Yesaya 52:1-12
Salah satu kata yang sangat penting dalam kitab Yesaya adalah kata “kudus”. Allah menyebut diri-Nya sebagai Yang Mahakudus (1:4; 5:19,24; 10:17,20; 12:6; 17:7; 29:19; 30:11,12,15; 31:1; 37:23; 40:25; 41:14.16,20; 43:3,14,15; 45:11; 47:4; 48:17; 49:7; 54:5; 55:5; 57:15; 60:9,14). Sebutan “Yang Mahakudus” itu berarti bahwa Allah itu terpisah dari manusia. Orang atau benda yang dikuduskan adalah orang atau benda yang dipisahkan untuk Allah. Waktu Nabi Yesaya melihat Allah, ia ketakutan karena ia merasa bahwa dirinya najis, tidak kudus (6:5). Yerusalem disebut sebagai kota yang kudus (52:1) karena di kota itulah diletakkan Tabut Perjanjian, tempat Allah Yang Mahakudus itu berdiam di atasnya. Barang yang dipakai dalam upacara ibadah di Bait Suci pun merupakan barang yang kudus yang tidak boleh sembarangan disentuh selain oleh petugas yang dikuduskan atau dikhususkan untuk melaksanakan tugas itu. Umat Israel adalah umat yang kudus (Ulangan 7:6; 14:2,21; 26:19; 28:9), artinya umat yang dipisahkan atau dikuduskan untuk Allah. Umat Israel dan Yehuda menerima hukuman Allah karena mereka tidak memenuhi standar kekudusan Allah. Dengan menyembah berhala, mereka melanggar—atau menodai—kekudusan Allah karena perbuatan itu tidak pantas dilakukan oleh umat Allah. Allah berkali-kali memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat, tetapi mereka terus-menerus terjatuh ke dalam dosa penyembahan berhala, sehingga akhirnya Allah membuang umat-Nya ke Babel untuk memurnikan iman mereka, agar selanjutnya umat Yehuda hanya menyembah Allah saja.
Tuntutan untuk hidup dalam kekudusan itu bukan hanya berlaku pada masa Perjanjian Lama, tetapi juga berlaku pada masa Perjanjian Baru (1 Petrus 1:16), dan masih berlaku sampai saat ini. Pada masa kini, dengan mengatasnamakan hak asasi manusia, hal-hal yang sebelumnya dianggap memalukan mulai dianggap wajar. Tidaklah patut bila umat Allah hidup mengikuti cara hidup dunia ini yang cenderung menjadi bebas tanpa batas. Bagi umat Allah, seharusnya Alkitab menjadi pedoman tertinggi bagi standar iman dan tingkah laku. Benar-salah seharusnya tidak ditentukan oleh pendapat mayoritas, melainkan ditentukan oleh kehendak Allah. Apakah Anda selalu berusaha menyesuaikan hidup Anda dengan ajaran Alkitab? Apakah Anda selalu mendasarkan keputusan Anda pada kehendak Allah? [P]