Mengampuni: Kunci Sukses Kebersamaan

2 Korintus 2:5-17

Hubungan yang sehat adalah hubungan yang saling membangun. Hubungan yang saling membangun ini bukanlah hubungan yang hanya saling mendorong atau saling menguatkan atau saling mendukung (menyetujui), melainkan juga hubungan yang saling menegur (mencela, mengingatkan). Dalam jemaat Korintus terdapat orang yang perbuatan-nya membuat orang-orang lain menjadi sedih (2:5). Orang ini mungkin adalah orang yang menyebar hoax atau yang telah menyakiti hati Rasul Paulus, tetapi bisa juga orang (pria) yang hidup (selingkuh) dengan istri ayahnya (1 Korintus 5:1, mungkin saja sang ayah sudah meninggal). Berhubungan (selingkuh) dengan ibu tiri merupakan dosa yang terkutuk. Dalam tradisi kafir pun, hubungan semacam ini dilarang. Agaknya jemaat Korintus telah memberikan teguran keras terhadap anggota jemaat yang melakukan dosa semacam ini. Setelah mendapat teguran keras, orang itu agaknya menjadi sadar dan sangat menyesal dan menjadi sedih. Terhadap anggota jemaat yang menyesal dan menjadi sedih setelah dosanya ditegur, para anggota jemaat yang lain harus berlapang dada dan memaafkan orang itu. Bila dosa anggota jemaat itu adalah sikap buruk terhadap Rasul Paulus. Rasul Paulus menegaskan bahwa dia telah mengampuni kesalahan orang itu (2 Korintus 2:10). Pengampunan akan membuat orang yang telah melakukan dosa itu tidak perlu terus tenggelam dalam penyesalan, melainkan bisa mulai menjalani kehidupan dengan cara hidup yang baru.

Bagaimana sikap Anda terhadap mantan narapidana yang telah bertobat atau terhadap orang pernah melakukan kesalahan, tetapi kemudian telah bertobat dan menjalani kehidupan yang baru? Apakah Anda bersedia menerima kehadiran orang seperti itu dalam gereja? Apakah sikap saling menegur dan saling mengampuni telah menjadi budaya dalam gereja Anda dan dalam kehidupan rumah tangga Anda? Ingatlah bahwa Tuhan Yesus mengasihi manusia berdosa, termasuk para pelacur, petugas pajak yang jahat dan bersikap menindas rakyat, serta penjahat kelas kakap yang disalibkan bersama diri-Nya! Mengasihi orang yang baik adalah sikap biasa yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi, mengampuni dan mengasihi orang jahat, apalagi orang yang telah berbuat jahat terhadap diri kita sendiri, hanya bisa dilakukan dengan anugerah Allah. [GI Purnama]

Melayani dengan Tulus

2 Korintus 1:12-2:4

Melayani itu tidak mudah! Bila kita melihat cara Rasul Paulus mela-yani jemaat, kita tentu berharap bahwa Beliau selalu mendapat respons positif. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Hoaks atau tuduhan bersifat fitnah yang dimaksudkan untuk merusak pelayanan Ra-sul Paulus sudah ada pada zaman itu. Ada orang yang menyebarkan berita bahwa perkataan Rasul Paulus tidak bisa dipercaya. Walaupun Rasul Paulus pernah membatalkan rencana kunjungan ke jemaat di kota Korintus, hal itu tidak berarti bahwa perkataan Rasul Paulus tidak bisa dipercaya. Beliau membatalkan rencana kunjungan, karena dia merasa bahwa saat itu adalah waktu yang tidak tepat. Ada masalah yang harus dibereskan lebih dulu supaya tidak muncul suasana yang tidak nyaman.

Rasul Paulus menegaskan bahwa pelayanannya dilandasi oleh ketulusan dan kemurnian (1:12). Rencana kunjungannya dilandasi oleh maksud baik (supaya menjadi berkat bagi jemaat di kota Korintus), dan pembatalan rencananya juga dilandasi oleh niat baik (supaya kedatang-annya tidak menimbulkan kesedihan, 2:1). Bila Beliau mengatakan bahwa ia menulis dengan hati yang sangat cemas dan sesak dan dengan men-cucurkan banyak air mata, perkataan tersebut bukanlah dimaksudkan untuk membangkitkan kesedihan, melainkan untuk menjelaskan bahwa ia sangat mengasihi jemaat Korintus.

Ketulusan melayani sangatlah penting. Sayangnya, tidak semua orang melayani dengan ketulusan. Di setiap zaman, terdapat orang-orang yang melayani dengan maksud untuk mendapat keuntungan. Ada orang yang memakai pelayanan sebagai sarana untuk menjalin relasi agar bisa mendapatkan pasangan hidup atau untuk mendapatkan proyek yang mendatangkan keuntungan besar. Sekalipun mendapatkan pasangan hidup serta ber-partner bisnis dengan saudara seiman merupakan hal yang baik, mencari partner bukanlah motivasi yang tepat dalam pelayanan. Pelayanan kita harus dilandasi oleh kasih terhadap orang yang kita layani. Tujuan kita dalam melayani adalah untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang kita layani, bukan melayani untuk mencari keuntungan. Bila kita melayani dengan tulus, kita tidak akan takut dirugikan dan tidak akan mundur dari pelayanan bila meng-hadapi masalah. Bila Anda adalah pengikut Kristus, beranikah Anda memikul salib? (Lukas 9:23; 14:27) [GI Purnama]

Penderitaan adalah Kenyataan Hidup

2 Korintus 1:1-11

Bila ada seorang bertanya, “Apa kabar?” Bagaimana Anda menja-wab? Saat ini, sedang berkembang suatu pandangan—termasuk di kalangan Kristen—bahwa kita harus mengatakan bahwa kabar kita baik, bahkan “luar biasa baik”. Bila jawaban semacam itu dilandasi oleh iman akan pemeliharaan Allah dan keyakinan bahwa Allah dapat memanfaat-kan apa saja yang kita alami untuk kebaikan kita, jawaban semacam itu merupakan jawaban yang wajar. Yang tidak wajar adalah bila jawaban itu merupakan penyangkalan terhadap realitas penderitaan yang dialami seseorang. Tidak benar bila adanya masalah, kesulitan, kegagalan, dan penderitaan dianggap sebagai ciri bahwa seseorang “kurang rohani”. Kita harus memahami bahwa Rasul Paulus pun tidak kebal terhadap rea-litas penderitaan. Bahkan, penderitaan yang dialami oleh Rasul Paulus sedemikian berat, sehingga beliau sampai merasa putus asa (1:8-9). Akan tetapi, penderitaan yang berat itu membuat Rasul Paulus bisa mengalami penghiburan dari Allah yang berlimpah-limpah. Penghiburan yang berlimpah-limpah ini nampaknya berupa pertolongan Allah yang tak terduga dan kesadaran bahwa Kristus pun telah rela menderita sampai mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia (1:5; bandingkan dengan Ibrani 12:2-4). Pengalaman menerima penghiburan saat menghadapi penderitaan itu membuat Rasul Paulus sanggup menghibur anggota jemaat yang sedang mengalami penderitaan (2 Korintus 1:3-4).

Masalah, kesulitan, kegagalan, dan penderitaan merupakan kenya-taan yang wajar bagi setiap orang. Bahkan, Rasul Paulus memandang penderitaan yang dialaminya sebagai karunia Allah (Filipi 1:29). Bila orang Kristen menghadapi perlakuan yang tidak semestinya dari orang-orang yang tidak menyukai kekristenan, penderitaan yang ia alami harus dipandang sebagai kesempatan untuk menghayati penderitaan Kristus. Tidak benar bila ada orang yang menganggap penderitaan sebagai ciri kurangnya iman atau ciri rendahnya kerohanian seseorang. Sebaliknya, penderitaan adalah alat di tangan Allah untuk membuat kehidupan seo-rang beriman menjadi semakin bergantung kepada Allah (2 Korintus 1:9). Bila Anda sedang mengalami penderitaan, tetaplah bertekun memperta-hankan iman Anda (Yakobus 5:11)! Ingatlah bahwa Kristus, Rasul Paulus, dan amat banyak tokoh beriman, juga pernah mengalami penderitaan (bandingkan dengan kisah tokoh-tokoh iman dalam Ibrani 11). [GI Purnama]

Laksanakanlah Janjimu!

Imamat 27

Nazar adalah janji kepada Tuhan untuk mempersembahkan (meng-khususkan) sesuatu kepada Tuhan bila suatu permohonan terkabul. Nazar ini bisa berupa janji untuk mempersembahkan orang, hewan, rumah, atau tanah. Pada prinsipnya, setiap nazar harus ditepati tanpa ditunda-tunda (Pengkhotbah 5:3). Akan tetapi, pelaksanaan nazar harus mengikuti aturan. Bila persembahan itu berupa orang (untuk melayani Tuhan), yang bisa dilakukan oleh orang yang bukan dari suku Lewi amat terbatas karena upacara di Kemah Suci hanya boleh dilayani oleh imam keturunan Harun dan pekerjaan di Kemah Suci hanya boleh dikerjakan oleh orang-orang dari suku Lewi. Untuk mengatasi hal itu, pembayaran nazar berupa orang bisa diganti dengan uang sesuai dengan ketentuan (Imamat 27:2-8). Jika nazar itu mengenai hewan halal, nazar itu tidak boleh diganti dengan uang dan binatang itu harus digunakan sebagai hewan korban. Jika karena alasan tertentu hewan itu diganti, gantinya harus hewan yang halal juga. Jika nazar itu mengenai hewan haram, imam akan menentukan nilai hewan itu. Bila hewan haram itu hendak ditebus, jumlah tebusan adalah nilai hewan itu ditambah seperlima. Demikian pula halnya bila nazar itu menyangkut rumah (27:9-15). Khusus untuk nazar berupa tanah, perhitungan nilai tanah mempertimbangkan aturan tentang pembebasan tanah pada tahun Yobel (27:16-25). Anak sulung—baik manusia maupun hewan yang halal—adalah milik Tuhan sehingga tidak bisa dinazarkan (27:26). Nazar berupa anak sulung hewan yang haram harus ditebus sesuai dengan nilainya ditambah seperlima (27:27). Aturan tentang nazar ini juga berlaku bagi per-sembahan persepuluhan. Secara umum, persepuluhan diharapkan untuk tidak ditukar atau ditebus. Akan tetapi, bila ada yang hendak ditebus juga, nilainya harus ditambah seperlima (27:30-34).

Bagi kita saat ini, aturan di atas terasa asing dan tidak relevan. Sekalipun demikian, aturan di atas mengingatkan kita agar tidak sembarangan berjanji. Bila kita sudah berjanji, kita harus menepatinya. Dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengajarkan agar kita tidak bersumpah, tetapi ucapan kita harus memiliki kualitas seperti sumpah dalam arti harus ditepati (Matius 5:33-37). Apakah Anda telah membiasakan diri untuk selalu berhati-hati sebelum mengucapkan perkataan dan Anda selalu menepati janji? [GI Purnama]

Hukuman adalah Anugerah

Imamat 26

Tuntutan Allah mencakup dua hal, yaitu sikap terhadap Allah dan ketaatan terhadap perintah-Nya. Karena kita adalah makhluk sosial (yang terpengaruh oleh orang-orang di sekeliling kita), waspadalah agar pandangan kita tentang Allah dan kesetiaan kita terhadap kehendak-Nya tidak terpengaruh oleh masyarakat di sekitar kita. Karena hukum-hukum Allah baru diberikan pada zaman Musa, Allah ingin memisahkan umat Israel dari bangsa-bangsa kafir yang bisa menyesatkan mereka. Salah satu godaan terbesar adalah bahwa bangsa-bangsa kafir pada zaman kuno umumnya menyembah sembahan berupa patung yang bisa dilihat. Membuat patung sebagai sembahan yang menggambarkan Allah Israel adalah tindakan merendahkan atau melecehkan karena Allah Israel berbeda dengan sembahan bangsa-bangsa kafir (26:1). Ketetapan tentang Sabat, upacara keagamaan yang berpusat pada Kemah Suci, dan perintah-perintah yang mengatur cara hidup umat Israel adalah tuntutan Allah yang harus terus dipelihara oleh bangsa Israel (26:2-3).

Allah telah berjanji bahwa ketaatan terhadap ketetapan dan perintah-Nya akan mendatangkan berkat (26:4-13). Sebaliknya, pelang-garan terhadap ketetapan dan perintah Allah akan mendatangkan hukuman. Hukuman bertujuan agar umat Israel yang tersesat segera bertobat dan kembali kepada Allah. Bila hukuman tersebut diabaikan, Allah akan menjatuhkan hukuman yang semakin berat untuk mengingat-kan umat-Nya (26:14-39). Hukuman puncak adalah hukuman pembu-angan (mereka diserakkan di antara bangsa-bangsa lain, 26:33), dan hal ini benar-benar terwujud di masa depan. Sekalipun demikian, ancaman hukuman ini juga disertai dengan janji pemulihan bila umat Israel mau bertobat (26:40-45). Hukuman Allah tidak pernah dimaksudkan untuk membinasakan umat-Nya, melainkan untuk menyadarkan umat-Nya akan dosa mereka, dan agar umat-Nya kembali kepada Allah. Dalam kehidupan kita, Allah juga sering memakai kegagalan, kekecewaan, dan berbagai macam masalah untuk mengingatkan kita agar kita hidup dalam ketaatan kepada-Nya. Oleh karena itu, bila Anda menghadapi bermacam-macam masalah dan kegagalan, Anda harus melakukan introspeksi diri. Apakah Anda telah membiasakan diri untuk melakukan introspeksi diri saat Anda menghadapi berbagai macam masalah dalam kehidupan Anda? [GI Purnama]

Tanggung Jawab Sosial Umat Allah

Imamat 25:29-55

Aturan Tahun Yobel untuk penjualan tanah, rumah, dan manusia (bu-dak) berbeda-beda. Tanah warisan orang Israel tidak pernah dijual mutlak. Si penjual atau kerabatnya berhak menebus tanah itu. Bila tanah tidak ditebus, tanah yang dijual harus dikembalikan pada si penjual pada Tahun Yobel (25:23-28). Seperti aturan untuk tanah, rumah di desa juga boleh ditebus, dan—bila tidak ditebus—harus dikembalikan pada Tahun Yobel (25:31). Namun, kesempatan menebus rumah di kota berpagar tembok hanya satu tahun. Bila tidak ditebus dalam satu tahun, rumah itu menjadi milik si pembeli untuk seterusnya tanpa batas waktu (25:29-30). Khusus untuk suku Lewi (yang tidak mewarisi tanah), status rumah sama seperti status tanah di luar suku Lewi. Orang Lewi boleh menebus rumah kapan pun, dan bila tidak ditebus, rumah itu harus dikembalikan pada Tahun Yobel (25:32-33). Orang asing boleh dijadikan budak (25:44-45), tetapi perbudakan tidak diizinkan di antara bangsa Israel sendiri. Sesama orang Israel harus membantu saudaranya yang jatuh miskin tanpa meminta bunga atau riba. Orang Israel yang jatuh miskin hanya boleh dijadikan pekerja upahan, tidak boleh dijadikan budak. Bila orang Israel yang jatuh miskin menjadi budak pendatang yang kaya, orang Israel itu boleh menebus dirinya sendiri (bila mampu). Saudara atau kerabatnya juga berhak menebus dia. Harga tebusan dihitung berdasarkan jumlah tahun sampai datangnya Tahun Yobel. Bila tidak ditebus, orang Israel itu harus dibebaskan pada Tahun Yobel (25:35-41).

Aturan di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya, Allah tidak menghendaki perbudakan. Orang Israel harus memiliki kasih, terutama kepada sesama orang Israel. Mereka harus berusaha menebus saudara atau kerabat dekat yang menjual dirinya sebagai budak orang asing karena jatuh miskin. Prioritas membantu saudara atau kerabat dekat ini kemudian berkembang menjadi prioritas membantu saudara seiman pada masa Perjanjian Baru (Galatia 6:10). Walaupun situasi pada zaman ini sudah sangat berbeda dengan situasi pada zaman Alkitab, orang Kristen perlu memikul tanggung jawab sosial. Orang Kristen yang kaya perlu membantu saudara seiman yang miskin. Di Indonesia, komunitas orang Kristen di kantong-kantong kemiskinan perlu menjadi perhatian orang Kristen yang lebih kaya. Apakah gereja Anda telah memiliki kepedulian terhadap saudara seiman yang miskin? [GI Purnama]

Kearifan Allah

Imamat 25:1-28

Aturan Tahun Sabat (setiap tahun ketujuh, tanah tidak boleh ditanami, 25:3-4) dan Tahun Yobel (setiap tahun kelima puluh, tanah yang dibeli harus dikembalikan kepada pemilik semula, 25:28) adalah aturan yang menunjukkan adanya kearifan (kebijaksanaan) yang luar biasa. Aturan Tahun Sabat menjaga kesuburan tanah, sedangkan aturan Ta-hun Yobel membuat bangsa Israel memiliki pengharapan untuk terbebas dari kemiskinan tanpa batas. Eksploitasi (pemanfaatan) tanah yang tan-pa batas membuat banyak tanah di daerah yang semula subur menjadi tandus atau setidaknya berkurang kesuburannya. Hal ini terlihat jelas bila (misalnya) kita membandingkan kesuburan tanah di Pulau Jawa yang tanahnya dieksploitasi (dimanfaatkan) habis-habisan dengan kesuburan tanah di Pulau Papua yang tanahnya belum dimanfaatkan. Bila aturan Tahun Yobel diterapkan secara ketat, orang miskin (yang sudah menjual tanahnya) memiliki pengharapan untuk kembali memiliki tanah, dan hal itu berarti juga memiliki pengharapan untuk tidak terus miskin. Banding-kanlah kondisi ini dengan kondisi rakyat di banyak daerah di Indonesia yang sebagian besar tidak memiliki tanah, tetapi ada sebagian kecil tuan tanah yang memiliki tanah ratusan—bahkan ribuan—hektar. Bila umat Tuhan menaati aturan Tahun Yobel, keadilan sosial bukan lagi sekadar slogan, melainkan pasti akan terwujud.

Aturan Tahun Sabat mengingatkan umat Allah untuk memperhati-kan kondisi lingkungan hidup. Kita bekerja bukan hanya sekadar mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, melainkan kita harus tetap memperhatikan kepentingan lingkungan hidup kita. Anak-anak Allah yang taat bukan hanya memikirkan pembangunan pabrik yang akan mendatangkan kekayaan besar, melainkan juga memikirkan peng-olahan limbah, sehingga keuntungan yang diperoleh tidak merugikan masyarakat. Aturan Tahun Yobel mengingatkan umat Allah untuk meng-hargai kemanusiaan. Kita tidak boleh mengeksploitasi (memanfaatkan) tenaga orang lain tanpa memikirkan masa depan mereka yang bekerja untuk kita. Seharusnya kita merasa bahagia bila orang-orang yang telah bekerja untuk kepentingan kita bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Para majikan seharusnya ikut memikirkan masa depan dari para karyawannya, bukan hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri saja. [GI Purnama]

Menjaga agar Terang Tetap Menyala

Imamat 24

Secara umum, hukum-hukum dalam Perjanjian Lama menyangkut dua hal, yaitu menyangkut upacara keagamaan (yang bersifat simbolik)dan menyangkut moral (praktik hidup). Dalam Imamat 24, TUHAN memerintahkan agar Harun—sang imam besar—menjaga agar lampu-lampu di depan tabir yang memisahkan ruang kudus dan ruang maha-kudus selalu menyala (24:1-4), sedangkan umat Israel (suku di luar suku Lewi) bertanggung jawab untuk menyediakan minyak zaitun tumbuk yang diperlukan. Lampu-lampu itu mengingatkan kita bahwa Tuhan Yesus adalah Terang Dunia (Yohanes 8:12) yang selalu menerangi kehidupan kita melalui firman-Nya, sehingga kita dapat memantulkan Terang itu dan kita pun juga menjadi terang yang menerangi dunia ini (Matius 5:14). Supaya bisa tetap menerangi dunia, kita harus selalu terhubung dengan Terang yang sesungguhnya (Yohanes 1:9). Perhatikan bahwa tugas menjaga agar lampu-lampu di depan tabir pemisah di Kemah Suci tetap menyala adalah tugas bersama antara umat (yang menyediakan minyak) dan imam atau imam besar yang mengawasi dan memastikan bahwa lampu-lampu itu tetap menyala.

Pada masa kini, setiap orang percaya bisa menjaga agar Terang Yesus Kristus tetap menyala melalui kehidupan yang sesuai dengan firman Tuhan. Kisah seorang laki-laki yang dihukum mati karena “menghujat nama TUHAN” (Imamat 24:10-16) merupakan peringatan bagi keluarga Kristen dalam mendidik anak. Dicantumkannya keterang-an bahwa ayah dari laki-laki yang menghujat nama TUHAN itu adalah seorang Mesir (24:10) memberi petunjuk bahwa menikah dengan seorang yang berasal dari luar umat TUHAN mengandung risiko besar! Zaman Musa adalah masa awal pemberian hukum Taurat. Penerapan hukuman secara tegas diperlukan supaya umat Allah tidak gampang melakukan pelanggaran terhadap hukum Allah. Aturan “patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi” (24:20) tidak boleh dipandang sebagai hukum yang kejam, melainkan sebagai pembatasan terhadap tindakan kejam yang berlebihan yang umum dilakukan pada masa itu. Pada masa kini, keberadaan orang percaya sebagai terang dunia akan terwujud bila kita sungguh-sungguh menerapkan kasih kepada Tuhan dan kasih terhadap sesama. Apakah Anda selalu berjaga-jaga agar bisa terus-menerus memancarkan terang kepada dunia ini? [GI Purnama]

Hari-hari Raya

Imamat 23

Bacaan Alkitab hari ini mendaftarkan hari-hari terpenting bagi orang Yahudi, yaitu sabat dan hari-hari raya tahunan yang terdiri dari hari raya Paskah dan hari raya Roti Tidak Beragi (23:5-8), hari raya Tujuh Minggu atau hari raya Pentakosta (23:15-22), serta hari-hari raya yang dilakukan pada bulan ketujuh, yaitu hari peniupan serunai pada tanggal satu (23:24-25), hari Pendamaian pada tanggal sepuluh (23:27-32), dan hari raya Pondok Daun pada hari kelima belas (23:34-43).

Perayaan Sabat berkaitan dengan keterbatasan manusia yang memerlukan waktu untuk beristirahat, bersosialisasi (bersekutu dengan sesama umat Allah), dan menyembah Allah. Orang yang bekerja tujuh hari seminggu tanpa beristirahat akan kelelahan. Tanpa relasi dengan orang lain dan tanpa relasi dengan Tuhan, seseorang akan menjadi tidak normal (aneh). Fisik, emosi, dan kerohanian kita akan lebih normal bila kita menyediakan waktu khusus untuk beristirahat dan menjalin relasi (dengan sesama dan dengan Tuhan). Saat ini, orang Kristen pada umum-nya beristirahat, bersosialisasi, dan beribadah pada hari Minggu (bukan hari Sabat) karena hari Minggu berkaitan dengan peristiwa yang amat penting bagi orang Kristen, yaitu hari kebangkitan Tuhan Yesus.

Hari raya Paskah Yahudi (peringatan keluarnya bangsa Israel dari Tanah Mesir) dan hari raya Pondok Daun (peringatan perjalanan bangsa Israel menuju ke Tanah Kanaan) tidak relevan bagi orang non-Yahudi. Gereja memaknai hari raya Paskah dengan makna baru, yaitu hari peringatan kebangkitan Kristus. Hari Pendamaian yang diulang setiap tahun sudah tidak diperlukan karena kematian Kristus di kayu salib yang hanya sekali (dan tidak perlu diulang) telah mendamaikan orang yang percaya kepada Kristus dengan Allah. Hari raya Pentakosta—hari raya pengucapan syukur atas datangnya masa panen—hanya cocok untuk masyarakat agraris. Oleh karena itu, hari raya ini diberi makna baru, yaitu hari kedatangan Roh Kudus yang terjadi tepat pada hari raya Pentakosta orang Yahudi. Sebagian gereja mengganti masa pengucapan syukur atas datangnya musim panen dengan membawa persembahan syukur bulanan karena masyarakat masa kini umumnya mendapatkan gaji bulanan. Dengan demikian, pemaknaan hari raya orang Yahudi diberi isi baru dalam kekristenan. Apakah Anda telah mendisiplin diri untuk setia beribadah dan mengikuti perayaan-perayaan gerejawi? [GI Purnama]

Memuliakan Tuhan dengan Persembahan

Imamat 22

Memberi persembahan berbeda dengan berbuat amal (melakukan kebaikan dengan tujuan agar mendapat balasan atau berkat dari Tuhan). Saat berbuat amal, kita melakukan kebaikan (sesuatu yang menguntungkan) terhadap orang yang menerima amal (objek amal). Akan tetapi, saat kita memberi persembahan kepada Tuhan, Tuhan tidak mendapat keuntungan apa pun. Memberi persembahan adalah res-pons terhadap kebaikan Tuhan. Saat memberi persembahan, seharusnya kita merasa bersyukur, bukan merasa berjasa kepada Tuhan. Memberi persembahan tidak sepatutnya disertai rasa bangga atau rasa superior (merasa diri tinggi atau terhormat) melainkan harus disertai kerendah-hatian. Itulah sebabnya, dalam bacaan Alkitab hari ini, jelas bahwa Allah menetapkan syarat kepada orang yang hendak memberi persembahan, yaitu bahwa orang itu harus tidak sedang berada dalam keadaan najis (kotor, tidak memenuhi syarat untuk mengikuti suatu upacara keagama-an). Orang yang najis harus membersihkan dirinya dan menunggu sam-pai dirinya menjadi tahir (bersih, layak mengikuti upacara keagamaan), Para imam yang menyelenggarakan upacara pengorbanan dan keluarga imam yang berhak mendapat bagian dari korban persembahan pun dikenakan persyaratan kekudusan sebelum diizinkan memakan bagian persembahan yang diperuntukkan bagi mereka.

Semua penjelasan di atas menunjukkan bahwa mempersembah-kan korban itu tidak boleh dilakukan dengan seenaknya. Binatang yang dipakai sebagai korban persembahan pun harus yang dalam kondisi sempurna (tidak bercacat). Mempersembahkan korban cacat merupa-kan penghinaan kepada Tuhan. Tuhan tidak berkenan kepada korban persembahan yang cacat. Karena Tuhan Yesus sudah mengorbankan diri-Nya sendiri sebagai korban yang sempurna (tanpa cacat), sekarang sudah tidak perlu lagi diadakan persembahan korban. Sekalipun demiki-an, kita masih bisa mempersembahkan uang, pikiran, dan tenaga kita untuk kepentingan pekerjaan Tuhan melalui gereja-Nya. Apakah Anda sudah berusaha memberikan yang terbaik bagi Tuhan? Bila Anda adalah seorang yang sibuk, apakah Anda merasa bahwa sudah cukup bila Anda mempersembahkan uang, pikiran, dan tenaga sisa (seadanya) kepada Tuhan? Bila Anda sudah sering terlibat dalam pelayanan, apakah Anda selalu berusaha melayani sebaik mungkin agar Tuhan dimuliakan? [GI Purnama]