Gema

Dosa Keluarga Yakub (2)

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 38

Suatu hari, sebuah surat kabar memberitakan tentang pembunuhan sadis yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya sendiri. Seperti tanpa rasa penyesalan sedikit pun, sang suami dengan tenang meninggalkan lokasi pembunuhan, lalu pulang ke rumah istri simpanannya, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Kebengisan seperti itulah kira-kira yang dilakukan oleh Yehuda. Seperti tanpa merasa berdosa setelah menjual Yusuf—adiknya sendiri— untuk dibawa ke Mesir sebagai budak, Yehuda dengan tenang meninggalkan saudara-saudaranya dan menikahi seorang perempuan Kanaan. Setelah sekian lamanya hidup memisahkan diri dari ayah dan saudara-saudaranya serta memiliki beberapa anak, tampak jelas bahwa Yehuda menikmati kebebasan dan kemakmuran dirinya sendiri tanpa peduli bahwa keberadaannya—sebagai keturunan langsung dari Yakub—dengan sendirinya mengharuskannya untuk ikut memikul tanggung jawab membentuk bangsa pilihan Tuhan. Malahan, tampak jelas bahwa Yehuda menikmati kegoisan dirinya dan tidak mempedulikan tanggung jawabnya. Akan tetapi, tidak ada dosa yang tidak menerima ganjaran!

Anak laki-laki Yehuda yang pertama (Er) dan yang kedua (Onan)adalah orang-orang yang jahat sehingga mereka dibunuh oleh Tuhan (38:7-10). Kematian kedua orang ini bisa kita pandang sebagai azab (siksaan atau hukuman Tuhan) yang teramat pedih pada keluarga Yehuda. Sang menantu (Tamar) yang sudah menjadi janda dan seharusnya dinikahkan dengan Syela (putra ketiga Yehuda) dipulangkan ke rumah ayahnya. Tamar merasa kesal sehingga dia membuat siasat untuk berzinah dengan Yehuda, mertuanya sendiri, dan mengandung serta melahirkan dua anak kembar: Zerah dan Peres. Kisah keluarga Yehuda ini suram, tetapi Tuhan justru memberikan anugerah dengan memasukkan Tamar dalam silsilah Yesus Kristus, Sang Mesias.

Tidak ada dosa yang tidak mendapat hukuman. Demikianlah pesan yang disampaikan Alkitab. Dosa yang tidak diselesaikan selalu menghasilkan dosa baru, demikianlah seterusnya. Sekalipun demikian, selain memberi hukuman, Allah juga menyediakan anugerah. Saat membaca kisah menyedihkan dalam keluarga Yakub, marilah kita bertobat dari dosa-dosa kita sambil mengingat bahwa anugerah Tuhan selalu tersedia bagi setiap orang yang mau datang kepada-Nya! [Sung]

Dosa Keluarga Yakub (1)

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 37

Setelah Ishak wafat, tanggung jawab menjalankan tugas pembentukan umat pilihan jatuh ke tangan Yakub atau Israel. Sang penipu yang tadinya lebih banyak bergerak di belakang layar dengan kebengalan dan kelicikannya, kini mewarisi tanggung jawab teramat berat dan mulai tampak kedodoran. Pasal 37 dengan jelas dan gamblang menuturkan hal tersebut. Pada ayat 2 sudah dikabarkan mengenai kebengalan anak-anak Yakub yang juga merupakan abang dari Yusuf. Tampak jelas bahwa penyebab kebengalan tersebut adalah sikap Yakub yang amat diskriminatif terhadap anak-anaknya, yaitu bahwa Yakub amat mengistimewakan Yusuf (37:3). Ternyata bahwa Yakub mewarisi kesalahan orang tuanya dalam hal sikap pilih kasih terhadap anak-anak mereka.

Tanpa sadar, Yakub seperti sedang membangun pekuburan dalam keluarganya sendiri. Akibat sikap pilih kasih itu sungguh fatal dan sangat mengerikan! Dikisahkan dengan jelas bagaimana Yusuf yang hanya menjalankan tugas yang diberikan bapaknya untuk menengok saudara-saudaranya itu akhirnya hampir saja menjadi korban pembunuhan. Siasat jahat telah disusun dan permufakatan hampir terjadi. Untung bahwa Tuhan menggerakkan Si Sulung—Ruben—untuk mencegah pertumpahan darah dalam keluarga. Meskipun demikian, nasib Yusuf tetaplah buruk karena ia dijual sebagai budak, lalu dibawa ke tanah Mesir. Ironisnya, ia dijual kepada keturunan Ismael. Sungguh, kondisi keturunan Abraham ini merupakan potret sebuah keluarga yang tidak patut menjadi teladan. Untuk menambah bumbu kehancuran keluarga Yakub, penulis kitab Kejadian mencantumkan kelicikan para abang Yusuf yang merekayasa fakta dan menyebarkan berita hoax tentang kematian Yusuf sebagai akibat terkaman binatang buas. Jubah kemegahan Yusuf yang sudah dilumuri darah kambing turut disertakan sebagai bukti penguat berita hoax tersebut. Sungguh, saudara-saudara Yusuf bagaikan “murid-murid” yang telah menguasai ilmu kelicikan “sang guru”—yaitu ayah mereka sendiri—dan sekarang sang guru yang menjadi korban!

Kisah keluarga Yakub ini sesungguhnya merupakan “cetak biru” atau “pola” kehidupan keluarga kita sendiri apabila kita masih belum mau bertobat dari dosa-dosa kita sendiri. Galatia 6:7b mengatakan, “Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.” [Sung]

Kesetiaan Allah kepada Esau

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 36

Dalam suatu kompetisi, biasanya ada aturan tidak tertulis yang dipahami oleh kedua regu atau tim atau sang competitor, yang mengatakan bahwa pemenang akan mengambil semua hadiah, sedangkan yang kalah tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali hadiah hiburan. Akibatnya, kita sering melihat persaingan sengit yang terjadi karena tidak ada yang mau menjadi pihak yang kalah, yang kehilangan segala-galanya.

Hal ini berbeda dengan perlakuan Tuhan terhadap keluarga besar Ishak; kita sudah membaca sampai pasal 35 yang menjadi titik puncak kisah keluarga Ishak, dengan Yakub atau Israel yang menjadi “pemenang” dari persaingan saudara kembar, sedangkan Esau menjadi pihak yang kalah. Namun, apakah dengan demikian Esau kehilangan segala-galanya? Tidak demikian. Tuhan kita adalah Tuhan yang adil, dan keadilan-Nya Ia tunjukkan dengan tetap setia kepada janji-Nya, bukan saja terhadap Abraham, Ishak, dan Yakub, namun juga kepada Ismael (21:12-13,18; 25:12-18) dan Esau (27:40) yang tidak termasuk pewaris janji kepada Abraham. Bahkan, penulis kitab Kejadian mendedikasikan seluruh pasal 36 ini hanya untuk mencatat silsilah keluarga besar Esau sampai pada kerajaan Edom. Hal ini jelas menunjukkan adanya perhatian Tuhan yang besar terhadap Esau, meskipun ia bukan nenek moyang umat pilihan yang dipilih oleh Tuhan. Bagaimanapun juga, Esau (dan juga Ismael) adalah keturunan Abraham, sehingga mereka menerima janji pemeliharaan Tuhan.

Di pasal yang hanya berisikan silsilah keluarga yang bukan termasuk umat pilihan ini, kita bukan hanya dapat melihat soal keadilan Tuhan dan kesetiaan Tuhan saja, namun kita juga bisa melihat betapa besarnya kebaikan hati Tuhan yang tetap mengasihi dan memberikan kesempatan bagi Esau untuk berkembang—meskipun di kemudian hari, bangsa Edom akan menjadi duri dalam daging dalam sejarah Israel. Jikalau Tuhan sedemikian luar biasa mempertahankan kesetiaan-Nya pada kaum yang sebenarnya berada di luar janji-Nya tersebut, apalagi bagi umat pilihan-Nya: Sungguh luar biasa kasih, kesetiaan, dan keadilan Tuhan terhadap diri kita. Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus mengemukakan janji Tuhan kepada umat-Nya, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32). [Sung]

Dimulainya Era Baru

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 35

Setelah membahas mengenai ketidaksetiaan keluarga Yakub di pasal sebelumnya, dalam pasal 35 ini, penulis kitab Kejadian kembali berkonsentrasi pada kisah perjalanan pulang Yakub untuk menjumpai Ishak, ayahnya. Secara tidak langsung, sang penulis menunjukkan bahwa Allah tidak menuntut kelayakan seseorang sebagai persyaratan untuk melakukan kehendak-Nya. Jika hendak dipandang dari sudut kelayakan, jelas bahwa Yakub sangat tidak layak untuk dipilih menjadi pewaris janji-janji Allah.

Namun, tentu saja, sebelum bisa menjadi benar-benar siap untuk menerima tugas panggilan Tuhan sebagai nenek moyang bangsa pilihan, keluarga Yakub harus menguduskan diri mereka lebih dulu. Oleh karena itu, 35:1-4 menceritakan bahwa seluruh rombongan Yakub harus rela melepaskan bukan hanya patung dewa asing mereka, namun mereka juga harus melepaskan anting-anting—penanda kepercayaan pada nenek moyang mereka—untuk dimusnahkan. Dengan kata lain, terlihat bahwa untuk bisa menguduskan diri, segala kepercayaan yang berasal dari tradisi nenek moyang—yang bertentangan dengan kebenaran Tuhan—harus dilepaskan, sekaligus umat Tuhan harus memulai komitmen untuk setia penuh kepada Tuhan.

Setelah proses pengudusan dijalankan, Tuhan kembali mengutarakan janji berkat-Nya kepada Israel—tidak disebut Yakub lagi—bahwa Ia akan mengaruniakan bukan hanya anak cucu atau keturunan, namun juga Tanah Perjanjian, yaitu Tanah Kanaan (35:10-12). Di Tanah Kanaan itulah era baru yang penuh kesetiaan dan janji berkat bagi Israel akan dimulai, yaitu apabila mereka sungguh-sungguh menjalankan kehendak Tuhan—suatu anugerah besar yang sesungguhnya tidak layak diterima oleh keluarga Yakub. Tidaklah mengherankan bila kemudian Yakub menamakan tempat itu sebagai Betel atau “Rumah Tuhan”.

Era baru bagi umat Tuhan selalu diawali dengan pengudusan diri dan diikuti oleh kesetiaan yang teguh pada janji Tuhan. Semua orang yang sudah berkomitmen untuk memasuki era baru ini—termasuk saya dan Anda—diwajibkan untuk senantiasa berpegang teguh pada komitmen menguduskan diri dan menjalani hidup taat dalam kesetiaan. Sudah siapkah Anda? [Sung]

Ketidaksetiaan Keluarga Yakub

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 34

Pasal 34 ini sangat unik karena penulisnya menyelipkan suatu kisah aib yang luar biasa di pertengahan kisah kembalinya Yakub kepada Ishak. Kisah aib tersebut terbagi menjadi dua bagian: Pertama, kisah pemerkosaan Dina (satu-satunya putri Yakub yang tercatat di Alkitab) oleh Sikhem, anak Hemor—raja negeri Hewi. Kedua,kisah pembalasan dendam oleh Simeon dan Lewi yang mewakili keluarga Yakub. Penempatan kisah ini di tengah-tengah perjalanan pulang Yakub ke Tanah Kanaan memang sangat menarik, apalagi hal tersebut terjadi setelah situasi terlihat normal pasca rekonsiliasi Yakub dan Esau. Sesungguhnya, apakah yang terjadi?

Perhatikanlah konteks yang menyebabkan terjadinya aib pertama, yaitu aib yang menyangkut diri Dina. Ayat 1 jelas menceritakan bahwa Dina mengunjungi perempuan-perempuan negeri itu, namun alasannya tidak disebutkan. Kenekatan Dina yang pergi sendirian ke sana sungguh merupakan suatu kesalahan fatal mengingat kondisi zaman dahulu yang tidak aman bagi seorang perempuan muda untuk pergi sendirian tanpa dikawal keluarganya. Yakub dan keluarganya telah lalai dalam mengawasi anak perempuan tersebut! Kecerobohan Dina (dan keluarganya) menimbulkan akibat yang amat tragis.

Aib tersebut kemudian diperparah oleh aib kedua. Anak-anak Yakub berusaha melakukan pembalasan dendam dengan siasat licik: Mereka meminta seluruh penduduk negeri Hewi untuk bersunat. Permintaan itu disetujui oleh Hemor dan Sikhem. Saat mereka dalam keadaan lemah (kesakitan), Simeon dan Lewi melakukan penumpasan massal dan menjarah harta kota itu. Aib kedua ini lebih mengerikan dari aib pertama, karena mereka melakukan kekejian dengan berkedok perintah Tuhan (17:10-14)! Sungguh luar biasa dosa yang mereka perbuat! Rupanya semua kebaikan yang telah Tuhan lakukan untuk keluarga Yakub tidak membuat mereka bersyukur dan waspada, namun mereka menjalani kehidupan yang sama dengan orang-orang yang tidak beriman.

Sesungguhnya, ketidaksetiaan pada Tuhan bisa terlihat dari hal-hal kecil di dalam kehidupan kita. Barangsiapa setia dalam hal-hal kecil, ia akan dapat dipercaya dalam hal-hal besar (bandingkan dengan Matius 25:23). Sudahkah Anda mempraktikkan kesetiaan kepada Tuhan dalam kehidupan Anda hari ini? [Sung]

Bukti Kesetiaan Tuhan (6)

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 33

Tembok Berlin merupakan monumen yang menandai kekejaman Perang Dunia Kedua yang berakhir pada tahun 1945. Perang itu telah menghancurkan sebagian besar Eropa Barat. Tembok tersebut merupakan garis pemisah antara Blok Barat (NATO) dengan Blok Timur. Nyaris tidak ada seorang pun yang bisa mengharapkan perdamaian abadi di antara kedua Blok tersebut, terutama di masa perang dingin. Namun, pada bulan November 1989, dimulailah era baru yang ditandai dengan penghancuran Tembok Berlin yang berlangsung secara berangsur-angsur sampai 13 Januari 1990. Penghancuran Tembok Berlin ini merupakan tanda perdamaian antara kedua Blok yang bertikai. Banyak pihak terperangah melihat sesuatu yang mustahil tersebut dapat terwujud.

Perdamaian antara Yakub dan Esau yang dikisahkan dalam pasal 33 juga merupakan suatu perdamaian yang tidak pernah bisa diperkirakan sebelumnya, mengingat sejarah hubungan Yakub dan Esau di masa lampau yang penuh pertikaian. Yakub sendiri pun menyadari betapa parahnya keretakan hubungan antara dirinya dengan Esau, sehingga ia merasa sangat gentar saat hendak bertemu dengan Esau, seperti yang bisa kita baca dalam pasal 32. Yang menjadi pertanyaan adalah, Apa gerangan yang terjadi, sehingga Esau bisa berubah sikap secara drastis (Esau menyambut Yakub dengan hangat)?

Jawabannya tentu saja adalah karena berkat campur tangan Tuhan sebagai bentuk kesetiaan-Nya pada janji-Nya sendiri terhadap Yakub (31:3; 32:9, 12). Hal ini menjadi menarik karena sesungguhnya Tuhan tidak memiliki kewajiban sama sekali kepada Yakub untuk mempermudah jalan hidupnya, karena Tuhan sama sekali tidak berutang budi kepada Yakub. Hal ini sangat disadari oleh Yakub, sehingga sesudah berdamai dengan Esau, ia segera mendirikan mezbah bagi Tuhan sebagai ungkapan rasa syukur atas kebaikan Tuhan (33:20).

Hanya Tuhan yang berkuasa untuk mengubah hati Esau yang penuh kebencian terhadap Yakub—adiknya sendiri—menjadi hati yang penuh kasih, seperti yang telah dijanjikan-Nya kepada Yakub. Sungguh, Allah kita adalah Allah yang setia dalam memegang teguh janji-Nya kepada semua anak-Nya—suatu penghiburan sejati bagi kita semua. Soli Deo Gloria! [Sung]

Bukti Kesetiaan Tuhan (5)

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 32

Di pasal 32, kita membaca pertemuan antara Yakub dengan abangnya, yaitu Esau. Pertemuan ini menjadi klimaks hubungan antar kedua saudara kembar yang saling bermusuhan sejak lahir itu. Kita masih ingat dengan jelas kesembronoan Esau dalam menjaga hak kesulungannya sendiri yang ia jual hanya demi sepiring makanan (25:29-34, bandingkan dengan Ibrani 12:16), dan betapa culasnya Yakub yang tega membohongi Ishak, ayahnya sendiri, demi memperoleh berkat kesulungan (Kejadian 27). Oleh karena itu, pertemuan antara Esau dan Yakub seperti pertarungan final: Ketika hendak berjumpa dengan pasukan Esau, Yakub membuat strategi dengan membagi rombongannya menjadi dua rombongan keluarga (32:7). Bahkan, Yakub berupaya “menyogok” Esau dengan rombongan pasukan yang membawa persembahan harta benda dan ternak untuk mengambil hati Esau (32:13-21). Nampak jelas bahwa dosa lama Yakub bersemi kembali.

Di pasal 32 ini terlihat pertumbuhan iman Yakub. Dalam 32:9-12, ia berdoa memohon perlindungan Tuhan Allah agar ia diluputkan dari amarah Esau, abangnya sendiri, padahal kita tidak melihat catatan tentang doa semacam itu saat Yakub meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi ke rumah Laban. Perkembangan iman seperti ini menyukakan hati Tuhan, sehingga Ia memberi kesempatan kepada Yakub untuk mengalami suatu pengalaman rohani yang langka, yaitu bergulat secara fisik dengan “seorang laki-laki” (32:24). Orang tersebut kemudian memberkati Yakub dan mengubah nama ‘Yakub’ menjadi ‘Israel’ (32:28). Siapakah “laki-laki” itu? Setelah pergulatan selesai, Yakub mengatakan, “Aku telah melihat Allah berhadapan muka” (32:30). Jelaslah bahwa “laki-laki” itu adalah penampakan diri Allah dalam wujud Manusia.

Pasal ini menunjukkan betapa besarnya kesetiaan Tuhan pada janji-Nya terhadap Yakub. Ia menumbuhkan iman percaya Yakub, bahkan menganugerahkan nama “Israel” untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak pernah lupa akan janji-Nya. Tuhan yang kita sembah saat ini adalah Tuhan yang sama dengan Tuhan dalam kisah Yakub ini. Kesetiaan-Nya terhadap Yakub merupakan pegangan bagi kita saat ini, sehingga kita bisa sungguh-sungguh berharap dan mempercayai janji keselamatan dan penyertaan-Nya pada diri kita! Soli Deo Gloria (Segala Kamuliaan Hanya Bagi Allah)! [Sung]

Bukti Kesetiaan Tuhan (4)

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 31

Mulai pasal 31, kita akan melihat serangkaian akibat dari perbuatan dosa dalam keluarga Yakub, sekaligus kita juga dapat melihat kesetiaan Tuhan atas janji-Nya yang ditunjukkan dengan cara memberikan jalan keluar atas masalah yang muncul.

Masalah pertama yang muncul dalam bacaan Alkitab hari ini adalah bahwa Yakub dan keluarganya terpaksa melarikan diri dari rumah Laban setelah mereka sadar bahwa Laban telah mencurigai perbuatan culas (curang, tidak jujur) yang dilakukan oleh Yakub (31:1-2). Meskipun Tuhan sendiri berfirman menyuruh Yakub untuk pergi (31:3), jelas bahwa kondisi tidak nyaman itu terjadi karena kesalahan Yakub. Sayangnya, Yakub tidak merasa bersalah (bertobat), malahan dia berusaha membenarkan diri sendiri. Yakub menuduh Laban yang melakukan kecurangan terhadap dirinya (31:5-8) dan dia mengatakan bahwa apa yang diperolehnya merupakan berkat Allah baginya (31:7-12), padahal taktik keculasan Yakub terlihat jelas (30:37-43). Jawaban Yakub menunjukkan bahwa dia tidak mau bertanggung jawab dan tidak bersedia mengakui kesalahannya. Akhirnya, Laban mengizinkan Yakub dan keluarganya pergi. Kisah ini, menunjukkan bahwa dosa yang dipertahankan dan sikap membenarkan diri sendiri akan melahirkan dosa yang baru. Namun, ganjaran Tuhan tidak pernah salah sasaran. Pembuat dosa akan merasakan akibat dosa yang dilakukannya.

Masalah kedua dalam keluarga Yakub terjadi karena Rahel—istri kesayangan Yakub—bertindak terlampau jauh dengan mencuri terafim milik Laban—ayahnya sendiri—yang tercatat di Alkitab sebagai dewa asing di mata Tuhan. Hal ini menunjukkan kegagalan Yakub dalam mengajarkan kebenaran Tuhan kepada Rahel. Kemungkinan besar, Rahel “terpaksa” mengandalkan ilah lain karena ia dikuasai oleh rasa kuatir.

Kasih dan kesetiaan Tuhan terhadap janji-Nya kepada Yakub terlihat jelas melalui intervensi langsung yang Ia lakukan terhadap Laban. Allah berfirman secara langsung dalam suatu mimpi agar Laban tidak berlaku kasar terhadap Yakub (31:24). Oleh karena itu, sebelum Laban melepas kepergian Yakub dan seluruh keluarganya, Laban mencium cucu-cucunya dan anak-anaknya serta memberkati mereka (31:55). Sungguh sangat luar biasa kesetiaan Tuhan terhadap janji-Nya, meskipun pewaris janji itu bukanlah orang yang setia! [Sung]

Pengulangan Kesalahan dalam Keluarga

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 30

Sejarah terus berulang karena di bawah matahari ini “tak ada sesuatu yang baru” (Pengkhotbah 1:9). Di pasal 30, terdapat beberapa pengulangan terhadap kesalahan (dosa) yang pernah dilakukan oleh leluhur mereka. Pertama, ketidaksetiaan (ketidaksabaran) Rahel saat menanti penggenapan janji keturunan dari Allah membuat ia memberikan budaknya—Bilha—untuk menjadi gundik Yakub, agar Bilha dapat melahirkan anak bagi Yakub. Pada zaman itu, anak yang dilahirkan seorang budak perempuan bisa dianggap sebagai anak dari majikannya (yaitu Rahel). Hal serupa juga ditiru oleh sang kakak—yaitu Lea— yang memberikan budaknya—Zilpa—untuk menjadi gundik Yakub (Kejadian 30:1-13). Kedua peristiwa tersebut mengingatkan kita kepada Sara yang pernah melakukan hal yang sama (16:1-3). Kedua, peristiwa “pemerasan” oleh Lea kepada adiknya sendiri—Rahel—yang menginginkan buah dudaim (30:14-16) mengingatkan kita akan pemerasan yang dilakukan oleh Yakub pada Esau. Ketidaksetiaan terhadap janji Tuhan tersebut disempurnakan juga oleh Yakub sendiri, yang dengan tipu muslihatnya berhasil memperbanyak kekayaannya (30:29-43). Walaupun tipu muslihat Yakub merupakan tindakan penipuan terhadap penipu, tindakan seperti itu tetap merupakan hal yang tidak terpuji di hadapan Allah.

Walaupun dosa yang dipaparkan di atas tidak mendatangkan teguran atau hukuman Allah secara langsung, tidak berarti bahwa dosa seperti itu diizinkan Allah. Dalam lanjutan riwayat Yakub dan anak-anaknya, kita akan melihat bahwa dosa-dosa tersebut mendatangkan ganjaran di masa depan. Anak-anak yang tidak melihat teladan yang baik dari orang tua mereka akan meniru apa yang mereka lihat. Pelajaran untuk kita hari ini adalah: Pertama, jangan pandang remeh perbuatan dosa. Dosa yang terjadi dalam keluarga Yakub maupun leluhurnya selalu dimulai dengan pandangan bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang sepele. Sekalipun demikian, ketidaksetiaan dalam hal-hal kecil bisa mendatangkan konsekuensi yang mengerikan. Kedua, jangan bersikap santai atau menganggap lumrah bila dosa yang kita lakukan tidak langsung mendapatkan ganjaran, karena Tuhan adalah Hakim yang adil. Dosa pasti akan mendatangkan hukuman! Marilah kita terus setia berpegang pada penggenapan janji-janji Allah dan jangan bermain-main dengan dosa! [Sung]

Ketidakadilan Yakub dan Keadilan Allah

Bacaan Alkitab hari ini:

Kejadian 29

Suatu ketika ada sebuah berita yang sangat menarik di surat kabar. Berita itu menyangkut sebuah kasus penipuan yang memiliki unsur mistis. Berita itu menarik karena di antara para korban penipuan terdapat nama seseorang berinisial A yang merupakan mantan terpidana kasus penipuan dan penggelapan uang. Sungguh sangat ironis dan menggelikan bahwa sang penipu—yang sudah menerima hukuman atas perbuatannya—dapat tertipu untuk kasus yang mirip. Kira-kira demikianlah halnya dengan apa yang terjadi pada pasal 29 ini.

Di beberapa pasal sebelumnya, kita sudah membaca tentang kelakuan sang putra bungsu—Yakub—yang tega memeras Esau—abangnya sendiri—yang sedang dalam keadaan lelah dan lapar (25:29-34), serta bekerja sama dengan ibunya—Ribka—untuk menipu ayahnya sendiri—Ishak—agar memperoleh berkat kesulungan (27:1-29). Akibat perbuatannya sendiri, Yakub harus meninggalkan keluarganya untuk menyelamatkan diri dari ancaman Esau. Pada pasal 29 ini, diceritakan bahwa akhirnya Yakub sampai ke rumah pamannya sendiri—Laban—di Haran. Di sana, Yakub jatuh cinta pada Rahel—anak kedua sang paman—dan bersedia bekerja selama 7 tahun demi mendapatkan gadis itu. Akan tetapi, ternyata Yakub ditipu oleh Laban yang memberikan sang kakak (Lea)—bukan Rahel—sebagai istrinya. Untuk menebus Rahel—sang adik—Yakub terpaksa bekerja lagi selama 7 tahun berikutnya. Sungguh, peristiwa penipuan ini amat menyakitkan bagi Yakub. Akibat penipuan yang dilakukan Laban ini, Yakub berlaku tidak adil terhadap Lea, karena ia memang tidak mencintai Lea.

Perlakuan Yakub yang diskriminatif itu membuat Tuhan Allah yang setia dan adil itu segera membuka kandungan Lea—sehingga Lea bisa melahirkan empat anak laki-laki, yaitu Ruben, Simeon, Lewi, dan Yehuda—sedangkan Rahel belum melahirkan seorang anak pun. Kisah keluarga Yakub ini mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan membenci ketidakadilan, dan Ia akan berpihak kepada orang yang menjadi korban. Prinsip keadilan Allah ini terlihat berulang kali dalam Alkitab, dan juga sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari pada masa kini. Allah menuntut kita untuk berlaku adil terhadap sesama, di samping menuntut kita untuk berlaku setia dan rendah hati di hadapan Tuhan (Mikha 6:8). Bersediakah Anda untuk berlaku adil, setia, dan rendah hati? [Sung]