Gema

Pahami Batas-batas Kehidupan!

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 22:18-20

Ada beberapa hal yang secara jelas dibenci TUHAN, antara lain adalah relasi dengan roh jahat atau sembahan selain TUHAN serta cara hidup yang menyimpang dari kewajaran. Dalam bacaan Alkitab hari ini, Allah secara tegas melarang praktik sihir (mengandalkan kuasa roh yang bukan kuasa TUHAN), berhubungan seks dengan binatang, dan mempersembahkan korban kepada ilah lain. Kita harus merasa puas dengan kehidupan yang wajar. Jangan berusaha mengerti hal-hal yang mistik (gaib, tidak nampak oleh mata). Waktu kita berusaha memiliki kuasa yang di luar kewajaran, kita bisa terjerumus menjadi orang yang mengabaikan kuasa Allah. Walaupun dalam kehidupan ini terdapat kuasa-kuasa gaib yang nampak menakjubkan, kita harus memilih untuk tetap bersandar kepada Allah dan melawan godaan untuk mencari kuasa di luar Allah. Karena Allah sudah menetapkan bahwa hubungan seks manusia itu harus antara pria dan wanita, maka hubungan seks dengan binatang dan hubungan seks sesama jenis merupakan hubungan seks yang tidak wajar dan terlarang. Manusia boleh bereksperimen dan berinovasi, tetapi eksperimen dan inovasi itu memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila manusia melangkah terlalu jauh sehingga meninggalkan ketetapan Allah, hukuman pasti akan muncul. Dosa yang dilakukan secara sengaja akan membuat manusia harus berhadapan dengan hukuman Allah!

Dalam Perjanjian Baru, terdapat kisah dua orang yang hendak menipu Allah dalam hal persembahan, yaitu Ananias dan Safira. Mereka ingin menjadi orang yang terkenal. Oleh karena itu, mereka menjual tanah yang mereka miliki, lalu menyerahkan sebagian hasil penjualan tanah kepada Rasul Petrus dengan mengakui sebagian hasil penjualan itu sebagai seluruh hasil penjualan tanah. Dengan demikian mereka meremehkan Allah (mencobai Allah) karena mereka mengira bahwa Allah tidak memahami tipu daya mereka. Kita pun harus waspada agar kita tidak meremehkan kemahakuasaan Allah atau kemahatahuan Allah. Walaupun Allah tidak selalu langsung menjatuhkan hukuman saat kita berbuat dosa, kita harus waspada agar kita tidak mencobai Allah! Kita harus menjauhi semua dosa yang sudah jelas akan menyakiti hati Allah. Apakah Anda sudah berusaha memahami batas-batas yang boleh/tidak boleh dilakukan dalam kehidupan Anda? [GI Purnama]

Menghargai Kepentingan Orang Lain

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 22:1-17

Sejak Allah menciptakan manusia, Allah telah menginginkan agar setiap orang memperhatikan kepentingan orang lain. Perhatikan bahwa saat Allah hendak membentuk Hawa dari tulang rusuk Adam, maksud Allah adalah agar Hawa menjadi penolong bagi Adam (Kejadian 2:18). Saat Kain membunuh Habel, adiknya sendiri, Allah meminta pertanggungjawaban Kain karena Kain memang memiliki kewajiban untuk berbuat baik terhadap Habel (Kejadian 4:7-10). Dalam firman TUHAN yang kita baca hari ini pun, jelas bahwa Allah ingin agar menusia memperhatikan kepentingan sesamanya. Allah menetapkan bahwa pencuri ternak yang tertangkap harus memberikan ganti rugi yang besarnya bervariasi, tergantung dari apakah ternak itu sudah tidak ada (dipotong atau dijual) atau masih ada. Bila pencuri itu tidak sanggup mengganti, dia harus dijual sebagai budak untuk pembayaran ganti rugi (Keluaran 22:1-4). Ganti rugi juga diharuskan bagi orang yang ternaknya dibiarkan memakan hasil ladang orang lain (22:5). Berbagai kasus lain yang dibicarakan dalam bacaan Alkitab hari ini pada dasarnya mengharuskan setiap orang untuk memperhatikan kepentingan orang lain, bukan kepentingan (keinginan) diri sendiri saja.

Pada dasarnya, prinsip hidup mementingkan diri sendiri yang lazim pada zaman ini bertentangan dengan kehendak Allah. Berbuat baik adalah kewajiban, bukan pilihan. Bila berbuat baik dianggap sebagai pilihan, maka berbuat baik boleh dilakukan, tetapi boleh juga tidak dilakukan. Dalam Perjanjian Baru, penulis Surat Yakobus berkata, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” (Yakobus 4:17). Jelas bahwa orang beriman harus berbuat baik karena tidak berbuat baik merupakan dosa. Ada orang yang berpikir bahwa menghindari interaksi dengan sesama manusia akan menghindarkan kita dari perbuatan dosa. Pandangan semacam ini salah! Kita hanya bisa terhindar dari dosa bila kita secara aktif melakukan kebaikan. Kehidupan yang sekadar berusaha menghindari perbuatan jahat terhadap orang lain merupakan kehidupan dengan standar kebaikan yang rendah! Karena Kristus sudah mati untuk kita saat kita masih berdosa (Roma 5:8), maka kita harus membalas kebaikan Kristus kepada kita dengan secara aktif berbuat kebaikan. Marilah kita memulai kebaikan dengan menghargai kepentingan orang lain! [GI Purnama]

Penghargaan Terhadap Martabat Manusia

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 21

Keluaran 21 mencatat berbagai peraturan untuk umat Israel. Bagi kita, beberapa peraturan terasa janggal—misalnya peraturan tentang masalah budak (21:1-11)—karena saat ini sudah tidak ada lagi perbudakan. Pertama-tama, sadarilah bahwa adanya peraturan tentang perbudakan tidak berarti bahwa Allah mendukung perbudakan. Sadari juga bahwa peraturan tentang perbudakan itu disampaikan dalam konteks masyarakat kuno, saat perbudakan merupakan kelaziman. Allah memahami kelemahan dan keterbatasan manusia yang telah tercemar oleh dosa, sehingga Ia memberikan peraturan tentang perbudakan dengan maksud agar praktik perbudakan dilaksanakan dengan lebih menghargai martabat manusiawi para budak. Allah mengingatkan umat Israel di zaman Musa bahwa mereka adalah mantan budak di Mesir, dan bahwa Allah telah menebus mereka (Ulangan 15:15). Seharusnya, prinsip yang melandasi sikap bangsa Israel terhadap para budak adalah kasih, yaitu “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18).

Meskipun sudah tidak ada sistem perbudakan dalam perekonomian saat ini, relasi tuan-hamba, atasan-bawahan, dan pemilik usaha-karyawan tetap ada. Perilaku tidak adil, tekanan, bahkan kekerasan, masih bisa dialami oleh hamba, bawahan, dan karyawan. Bentuk ketidakadilan itu misalnya berupa: 1) Pembagian bonus atau tunjangan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik dari sisi nominal maupun sisi waktu pembagian; 2) Fasilitas dan lingkungan kerja yang mengabaikan kepentingan bawahan (seperti tidak tersedianya makanan dan minuman sehat, cahaya, serta ventilasi yang memadai); 3) Kata-kata kasar dari atasan terhadap pegawai; serta 4) Perilaku tidak manusiawi seperti tuntutan jam kerja yang melewati batas kewajaran.

Tindakan berdasarkan kasih dan penghargaan terhadap martabat manusiawi seharusnya dapat dipraktikkan saat ini. Perjanjian Baru memberi beberapa petunjuk: 1) Allah yang menciptakan para tuan sama dengan Allah para hamba. Pribadi Sang Khalik yang sama wajib disembah dan ditakuti, baik oleh majikan maupun bawahan, sebab Allah tidak pernah memandang muka (Efesus 6:9). 2) Setiap orang wajib melakukan segala sesuatu yang baik dalam hidupnya (Efesus 6:8, 5:2). 3) Segala tindakan harus dilakukan seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia (Efesus 6:7, Kolose 3:23). 4) Tuhan Yesus bersabda, “Kasihilah seorang akan yang lain,” (Yohanes 15:17). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Kekudusan Pikiran dan Hati (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:17 (Hukum Kesepuluh)

Dari zaman dahulu hingga saat ini, setiap manusia dikatakan bersalah apabila tindakan atau perkataannya didapati melanggar hukum yang berlaku. Misalnya, seseorang divonis bersalah sebagai pencuri apabila ia memang secara faktual terbukti melakukan tindakan mencuri benda yang menjadi hak milik orang lain. Seseorang dinyatakan telah melakukan perzinahan ketika dirinya terbukti melakukan hubungan badan dengan seseorang yang bukan pasangannya yang sah dalam pernikahan. Hukum kesepuluh merupakan teroboson bagi zaman itu, bahkan masih merupakan terobosan sampai sekarang, karena hukum kesepuluh ini bukan hanya mengatur apa yang dapat dilihat, tetapi juga mengatur apa yang ada di dalam pikiran dan hati. Standar Sepuluh Hukum dari Allah lebih tinggi daripada standar moral lain yang ada dalam dunia, karena Allah dapat menyelidiki dan menilai hati setiap orang, sampai bagian yang terdalam (1 Samuel 16:7).

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, manusia memang hanya bisa mengkaji dan menilai perilaku serta perkataan yang teramati oleh panca indera. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk menyelidiki dan melakukan verifikasi terhadap apa saja yang berada dalam batin seseorang. Hukum maupun konsekuensi sosial hanya bisa berperan terhadap tindakan yang nyata dan ucapan yang terdengar. Oleh karena itu, manusia masih bisa melakukan, mengatakan, mengekspresikan, dan menuliskan segala sesuatu yang sebetulnya berbeda dengan sistem nilai dalam dirinya, pikirannya, asumsinya, serta keyakinannya. Melalui teguran Kristus kepada para pemimpin Yahudi, kita mengetahui bahwa Kristus mencela dengan keras sikap orang-orang yang mementingkan perilaku luar yang positif, namun menyembunyikan banyak hal yang tidak benar dalam hati dan pikiran (Matius 23:25-28). Allah menghendaki kebenaran yang utuh dari umat-Nya. Allah menuntut integritas (kesatuan pikiran, hati, perkataan, dan tindakan).

Setiap pengikut Kristus hendaknya menjaga hati dengan kewaspadaan yang tinggi (Amsal 4:23). Firman Tuhan menyerukan agar kita mengusahakan supaya pikiran kita sepenuhnya tunduk kepada firman Tuhan (2 Korintus 10:5). Kiranya Allah menolong agar hati kita menjadi kudus, sehingga kita bisa berpikir secara benar (Mazmur 51:12). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Jangan Berdusta (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:16 (Hukum Kesembilan)

Dalam konteks asli dari hukum kesembilan ini, Allah menghendaki agar orang tidak berdusta dalam konteks bersaksi di persidangan. Persidangan semestinya menegakkan keadilan, sehingga setiap pribadi yang bersaksi di dalamnya harus mengatakan yang benar, seperti dicatat di dalam Amsal 12:17, “Siapa mengatakan kebenaran, menyatakan apa yang adil.” Namun, hingga saat ini, masih ada orang yang mengatakan hal-hal yang tidak jujur dalam suatu sidang peradilan. Ia yang bersaksi dusta dalam persidangan hendaklah memperhatikan firman Tuhan yang berkata, “Tipu daya ada di dalam hati orang yang merencanakan kejahatan” (Amsal 12:20). Baik disadari maupun tidak, orang tersebut telah terlibat dalam upaya yang dinilai merencanakan kejahatan, sehingga perbuatan menjadi saksi dusta ini merupakan kekejian bagi Tuhan Allah (Amsal 12:22).

Selain di dalam konteks persidangan, hukum kesembilan ini juga mengatur perkataan seseorang kepada sesamanya dalam interaksi antarpribadi setiap hari. Allah adalah sumber kebenaran dan Allah tidak mungkin berdusta (Bilangan 23:19). Standar yang Allah kehendaki untuk terjadi dalam kehidupan kita adalah kesempurnaan, sama seperti Bapa di sorga adalah sempurna (Matius 5:48). Dengan demikian, seharusnya yang menjadi acuan dalam relasi kita dengan sesama adalah tidak mengatakan kebohongan sama sekali. Zakharia 8:16 menegaskan, “Berkatalah benar seorang kepada yang lain dan laksanakanlah hukum yang benar, yang mendatangkan damai di pintu-pintu gerbangmu.” Jadi, mengatakan kebenaran akan mewujudkan damai sejahtera di dalam hidup ini. Sebaliknya, sadarilah bahwa mendustai sesama adalah tindakan yang dibenci Allah (Zakharia 8:17).

Dalam hidup ini, ada beragam tuntutan terhadap kejujuran dalam bertutur kata maupun dalam bersikap. Misalnya, di setiap persidangan, kita tentu diminta untuk bersaksi secara benar. Saat membuat tulisan ilmiah dalam konteks pendidikan, jelas bahwa kita dilarang membuat karya yang tidak memenuhi kaidah kejujuran dalam penulisan. Namun, dalam interaksi sosial setiap hari, walaupun berbohong adalah salah secara etis, kebohongan belum tentu mendatangkan sanksi sosial yang besar. Sekalipun demikian, ingatlah bahwa dusta itu kekejian di mata Allah dan dusta dibenci oleh Allah. [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Jangan Mencuri (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:15 (Hukum Kedelapan)

Hukum kedelapan mengatur bagaimana manusia harus bersikap terhadap sesamanya dalam kaitan dengan hak kepemilikian di dalam hidup ini. Allah mengizinkan manusia untuk memiliki barang-barang dalam hidupnya, namun kita harus menyadari bahwa alam semesta beserta seluruh isinya adalah milik Allah (Mazmur 24:1). Sesungguhnya, manusia adalah pihak yang dipercaya oleh Allah untuk mengelola kepunyaan-Nya, dengan tujuan akhir agar nama-Nya semakin dimuliakan (Kejadian 1:28, Yesaya 43:7).

Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, natur manusia yang telah tercemar oleh dosa membuat manusia kehilangan kepedulian dan lebih memikirkan kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, Rasul Paulus mengingatkan agar kita lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri (Filipi 2:1-11). Manusia yang tercemar oleh dosa juga dapat merasa iri kepada sesamanya (Yakobus 3:14). Dorongan untuk mementingkan kepuasan diri sendiri serta perasaan iri membuat manusia akhirnya mencuri hak milik orang lain (Amsal 6:30, Keluaran 22:1-4). Dalam penilaian Allah, mencuri itu salah karena Allah telah menetapkan bagian yang dimiliki dan boleh dikelola oleh seseorang. Mencuri adalah dosa karena tindakan itu tidak mencerminkan kasih kepada orang lain. Setiap pencuri harus menyadari firman Tuhan yang dengan keras berkata, “Pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah” (1 Korintus 6:10). Rasul Paulus meminta agar seorang mantan pencuri tidak lagi mengulangi perbuatan yang tidak terpuji itu, namun bekerja keras supaya dapat membantu orang lain yang berkekurangan (Efesus 4:28).

Saya percaya bahwa para pembaca Gema bukanlah pencuri harta benda yang dimiliki orang lain. Akan tetapi, kita perlu mewaspadai kemungkinan mencuri hal-hal yang bersifat non-materi, misalnya mencuri waktu (menggunakan jam kerja untuk melakukan aktivitas lain yang tidak terkait dengan pekerjaan, padahal sebenarnya ada tugas yang harus dikerjakan pada waktu yang sama) atau menggunakan fasilitas kantor (atau fasilitas organisasi) yang seharusnya tidak boleh dipakai untuk kepentingan diri sendiri. Waspadalah dan jadilah orang yang berintegritas dalam setiap aspek kehidupan Anda. [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Jangan Berzinah (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:14 (Hukum Ketujuh)

Kepada pria dan wanita yang telah diteguhkan dan diberkati ke dalam pernikahan, Allah memberikan berkat berupa hubungan badan. Melalui hubungan badan yang hanya diizinkan untuk dialami dalam pernikahan, relasi antara suami dan istri dapat dipupuk menjadi lebih erat serta lebih hangat. Hubungan intim antara suami dan istri juga merupakan sarana yang digunakan Allah untuk menciptakan anak-anak (Mazmur 139:13). Jadi, dalam pernikahan, Allah memberi kepercayaan besar kepada pria dan wanita. Dengan demikian, wajar bila berbagai macam hubungan seksual di antara pria dan wanita di luar pernikahan yang telah diteguhkan serta diberkati oleh Tuhan (perzinahan) merupakan dosa yang serius (Imamat 20:10-14, 17, 19-21). Selain perzinahan antar manusia, Alkitab juga menyebut hubungan seksual yang tidak wajar antara manusia dengan binatang sebagai perzinahan (Imamat 20:15-16). Perzinahan dibenci oleh Allah! Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan Allah (atau dikenal dengan istilah teokrasi) terhadap umat Israel dalam Perjanjian Lama, pelaku perzinahan diancam dengan hukuman yang berat (Imamat 20:10-21).

Allah yang maha kuasa mendirikan lembaga keluarga dengan maksud agar suami dan istri dapat saling membangun (Amsal 27:17). Bila Allah menganugerahkan anak dalam sebuah keluarga, maka keluarga yang utuh merupakan arena terbaik bagi orang tua untuk melaksanakan tugas memuridkan anak (Ulangan 6:4-9). Perzinahan akan merusak relasi suami istri dan akan menghalangi tujuan Allah bagi sebuah keluarga. Dosa perzinahan akan membangkitkan kemarahan pasangan si pelaku zinah serta berdampak buruk pada diri anak berupa munculnya kemarahan, kecemasan, perasaan takut, perasaan tidak percaya terhadap lembaga keluarga, bahkan bisa memunculkan keraguan terhadap kebaikan Tuhan. Bila kita mencintai anak, jangan berzinah!

Dalam Perjanjian Baru, Kristus memperluas pengertian kita tentang perzinahan, yaitu bahwa perzinahan bukan hanya tindakan secara fisik, melainkan bisa dilakukan di dalam batin atau dalam pikiran tanpa seorang pun tahu (Matius 5:27-28). Dosa perzinahan dalam pikiran ini juga dibenci Tuhan. Oleh sebab itu, kita bukan hanya harus menghindari perzinahan secara fisik, melainkan juga harus melepaskan diri dari ikatan pornografi dan masturbasi atau onani. [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Jangan Membunuh (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:13 (Hukum Keenam)

Pada waktu menciptakan manusia, Allah berkata, “Baikah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,” (Kejadian 1:26). Saat itu, ada diskusi di antara ketiga Pribadi Allah, tidak seperti saat Allah menjadikan ciptaan lainnya. Hal ini mengungkapkan bahwa manusia ialah makhluk yang istimewa dalam pandangan Allah. Alkitab mengungkapkan bahwa terjadinya manusia itu dahsyat dan ajaib, karena Allah yang menenun setiap orang (Mazmur 139:13, 14). Jadi, bukan hanya manusia pertama—Adam dan Hawa—saja yang diciptakan melalui kuasa serta karya Allah yang kreatif, tetapi semua manusia diciptakan oleh Allah itu sendiri. Sangatlah pantas bila dikatakan bahwa manusia adalah mahakarya dari Allah. Manusia—mahakarya Allah itu—disebut berharga dan mulia dalam pandangan Allah (Yesaya 43:4). Keberadaan manusia yang seperti itu membuat Allah melarang pembunuhan terhadap sesama manusia. Allah sangat membenci pembunuhan. Oleh karena itu, bila terjadi pembunuhan, Allah akan mengadili dan menghukum si pelaku (Kejadian 9:5, 6). Hukuman Allah yang paling mengerikan bukan yang ditujukan kepada tubuh jasmaniah, tetapi hukuman terhadap roh (Matius 10:28). Hukum keenam ini harus kita perhatikan: “Jangan membunuh!”

Banyak orang merasa bahwa dirinya telah memenuhi tuntutan Sepuluh Hukum Allah seperti orang kaya yang menemui Tuhan Yesus (Matius 19:16-20, Markus 10:17-20). Akan tetapi, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa mengucapkan makian atau perkataan kasar, mengungkapkan amarah secara berlebihan, dan mendendam terhadap orang lain berada di level yang sama dengan membunuh sesama manusia (Matius 5;21-26). Tuhan Yesus datang untuk menggenapi hukum Taurat (Matius 5:17). Selain itu, Dia memberikan penafsiran yang memperkaya pengertian kita akan hukum-hukum Allah. Berdasarkan penilaian manusiawi, tindakan membunuh dipandang lebih bersalah dan lebih jahat daripada makian, umpatan, perkataan sarkastis, serta kebencian dalam hati., padahal standar firman Tuhan jauh lebih tinggi daripada penilaian moral dan etis manusiawi. Tuhan tidak hanya menilai tindakan, perkataan, ekspresi emosi yang dapat dilihat orang lain, melainkan Dia menyelidiki apa yang ada dalam hati kita yang terdalam (1 Samuel 16:7). Perhatikanlah dengan saksama tindakan dan isi batin kita. Patuhilah hukum-hukum-Nya! [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Hormat Kepada Orang Tua (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:12 (Hukum Kelima)

Keluarga adalah lembaga pertama yang Allah dirikan saat Dia menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya (Kejadian 1:26-28, 2:24). Melalui relasi antara ayah dan ibu dalam keluarga, lahirlah anak-anak yang semestinya dididik oleh orang tua untuk semakin mengenal Allah (Kejadian 1:28, 18:19, Ulangan 6:4-9). Dalam rencana dan kehendak Allah, kedudukan orang tua lebih tinggi daripada anak, sehingga anak menghormati orang tua (20:12). Perintah tersebut harus dilakukan untuk menjaga tatanan dalam keluarga seperti yang dikehendaki Allah.

Pada masa kini, ada anak yang menaruh hormat dengan semestinya, tetapi ada pula anak yang tidak peduli—bahkan bersikap buruk—terhadap orang tua yang sudah membesarkan mereka. Tak dapat disangkal bahwa banyak orang tua yang telah gagal dalam mengasuh dan mendidik anak yang telah dipercayakan kepada mereka. Ada orang tua yang membuat anaknya menyimpan kemarahan (Efesus 6:4), merasa sakit hati, takut, atau sangat gelisah (Kolose 3:21). Sikap orang tua yang seperti itu membuat anak sulit melakukan hukum kelima ini. Jelaslah bahwa ada keadaan saling mempengaruhi antara orang tua dengan anak. Anak yang tidak menyimpan rasa marah dan sakit hati terhadap orang tua akan lebih mampu menghormati serta mematuhi orang tuanya (20:12, Efesus 6:1). Sebaliknya, orang tua yang diperlakukan dengan hormat dan ditaati oleh anaknya akan lebih mudah membesarkan dan mendidik anak sesuai dengan firman Tuhan.

Kondisi saling mempengaruhi di antara para pihak dalam keluarga tersirat dalam perkataan, “Rendahkan dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus,” (Efesus 5:21). Namun, jika dinamika relasi dalam keluarga hanya ditentukan oleh keadaan saling mempengaruhi, relasi dalam keluarga itu akan bersifat kondisional: anak hormat dan taat hanya bila orang tuanya tidak membangkitkan amarah dan tidak melukai hati. Sebaliknya, orang tua hanya akan mengasuh dan mendidik anak dengan benar bila anak itu menghormati dan menaati orang tua. Dinamika relasi yang kondisional ini tidak sesuai dengan makna “di dalam Kristus” yang mendasari relasi keluarga Kristen. Kristus mengasihi kita bukan karena kita mampu mematuhi firman-Nya. Kasih Kristus tidak kondisional! Walaupun orang tua telah melukai hati dan menimbulkan kemarahan, marilah kita tetap bersikap menghormati dan menaati mereka di dalam takut akan Kristus (Efesus 5:21). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]

Kuduskan Hari Sabat (10 Hukum Allah)

Bacaan Alkitab hari ini:
Keluaran 20:8-11 (Hukum Keempat)

Hukum keempat yang memerintahkan umat Allah untuk menguduskan hari Sabat didasarkan pada tindakan Allah sendiri yang memberkati dan menguduskan hari Sabat (20:11). Melalui teks kitab suci yang melandasi perenungan hari ini, kita mengetahui bahwa pola kerja Allah dalam penciptaan alam semesta dan seluruh isinya (Kejadian 1) adalah pola yang harus kita tiru. Alkitab mengungkapkan bahwa Allah menciptakan alam semesta dan seluruh isinya dalam enam hari, kemudian Allah berhenti mencipta di hari yang ketujuh (20:11). Berdasarkan pola tersebut di atas, manusia diharuskan bekerja selama enam hari, dan di hari yang ketujuh berhenti dari segala aktivitas pekerjaan, profesi, maupun rutinitas yang biasa dilakukan pada hari pertama hingga keenam (20:9-10). Manusia harus mengkhususkan hari ketujuh untuk beribadah kepada Allah, sebab Allah telah menetapkan hari ketujuh sebagai hari yang kudus dan mulia (Yesaya 58:13). Apabila manusia menyembah Allah pada hari itu, sesungguhnya manusia akan mendapatkan kepuasan yang sejati (Yesaya 58:13). Hari yang ketujuh adalah hari bagi manusia untuk memupuk kerohaniannya dan mendapatkan kesegaran serta kekuatan baru untuk menghadapi hari-hari selanjutnya, seperti yang Allah sendiri katakan, “maka engkau akan bersenang-senang karena TUHAN dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan kemenangan; Aku akan memberi makan engkau ....” (Yesaya 58:14).

Bagi orang Kristen, hukum keempat ini harus diingat dan dilakukan. Kristus berkata bahwa kita harus menuruti segala perintah-Nya (Yohanes 14:15). Kristus juga menegaskan bahwa Dia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, tetapi untuk menggenapinya (Matius 5:17). Oleh sebab itu, siapa saja yang meniadakan salah satu dari hukum Taurat akan dihukum oleh Allah (Matius 5:19). Pola dari hukum keempat itu adalah enam hari kerja dan satu hari istirahat yang dikhususkan untuk Allah (Keluaran 31:14-15). Dalam Perjanjian Baru, konsep hari Sabat (hari terakhir setiap minggu) sebagai waktu yang dikhususkan untuk beristirahat dan beribadah itu diganti menjadi hari Minggu (hari pertama) sebagai hari untuk beristirahat (dari pekerjaan rutin) dan untuk memupuk relasi yang dekat dengan Allah. Bagi rohaniwan Kristen, hari Minggu merupakan hari untuk melayani jemaat. Oleh karena itu, pada umumnya, rohaniwan Kristen beristirahat pada hari Senin (hari kedua). [Pdt. Emanuel Cahyanto Wibisono]