Hati yang Degil
Markus 6:30-56
Pernahkah Anda diam sejenak dan memikirkan perjalanan hidup yang telah Anda lalui sampai saat ini? Dalam hidup kita, berapa kali Tuhan bertindak saat kita berada dalam masa kritis, saat kita merasa tidak ada jalan keluar lagi dan kita menyerah? Walaupun kita mungkin pernah kecewa terhadap Tuhan, Tuhan tetap setia dan Ia berkenan mengangkat kita dari situasi terpuruk. Kita melihat hal itu sebagai mujizat dari Tuhan, tetapi hanya untuk kemudian melupakannya (lagi) karena kita masih merasa sanggup mengatasi masalah kehidupan yang sedang kita jalani (mirip dengan pengalaman Yakub dalam Kejadian 32-33).
Rasul-rasul telah melihat mujizat-mujizat yang dilakukan Yesus Kristus kepada orang-orang lain, bahkan mereka telah mengalaminya sendiri. Ketika perahu mereka hampir tenggelam di tengah danau yang mengamuk, Tuhan Yesus menenangkan danau itu (Markus 4:35-41). Rasul-rasul itu juga telah membuktikan sendiri bahwa kuasa ajaib Yesus Kristus bisa bekerja dalam pelayanan yang dipercayakan kepada mereka (6:30, bandingkan dengan 6:12-13). Selanjutnya, mereka menjadi saksi mata dan mengalami (lagi) mujizat Yesus Kristus memberi makan 5.000 orang laki-laki (tidak termasuk perempuan dan anak-anak) hanya dengan 5 roti dan 2 ikan. Setelah mereka makan sampai kenyang, ternyata masih tersisa roti sebanyak 12 bakul penuh (6:35-44). Peristiwa itu pasti menjadi ketakjuban tersendiri bagi para rasul dan normal-normal saja jika mereka terus membahasnya. Siapakah Yesus Kristus ini? Kok bisa Dia melakukannya? Pertanyaan-pertanyaan ini wajar. Sayang-nya, berbagai peristiwa itu seperti hilang tidak berbekas dalam hidup mereka saat menghadapi kenyataan bahwa Yesus Kristus—Sang Pembuat mukjizat—dapat berjalan di atas air. Mereka sulit mempercayai kesanggupan Yesus Kristus! Hati mereka tetap degil!
Apakah pengalaman rasul-rasul di atas terulang dalam kita? Apakah kita sulit percaya bahwa Tuhan saat ini masih bisa melakukan mujizat dalam hidup kita? Jangan-jangan Anda telah melupakan mujizat yang pernah Anda alami sendiri sehingga Anda melupakan kesanggupan Tuhan. Ada baiknya bila Anda mengingat, menghitung, dan (sangat dianjurkan) mencatat mujizat-mujizat Tuhan dalam hidup Anda. Mulailah dengan mencatat kisah pertobatan pribadi diri Anda. Lanjutkanlah dengan mencatat pengalaman yang telah Anda alami sendiri, bukan sekadar mengingat apa yang pernah dialami oleh orang lain! [GI Mario Novanno]