Jumlah Bukan Faktor Terpenting

Ulangan 20

Hal utama yang penting untuk diingat oleh orang Israel pada waktu mereka hendak berperang adalah bahwa mereka tidak boleh merasa takut dan mereka harus memercayai Allah (20:1). Dasar kepercayaan mereka bukanlah kata-kata atau janji-janji semata, tetapi mereka harus mengingat perbuatan Allah saat menyelamatkan mereka dari tanah Mesir. Allah telah membuktikan bahwa Ia dapat diandalkan dan dapat dipercaya, sehingga orang Israel harus berperang dengan penuh keyakinan. Pada waktu mereka berperang, Allah akan menyertai mereka dan memberikan kemenangan kepada mereka (20:4). Adanya penyertaan Allah itu membuat bangsa Israel tidak boleh merasa takut terhadap musuh yang lebih kuat (musuh yang memiliki kuda, kereta, dan pasukan dalam jumlah yang lebih banyak dari mereka, 20:1).
Di mata Allah, yang menentukan adalah sikap hati, bukan jumlah orang yang pergi berperang. Ia memerintahkan setiap orang yang masih memiliki urusan yang belum selesai—mendirikan rumah, membuat kebun anggur, bertunangan—untuk pulang dan mengurus urusan pribadi lebih dulu (20:6-7). Orang yang lemah hati dan takut juga disuruh pulang agar tidak mempengaruhi orang yang hendak ikut berperang (20:8). Jumlah bukanlah penentu kemenangan. Yang penting, setiap orang yang pergi berperang harus memiliki sikap hati yang sungguh-sungguh mempercayai Allah. Di kemudian hari, Allah menerapkan ketentuan ini saat orang Israel hendak berperang melawan bangsa Midian di bawah kepemimpinan Gideon (Hakim-hakim 7). Saat itu, ada 32.000 orang yang berkumpul untuk berperang. Dalam pandangan Allah, jumlah ini terlalu banyak. Allah memulangkan 22.000 orang yang takut, dan selanjutnya memulangkan lagi 7.700 orang, sehingga yang tersisa hanya 300 orang melawan 13 ribu orang Midian. Alah memenuhi janji-nya dan memberi kemenangan kepada bangsa Israel.
Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang yang siap membajak, tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah (Lukas 9:62). Sayangnya, pada zaman ini, ada gereja yang mengejar pertam-bahan jumlah dan menomorduakan kesungguhan dan kemurnian iman. Gereja seperti itu menurunkan standar kesucian karena takut kehilangan anggota jemaat. Semestinya, kemajuan gereja tidak hanya dilihat dari sisi jumlah, tetapi juga dari sisi pertumbuhan rohani. [GI Wirawaty Yaputri]