Prinsip-prinsip Memberi

2 Korintus 9:6-15

Dalam bacaan Alkitab hari ini, Rasul Paulus menyampaikan dua prin-sip yang merupakan pedoman bagi jemaat Korintus dalam memberi persembahan: Pertama, perhatikan bahwa ada suatu prinsip umum dalam kehidupan yang berlaku dalam berbagai situasi, yaitu bahwa apa yang kita tuai akan sesuai dengan apa yang telah kita tabur (9:6). Dalam konteks persembahan, khususnya dengan mengingat bahwa jemaat di Makedonia telah memberi melampaui kemampuan mereka (8:1-5, lihat renungan 2 Korintus 8:1-15), memberi berarti membuka kesempatan bagi kita untuk melihat bahwa Allah sanggup mencukupi semua kebutuhan kita (9:8). Selain itu, pemberian kita akan melimpahkan ucapan syukur dari penerima pemberian tersebut (9:12). Bila kita tidak berani memberi (hanya berani memberi “uang sisa”), kita bisa kehilangan kesempatan untuk melihat bagaimana Tuhan mencukupkan kebutuhan kita, dan kita juga kehilangan kesempatan untuk melihat buah dari pemberian kita dalam kehidupan orang yang menerima pemberian kita.

Kedua, kita harus memberi secara sukarela, bukan karena terpaksa (9:7). Memberi secara sukarela ini hanya akan bisa terwujud bila kita memberi karena kasih. Dari satu sisi, kita memberi karena Tuhan sudah lebih dulu mengasihi diri kita. Bila kita mengingat pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib bagi kita, kita akan menyadari bahwa apa yang bisa kita berikan kepada sesama menjadi terasa tidak berarti. Dari sisi lain, kita memberi karena Tuhan menghendaki kita mengasihi sesama. Kasih orang percaya kepada sesama yang kelihatan merupakan wujud dari kasih kepada Tuhan yang tidak kelihatan (bandingkan dengan 1 Yohanes 4:20). Kasih kita kepada Tuhan belum terbukti bila kita belum memiliki kerelaan untuk mengasihi sesama.

Kedua prinsip di atas perlu diterapkan dengan kewaspadaan. Pertama, sadarilah bahwa prinsip tabur-tuai itu tidak berarti bahwa kita memberi supaya kita bisa mendapat lebih banyak dari Tuhan (prinsip dagang). Berkat Tuhan harus kita pandang sebagai anugerah, bukan sebagai upah. Kedua, memberi secara sukarela bukan berarti bahwa kita cukup memberi dengan “uang kecil”. Pemberian yang wajar adalah pem-berian yang dilandasi oleh keinginan berkorban sebagai respons terhadap kebaikan Allah yang telah kita terima. Apakah kedua prinsip di atas sudah mewarnai cara Anda memberi persembahan? [GI Purnama]

Saling Mendorong dalam Pelayanan

2 Korintus 8:16-9:5

Setiap orang yang telah sungguh-sungguh bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus pasti telah dilahirkan kembali menjadi manusia baru yang memiliki keinginan dan pola pikir yang baru yang sesuai dengan kehendak Allah. Akan tetapi, karena kita semua masih hidup di dalam lingkungan yang lama, tidak mudah bagi kita untuk menjalani cara hidup yang baru itu. Kita perlu mencari tahu kehendak Tuhan melalui membaca dan mendengar pemberitaan firman Tuhan. Kita juga memer-lukan saudara-saudara seiman yang mengingatkan dan mendorong kita untuk melakukan kehendak Allah.

Jemaat di Yerusalem sedang menderita kekurangan sehingga mereka memerlukan bantuan (bandingkan dengan Kisah Para Rasul 24:17). Agaknya Titus ikut berperan dalam mendorong jemaat Korintus untuk melaksanakan pelayanan kasih (pelayanan membantu orang lain, khususnya dengan sokongan keuangan), sehingga jemaat itu telah mulai melaksanakan pelayanan kasih. Akan tetapi, pelayanan kasih kepada jemaat di Yerusalem baru sekadar keinginan yang belum terwujud (2 Ko-rintus 8:6, 10-11). Pelayanan kasih yang telah dimulai oleh jemaat Korintus (perlu diingat bahwa kota Korintus terletak di wilayah Akhaya) merupa-kan teladan yang membangkitkan keinginan yang besar dari jemaat di wilayah Makedonia (yaitu jemaat di kota Filipi, Tesalonika, Berea, dan sekitarnya) untuk memberi (9:1-2). Sebaliknya, respons jemaat Makedo-nia yang miskin, namun rela memberi melampaui kemampuan mereka, merupakan teladan ketulusan memberi bagi jemaat Korintus yang lebih kaya (8:1-4).

Untuk mempersiapkan pengumpulan bantuan bagi jemaat di Ye-rusalem, Rasul Paulus mengutus Titus (8:6) bersama seseorang yang ter-puji di semua jemaat karena pekerjaannya dalam pemberitaan Injil (8:18, mungkin yang dimaksud adalah dokter Lukas), dan seorang lain lagi yang telah terbukti berusaha membantu (8:22, mungkin yang dimaksud adalah Apolos). Dalam melaksanakan pelayanan kasih, sering kali kita harus saling mendorong dan mengerjakan bersama-sama agar pelayan-an kita membawa dampak yang lebih berarti. Itulah sebabnya, dalam gereja pada masa kini biasanya ada tim diakonia yang bertanggung jawab melaksanakan pelayanan kasih oleh gereja. Apakah Anda telah membiasakan diri untuk saling mendorong dalam pelayanan? [GI Purnama]

Ujian Keikhlasan

2 Korintus 8:1-15

Semua ungkapan kebaikan—termasuk memberi—haruslah dilandasi oleh kasih. Karena memberi kepada sesama itu bersifat sukarela, maka memberi itu merupakan ujian terhadap keikhlasan kasih jemaat Korintus (8:8). Rasul Paulus berusaha membangkitkan keikhlasan jemaat Korintus dengan memberikan informasi tentang jemaat-jemaat di wila-yah Makedonia (termasuk di antaranya adalah jemaat di Filipi, Tesaloni-ka, dan Berea), yang walaupun sangat miskin (bila dibandingkan dengan jemaat di Korintus), namun kaya dalam kemurahan, sehingga mereka dengan penuh semangat ikut mendukung pelayanan dengan kondisi keuangan mereka yang terbatas (8:1-4).

Selain memberikan contoh yang diperagakan oleh jemaat di Makedonia, Rasul Paulus menjelaskan beberapa prinsip tentang persem-bahan yang digunakan untuk pelayanan sosial: Pertama, kasih karunia Tuhan Yesus Kristus (yang sebenarnya kaya) yang rela menjadi Manusia (yang menanggalkan kekayaan-Nya sehingga menjadi miskin) perlu kita teladani dengan cara berlaku murah hati kepada sesama yang memer-lukan bantuan kita (bandingkan dengan 8:9). Kedua, kata “keikhlas-an” (8:8) menunjukkan bahwa tindakan menolong orang lain yang memerlukan bantuan kita itu harus dilakukan dengan sukarela (8:11-12). Ketiga, tindakan menolong orang lain yang membutuhkan bantuan keuangan itu bukanlah dimaksudkan untuk memanjakan, tetapi supaya ada keseimbangan (8:13-14) yang membuat setiap orang (orang kaya maupun orang miskin) bisa menikmati berkat Tuhan. Prinsip keseim-bangan ini mengingatkan bahwa setiap orang memiliki kekurangan masing-masing, sehingga orang yang lebih kaya pun mungkin memiliki kekurangan yang membuat dia memerlukan bantuan sesama (yang lebih miskin, namun memiliki kelebihan dalam hal lain). Dengan demikian, prinsip keseimbangan ini akan membuat yang kaya tidak merasa su-perior dan yang miskin tidak merasa rendah diri, dan prinsip keseim-bangan ini bersifat mempersatukan orang percaya.

Apakah Anda sudah mengembangkan kepekaan untuk membantu sesama? Ingatlah bahwa membantu ini bukan hanya menyangkut keuangan, tetapi bisa berarti memperhatikan, mengunjungi, mendoakan dan sebagainya. Kerelaan (keikhlasan) kita untuk membantu sesama akan membangun kesatuan umat Tuhan. [GI Purnama]

Teguran Sebagai Ungkapan Kasih

2 Korintus 7:2-16

Ungkapan kasih sangat diperlukan dalam setiap hubungan, bukan hanya dalam sebuah keluarga, tetapi juga dalam sebuah gereja (jemaat). Akan tetapi, perlu diingat bahwa ungkapan kasih itu bukan hanya sekadar berupa ucapan yang menyenangkan, tetapi juga bisa berwujud teguran yang menyakitkan hati. Bahkan, bisa dikatakan bahwa teguran yang keras menandai kedekatan suatu hubungan. Teguran yang dilandasi oleh kasih bisa sangat menyakitkan, tetapi teguran semacam itu tidak akan membangkitkan kebencian. Seorang yang telah dewasa secara emosional dan secara rohani akan bisa mengatakan, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi.” (Amsal 27:5). Inilah yang terjadi dalam hubungan antara Rasul Paulus dengan jemaat Korintus. Dalam 1 Korintus 5, Rasul Paulus menegur keras jemaat Korintus yang membiarkan saja terjadinya kasus asusila yang sangat memalukan, yaitu adanya orang yang hidup (dalam relasi seksual) dengan istri ayahnya. Teguran keras itu membuat hati jemaat Korintus menjadi sedih. Akan tetapi kesedihan itu menghasilkan pertobatan, dan kesedihan yang menghasilkan pertobatan itu disebut oleh Rasul Paulus sebagai “dukacita menurut kehendak Allah” (2 Korintus 7:8-11). Bisa dipastikan bahwa teguran Rasul Paulus yang amat keras itu membuat jemaat Korintus akhirnya menjatuhkan “sanksi gerejawi” terhadap anggota gereja yang telah melakukan perbuatan asusila di atas.

Perlu disadari bahwa teguran keras terhadap orang yang kita kasihi itu bukan hanya bisa menyakiti hati orang yang kita tegur, tetapi juga menyakiti hati kita yang menegur. Oleh karena itu, banyak orang memilih untuk menutup mata dan menghindar dari kewajiban menegur orang yang bersalah. Di gereja pun, sanksi gerejawi tidak populer. Da-lam banyak rumah tangga, sering terjadi bahwa orang tua menghindari kewajiban mendisiplin (menghukum) anak yang bersalah. Sikap buruk anak yang dibiarkan oleh orang tua melahirkan kebiasaan buruk dan akhirnya memunculkan terjadinya tawuran pelajar, kenakalan remaja, serta akhirnya berbuah dalam wujud berbagai kejahatan yang bisa kita baca setiap hari di media massa. Marilah kita memeriksa diri kita masing-masing: Apakah Anda memiliki kasih yang cukup besar sehingga Anda berani menegur berlangsungnya dosa dalam rumah Anda dan juga da-lam gereja Anda? [GI Purnama]

Batas-batas dalam Pergaulan

2 Korintus 6:11-7:1

Walaupun status orang percaya sebagai terang bagi dunia mengha-ruskan kita untuk bergaul dengan orang yang tidak percaya, pergaulan yang boleh kita jalin terbatas. Orang beriman (orang perca-ya) tidak boleh kehilangan kesadaran bahwa kita memiliki perbedaan identitas dengan orang-orang yang tidak percaya. Perbedaan itu amat kontras (mencolok)! Perbedaan itu setara dengan perbedaan antara kebenaran dan kedurhakaan atau antara terang dan gelap, bahkan perbedaan itu seperti perbedaan antara Kristus dengan Belial (sebutan “Belial” ini menunjuk kepada Setan). Oleh karena itu, saat kita bergaul dengan orang yang tidak percaya, ada kebiasaan atau tindakan orang tak percaya yang harus dihindari atau dijauhi, khususnya yang menyang-kut penyembahan berhala. Pandangan orang percaya dengan orang yang tidak percaya tentang apa yang benar dan apa yang salah pun dalam hal-hal tertentu memiliki perbedaan yang tidak boleh dikompromi-kan. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel berkali-kali melanggar perin-tah Allah yang mengharuskan mereka memisahkan diri dengan pendu-duk setempat yang notabene adalah para penyembah berhala. Pelang-garan itu membuat bangsa Israel berkali-kali jatuh ke dalam penyem-bahan berhala dan menerima hukuman Allah. Bila dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang percaya adalah garam dunia dan terang dunia (Matius 5:13-14), hal itu berarti bahwa orang-orang percaya harus mempertahankan identitas sebagai anak-anak Allah yang memiliki ciri berbeda dengan orang-orang tidak percaya.

Setiap relasi dengan orang yang tidak percaya harus dievaluasi secara kritis (Bandingkan dengan 1 Korintus 15:33). Kerja sama bisnis harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar kita tidak terjerumus mengikuti cara-cara yang bertentangan dengan iman kita, Pernikahan dengan orang yang tak percaya bisa menghasilkan kesulitan (konflik) serius saat kita hendak mengekspresikan iman dalam hal-hal seperti menentukan arah pendidikan anak (anak akan bingung memilih mengikuti ayah atau mengikuti ibu). Oleh karena itu, orang percaya harus sangat berhati-hati dalam bergaul atau bekerja sama dengan orang yang tidak percaya. Apakah Anda pernah memikirkan batas-batas yang harus ditetapkan saat bergaul dengan orang yang tidak percaya? Bagaimana cara Anda bergaul saat ini? [GI Purnama]

Jangan Sia-siakan Kasih Karunia Allah

2 Korintus 6:1-10

Keselamatan di dalam Kristus merupakan kasih karunia Allah yang sangat berharga. Keselamatan itu merupakan kasih karunia (pemberian cuma-cuma) karena tidak ada suatu kebaikan pada diri kita yang membuat kita patut menerima keselamatan itu. Bagi Rasul Paulus, keselamatan yang dia terima dari Allah itu membuat dia amat bersyukur karena ia adalah mantan penganiaya orang Kristen. Kasih karunia yang telah diterimanya itu membuat dia tetap setia melayani walaupun ia harus menghadapi berbagai macam tantangan berat dalam hidupnya. Rasul Paulus selalu menunjukkan keteladanan sebagai seorang pelayan Allah yang sabar saat menghadapi penderitaan, kesesakan (kesusahan, kesedihan) dan kesukaran, saat menanggung dera (hukuman berupa pukulan), saat berada dalam penjara, saat menghadapi kerusuhan (dike-royok), saat berjerih payah (bekerja keras), berjaga-jaga (kurang tidur) dan berpuasa (kekurangan makanan). Dia selalu menjaga kemurnian hati (ketulusan), berlaku bijaksana (berpengetahuan), sabar, dan murah hati; bergantung kepada pertolongan Roh Kudus, mempertahankan kasih yang tulus. Dia mengajarkan kebenaran dengan kuasa Allah; memakai firman Allah (Alkitab) sebagai alat untuk menyerang maupun membela diri; menghadapi sanjungan dan hinaan, pujian dan fitnah. Dia bersikap jujur namun dianggap penipu, tidak dikenal namun terkenal. Dia nyaris mati karena dihajar (dianiaya) sampai disangka mati, namun tetap hidup. Dia dibuat sedih, namun tetap gembira; nampak miskin, tetapi membuat orang lain menjadi kaya; nampak tidak punya apa-apa, tetapi sebenar-nya memiliki segala sesuatu (6:4-10).

Rasul Paulus selalu berusaha untuk bekerja dalam sebuah tim. Dia memberi teladan, kemudian mengajar orang lain untuk melakukan hal yang sama. Dia tidak mau menyia-nyiakan kasih karunia Allah yang telah dia terima, dan dia mendorong jemaat yang dilayaninya—yang disebut-nya sebagai “teman-teman sekerja”—untuk melakukan hal yang sama (6:1). Dia menegaskan bahwa kasih karunia Allah itu ditawarkan dalam jangka waktu yang terbatas (6:2). Dia tidak mau menyia-nyiakan kasih karunia Allah, dan dia berusaha agar dirinya tidak menjadi penghalang bagi orang lain untuk menerima kasih karunia yang sama, yaitu kesela-matan di dalam Yesus Kristus. Bagaimana sikap Anda terhadap karunia Allah yang telah ditawarkan juga kepada Anda itu? [GI Purnama]

Takut akan Tuhan

2 Korintus 5:11-21

Pengertian “takut akan Tuhan” ada dua macam, tergantung dari pandangan orang itu terhadap Tuhan. Bagi orang yang membenci Tuhan, “takut akan Tuhan” menunjuk kepada perasaan terpaksa yang dilandasi oleh rasa takut terhadap hukuman Tuhan. Bagi orang yang mengasihi Tuhan, “takut akan Tuhan” menunjuk kepada rasa hormat yang dilandasi oleh kasih kepada Tuhan. Dalam bacaan Alkitab hari ini, jelas bahwa “takut akan Tuhan” (5:11) menunjuk kepada pengertian yang kedua. Rasa hormat kepada Tuhan yang dilandasi oleh kasih akan membuat seseorang berusaha melakukan kehendak Tuhan. Dia merasa “takut” menentang kehendak Tuhan, bukan karena kekuatiran bahwa Tuhan akan menghukum dirinya, tetapi karena adanya kasih membuat dia tidak ingin menyakiti hati Tuhan.

“Takut akan Tuhan” yang digerakkan oleh kasih merupakan lan-dasan bagi seluruh kehidupan Rasul Paulus, termasuk menjadi landasan bagi cara pandangnya terhadap sesama (5:14, 16) dan bagi pelayanan-nya (meyakinkan orang, 5:11). Karena pelayanannya dilandasi oleh takut akan Tuhan, Rasul Paulus tidak pernah menyerah saat menghadapi pe-nolakan, bahaya dalam perjalanan, penjara, dan penganiayaan. Komit-men pelayanannya tidak pernah pudar. Bisa dikatakan bahwa Rasul Paulus tidak takut menghadapi tantangan apa pun karena satu-satunya yang dia takuti adalah menyakiti hati Tuhan. Tepatlah bila Rasul Paulus mengatakan, “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami” (5:14). Di dalam Kristus, Rasul Paulus—mantan penganiaya orang-orang Kristen—berubah total dan menjadi seorang yang menyerahkan dirinya untuk melayani Tuhan secara habis-habisan.

Bagaimana dengan diri Anda: Apakah Anda mengasihi Tuhan? Apakah kasih Anda kepada Tuhan cukup besar sehingga Anda takut menyakiti hati Tuhan? Apakah Anda memiliki kerinduan untuk melaksa-nakan kehendak Tuhan dalam kehidupan Anda? Bila Anda tidak pernah mengaitkan hidup Anda dengan kehendak Tuhan bagi diri Anda, hal itu merupakan petunjuk bahwa Anda kurang mengasihi Tuhan. Evaluasilah diri Anda: Apakah Anda benar-benar meyakini bahwa Tuhan Yesus sudah mati untuk menebus dosa Anda? Bila Anda sudah memperoleh keselamatan di dalam Kristus, seharusnya Anda meneruskan berita kese-lamatan itu kepada orang-orang yang sedang menuju kebinasaan! [GI Purnama]

Rumah di Sorga: Sumber Pengharapan Kita

2 Korintus 5:1-10

Pengharapan itu amat penting. Tanpa pengharapan, masalah yang kita hadapi bisa terasa sangat berat menghimpit dan mengarahkan hidup kita, sehingga kita tidak sanggup memilih untuk tetap melakukan apa yang benar yang sesuai dengan kehendak Allah. Bagi Rasul Paulus, salah satu sumber pengharapan yang membuat ia sanggup menghadapi penderitaan adalah bahwa Allah telah menyediakan rumah di surga bagi setiap anak-anak-Nya. Perlu diperhatikan bahwa kata “kemah” (5:1) me-nunjuk kepada “tubuh” kita yang terus semakin merosot karena proses penuaan (4:16), sedangkan “tempat kediaman di sorga” (5:1) menunjuk kepada sesuatu yang belum sepenuhnya kita pahami (1 Korintus 2:9). Yang jelas, setiap orang percaya akan menerima tubuh yang baru yang bisa disebut sebagai “tubuh kebangkitan” yang kondisinya sempurna, tidak bisa merosot (bandingkan dengan 1 Korintus 15:35-49). Selain itu, perlu diingat dengan penuh keyakinan bahwa saat ini, Tuhan Yesus telah menyediakan “tempat di surga” bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya (bandingkan dengan Yohanes 14:1-4).

Memegang pengharapan yang kita miliki itu tidak mudah karena kita harus terus mempercayai apa yang belum kita lihat. Oleh karena itu, Allah memberikan Roh Kudus sebagai jaminan sampai kita memiliki penggenapan janji itu seutuhnya (2 Korintus 5:5). Roh Kudus akan mengingatkan kita akan janji-janji Allah, sehingga kita disanggupkan untuk “melihat” apa yang tidak kelihatan. Dari pihak kita, kita harus membangun “iman” terhadap apa yang belum kita lihat (Ibrani 11:1). Apakah pengharapan tentang “rumah di sorga” sudah menjadi sumber pengharapan Anda? Saat Anda menghadapi berbagai macam masalah dalam kehidupan, apakah Anda menyadari bahwa semua masalah itu bersifat sementara dan akan berlalu? Apakah “kesenangan masa kini” masih lebih menarik bagi Anda dibandingkan dengan “pengharapan besar” yang perwujudannya belum kita lihat saat ini? Bila saat ini, Anda sedang bergumul untuk mengatasi godaan yang hendak mengalihkan pandangan Anda dari apa yang tidak (belum) kelihatan, bacalah pergumulan tokoh-tokoh iman dalam Ibrani 11. Ada banyak orang yang didaftarkan dalam pasal tersebut yang sedang bergumul menghadapi berbagai macam tantangan iman. Jangan biarkan Iblis mengalihkan pandangan Anda dari pengharapan yang Anda miliki! [GI Purnama]

Kami Tidak Tawar Hati

2 Korintus 4

Bila Rasul Paulus hanya memperhatikan kesulitan yang harus dia ha-dapi dalam pelayanan, dia pasti tawar hati! Dia sudah merintis dan membangun gereja di kota Korintus dengan susah payah. Akan tetapi, sesudah ia meninggalkan kota itu dan melanjutkan perjalanan misi ke kota lain, muncul banyak masalah di sana. Ada guru-guru palsu yang ajarannya menyesatkan. Ada pula permasalahan moral yang memalu-kan. Dia juga mengalami penindasan, penganiayaan, bahkan ancaman kematian (4:8, 9, 11). Sekalipun demikian, ada dua hal yang membuat Rasul Paulus tidak tawar hati: Pertama, dia tidak tawar hati karena dia mengalami kemurahan Allah (4:1). Dia mengakui bahwa kekuatannya dalam menanggung penderitaan berasal dari Allah (4:7). Walaupun mengalami penindasan, ia tidak terjepit. Walaupun kadang-kadang ia tidak mengerti lagi apa yang harus ia lakukan (menghadapi jalan buntu), ia tidak putus asa (4:8). Nampaknya, masalah yang dihadapi Rasul Paulus dibatasi oleh Tuhan (4:9, bandingkan dengan kisah Ayub dalam Ayub 1-2). Kedua, dia tidak tawar hati karena ia tidak mau membiarkan pandangannya terarah pada masalah nyata yang sedang ia hadapi saat ini saja, melainkan ia menujukan perhatiannya pada kemuliaan kekal yang disediakan Allah sesudah penderitaan yang bersifat sementara ini berlalu (4:16-18). Perhatikan bahwa dengan mengingat kemuliaan kekal yang akan diterimanya kelak, permasalahan berat yang dihadapi Rasul Paulus saat ini menjadi terasa sebagai penderitaan ringan (4:17).

Apakah saat ini, Anda sedang melaksanakan pelayanan yang terasa berat? Apakah saat Anda melayani, Anda mengalami ketidakadil-an atau kegagalan atau respons yang menyakitkan? Bila pengalaman hidup Anda terasa pahit, ingat kembali kemurahan Allah yang pernah Anda alami! Cobalah untuk mendaftarkan hal-hal baik yang telah Allah izinkan terjadi dalam hidup Anda di masa lampau. Selanjutnya, pikir-kanlah kemuliaan yang disediakan Allah bagi setiap orang yang telah bersusah payah melayani Dia! Sadarilah bahwa bila kita menujukan perhatian kita pada masalah yang sedang kita hadapi saja, kita bisa melupakan Allah yang bersedia dan mampu menolong kita. Mulailah mengandalkan kekuatan Allah dan menanamkan keyakinan bahwa, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Filipi 4:13). [GI Purnama]

Pelayanan yang Mulia

2 Korintus 3

Pelayanan Musa pada masa Perjanjian Lama—yang didasarkan pada Hukum Taurat—adalah pelayanan yang mulia. Perjumpaan Musa dengan Allah membuat muka Musa bersinar, sehingga ia harus menye-lubungi mukanya karena orang Israel tidak sanggup menatap wajahnya (3:7; bandingkan dengan Keluaran 34:29-35). Akan tetapi, pelayanan yang didasarkan pada hukum Taurat hanya membuat umat Allah mera-sa berdosa karena menyadari ketidakmampuan mereka melaksanakan seluruh hukum Taurat. Oleh karena itu, pelayanan yang didasarkan pada hukum Taurat ini disebut sebagai pelayanan yang memimpin kepada kematian (3:7). Pelayanan pada masa Perjanjian Baru bukan didasarkan pada hukum Taurat, melainkan didasarkan pada anugerah Allah di da-lam Kristus yang memimpin kepada pembenaran (3:9). Pembenaran bisa didapatkan oleh orang beriman karena tuntutan kesucian Allah (yang dinyatakan dalam hukum Taurat) telah dipenuhi melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Pelayanan pada masa Perjanjian Baru tidak berakhir pada kesadaran akan dosa, melainkan berlanjut dengan pembaruan batin yang dikerjakan oleh Roh Kudus dan menghasilkan hati yang rindu untuk hidup dalam ketaatan kepada kehendak Allah (Yehezkiel 36:26). Oleh karena itu, pelayanan pada masa Perjanjian Baru merupakan pelayanan yang lebih mulia daripada pelayanan pada masa Perjanjian Lama (2 Korintus 3:7-9).

Gereja pada masa kini perlu menyadari perbedaan antara pelayanan pada zaman Perjanjian Lama yang didasarkan pada hukum Taurat dan pelayanan pada zaman Perjanjian Baru yang didasarkan pada pembaruan hidup atau pembaruan hati. Tidaklah cukup bila gereja pada masa kini hanya mengajar anggota jemaat untuk bisa mem-bedakan antara yang benar dan yang salah (sudut pandang hukum). Gereja harus mengajar anggota jemaat untuk menjalin relasi dengan Kristus dan mengalami pembaruan hidup! Pembaruan hidup ini dikerja-kan oleh Roh Kudus yang berdiam di dalam hati setiap orang percaya. Pembaruan hidup ini membuat orang percaya memiliki kerinduan untuk melakukan kehendak Allah secara sukarela. Apakah Anda sudah meng-alami pembaruan dalam kehidupan Anda? Apakah Anda sudah ikut terlibat dalam pelayanan yang merupakan tanggung jawab setiap orang percaya (bandingkan dengan Efesus 4:11-12)? [GI Purnama]