Jangan Meremehkan kekudusan

2 Samuel 6

Allah itu kudus dan Ia menghendaki agar umat-Nya hidup dalam kekudusan. Sayangnya, banyak orang Kristen yang mengabaikan kekudusan Allah dan melayani Dia tanpa kepekaan terhadap kehendak-Nya yang kudus. Setelah Raja Daud memindahkan ibukota Kerajaan Israel ke Yerusalem, ia berniat mengangkut tabut Allah ke Yerusalem. Rencana pemindahan Tabut Allah dari rumah Abinadab ke Yerusalem merupakan langkah pertama untuk mewujudkan kerinduan Raja Daud membangun Bait Suci di Yerusalem (Lihat 2 Samuel 7). Untuk mempersi-apkan pemindahan ini, ia mengumpulkan tiga puluh ribu orang pilihan di Israel sebagai pelaksana. Sayangnya, niat baik ini tidak disertai pema-haman tentang tata cara yang benar dalam mengangkut Tabut Allah, padahal Allah telah mengatur tata cara pemindahan yang ia kehendaki (Keluaran 25:12-15; Bilangan 4:5-6; 7:9). Meletakkan Tabut Allah di sebu-ah kereta yang ditarik oleh lembu tampaknya efektif, lebih-lebih karena perjalanan dari Kiryat-Yearim ke Yerusalem harus melewati wilayah perbukitan. Akan tetapi, cara mengangkut Tabut seperti itu tidak sesuai dengan kehendak Allah. Tragedi terjadi saat lembu-lembu penarik kereta tergelincir. Secara refleks, Uza mengulurkan tangan memegang Tabut Allah. Uza mati seketika karena menyentuh barang-barang kudus—seperti Tabut Allah—merupakan tindakan terlarang yang diancam dengan hukuman mati! (lihat Bilangan 4:15). Kisah kematian Uza membuat Daud marah! Sampai saat ini, orang yang tidak menyadari kekudusan Allah akan beranggapan bahwa tin-dakan Uza yang dilandasi niat baik itu bukanlah kesalahan fatal. Kisah kematian Uza mengingatkan bahwa kesadaran akan kekudusan Allah merupakan keyakinan yang esensial—atau mendasar—bagi setiap orang percaya. Umat Allah perlu menyadari bahwa sikap menghargai kekudusan Allah harus diungkapkan dengan cara-cara yang sesuai dengan kehendak Allah. Sadarilah bahwa ibadah kristiani bukan hanya menyangkut hal-hal yang terlihat seperti kehadiran secara fisik dalam ibadah dan tindakan memberi persembahan, tetapi ungkapan ibadah kita harus dilandasi sikap hati yang digerakkan oleh kesadaran akan kekudusan Allah. Dalam era Normal Baru saat ini, apakah Anda masih setia beribadah dengan segenap hati, walaupun kita kehilangan kebersamaan secara fisik? [FI]