

Pembicaraan Ayub dengan Elifas, Bildad, dan Zofar telah berakhir di pasal 27. Di pasal 28, Ayub membicarakan tentang di mana atau bagaimana kita bisa memperoleh hikmat dan akal budi atau pengertian (28:12, 20). Hikmat dan akal budi adalah kunci untuk menghadapi masalah penderitaan. Hikmat dan akal budi berbeda dengan barang. Kita bisa mencari tempat yang tepat untuk bisa memperoleh emas, perak, atau batu permata, tetapi kita tidak bisa menemukan tempat tertentu yang menyediakan hikmat dan akal budi. Hikmat dan akal budi hanya dimiliki oleh orang yang hidup dalam takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ayub adalah seorang yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (1:1). Orang yang takut akan Allah adalah orang yang selalu berusaha melakukan kehendak Allah karena dia tidak mau menyakiti hati Allah. Karea kehendak Allah selalu baik, maka orang yang memiliki hikmat pastilah menjauhi kejahatan. Penerapan hikmat dan akal budi ini nampak jelas dalam pengalaman hidup Ayub yang diuraikan dalam pasal 29. Oleh karena itu, wajar bila Ayub merasa kesal saat ketiga temannya menuduh Ayub sebagai seorang fasik (orang yang tidak mempedulikan kehendak Allah) yang dihukum Allah karena melakukan kejahatan.

Bila benar bahwa Ayub adalah seorang yang hidup dalam takut akan Allah dan menjauhi kejahatan, mengapa Ayub harus menderita sengsara? Pertanyaan semacam ini bukan hanya pertanyaan Ayub, melainkan juga pertanyaan banyak orang beriman di sepanjang zaman. Adanya orang benar yang menderita merupakan kenyataan yang harus diakui! Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa penderitaan orang beriman bersifat sementara. Penderitaan bukanlah akhir dalam riwayat hidup seorang yang sungguh-sungguh hidup dalam takut akan Allah. Allah selalu memiliki rencana yang positif bagi setiap orang beriman. Setelah penderitaan berakhir, penghiburan dan sukacita akan menyongsong, di dunia saat ini atau di dunia yang akan datang.

Bagaimana sikap Anda saat Anda mengalami bencana, kegagalan, kehilangan, dan hal-hal lain yang bersifat negatif? Apakah Anda telah membiasakan diri untuk memandang penderitaan itu sebagai hanya bersifat sementara karena kita memiliki pengharapan yang menyangkut kehidupan di masa depan? Ingatlah selalu bahwa rancangan Allah selalu menyangkut kebaikan bagi orang beriman. [P]

Nasihat yang Tidak Tepat Sasaran

Bacaan Alkitab hari ini:

Ayub 25-27

Pandangan Bildad tentang kekuasaan dan kedahsyatan Allah yang kontras dengan kehinaan manusia (pasal 25) itu benar adanya. Ayub pun tidak menyangkal hal itu (26:3). Ayub paham tentang keagungan Allah, bahkan Ayub menyadari bahwa pemahamannya tentang keagungan Allah belum tuntas (26:5-14). Bisa dikatakan bahwa nasihat Bildad itu salah alamat, sehingga nasihat itu tidak berguna. Yang menjadi lubang dalam pemahaman Bildad adalah bahwa Bildad tidak membicarakan (atau tidak tahu) bahwa Allah yang agung itu adalah Allah yang menghargai manusia yang hina (Bandingkan dengan Mazmur 8, terutama 8:5). Perkataan Ayub bahwa Allah “tidak memberi keadilan” dan “memedihkan hati” (27:2) harus dipandang sebagai keluhan yang didasarkan pada ketidakpahaman atas kesengsaraan yang menimpa dirinya, bukan sikap memberontak kepada Allah. Sekalipun mengalami kesengsaraan, Ayub tetap berusaha mempertahankan kesalehan hidupnya (27:2-6). Penjelasan Ayub tentang nasib buruk orang fasik (27:7-23) menunjukkan bahwa Ayub tidak menyangkal kemungkinan bahwa Allah menghukum orang fasik. Yang dilawan Ayub adalah pandangan bahwa orang yang mengalami kesengsaraan pasti merupakan orang yang telah melakukan dosa atau kejahatan.

Memberi nasihat yang baik kepada orang lain merupakan tindakan terpuji. Akan tetapi, nasihat yang baik saja belum memadai! Bila hendak memberi nasihat, nasihat kita bukan hanya harus benar isinya, tetapi juga harus tepat sasaran. Sebagian perkataan teman-teman Ayub merupakan pernyataan yang benar. Akan tetapi, saat dilontarkan kepada Ayub, pernyataan itu salah sasaran karena penerapannya tidak cocok. Akar masalahnya jelas: Teman-teman Ayub tidak mau menyimak penjelasan Ayub dengan sikap terbuka, melainkan mereka hendak memaksakan pendapat atau keyakinan mereka pada diri Ayub!

Apakah Anda sering memberi nasihat kepada orang lain? Sebelum memberi nasihat, apakah Anda sudah benar-benar berusaha memahami persoalan yang sedang dihadapi oleh orang yang hendak Anda nasihati? Ingatlah bahwa nasihat yang berguna bukan nasihat yang sekedar isinya benar, melainkan nasihat yang tepat dengan kondisi yang sedang dihadapi. Nasihat yang tidak tepat bukan hanya tidak berguna, melainkan bisa melukai hati orang yang hendak Anda beri nasihat. [P]