Interupsi Ilahi
Markus 5:21-43
Salah satu hal yang terasa sangat menganggu adalah bila kita sedang terburu-buru, lalu tiba-tiba ada orang yang menghentikan langkah kita, kemudian—tanpa kepekaan dan rasa bersalah—menyita waktu kita dengan curhat-nya yang sangat panjang. Reaksi paling alami yang mung-kin kita ungkapkan adalah kita segera memutus percakapan tersebut dan melanjutkan apa yang menjadi agenda kita.
Tuhan Yesus diminta untuk segera datang ke rumah Yairus yang anaknya sedang kritis, hampir mati. Dia perlu bertindak cepat demi menyelamatkan anak itu. Dengan diiringi banyak orang yang berdesak-desakkan di dekat diri-Nya, Ia pergi ke tempat Yairus. Di tengah jalan, tiba-tiba Tuhan Yesus menghentikan langkah-Nya karena Dia merasa bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya. Dia mencari tahu siapa yang telah menjamah-Nya dengan bertanya kepada orang banyak, “Siapa yang menjamah jubah-Ku?” Pertanyaan ini aneh! Saat itu, orang banyak berdesak-desakkan sehingga pasti banyak orang yang tidak sengaja menyentuh jubah-Nya. Dia tak perlu secara khusus berhenti dan menghentikan gerakan beriringan orang banyak di tengah kondisi kritis anak Yairus. Sebagai kepala rumah ibadat, bila anaknya disembuhkan, Yairus pasti bisa memberi dukungan yang berarti terhadap pelayanan Tuhan Yesus. Akan tetapi, Tuhan Yesus berhenti dan—lebih aneh lagi—Dia mendengarkan dengan sabar penjelasan panjang lebar (perhatikan perkataan “segala sesuatu”, 5:33) dari perempuan yang telah sembuh karena menjamah jubah-Nya. Tuhan Yesus tidak meminta perempuan ini mempersingkat penjelasannya. Dia sengaja menyediakan waktu untuk mendengar. Akibatnya, ketakutan Yairus terwujud. Anak perempuannya mati. Akan tetapi, kisah ini berakhir dengan happy ending (5:35-42).
Tuhan tidak terburu-buru atau tergesa-gesa. Tuhan itu Mahatahu. Dia sudah tahu sebelum sesuatu terjadi pada diri kita. Dia mengerti hari esok kita. Akan tetapi, manusia itu terbatas. Rencana kita tidak selalu berjalan mulus. Saat rencana kita gagal, mungkin Tuhan sedang menyiapkan rencana lain yang lebih baik bagi diri kita, yang bisa saja kita pandang sebagai suatu interupsi (halangan atau rintangan). Akan tetapi, interupsi itu justru pada akhirnya memperlihatkan kesempurnaan rencana-Nya demi kebaikan kita. Bersediakah kita “diinterupsi” oleh Tuhan? Bersediakah kita menerima interupsi dari orang lain yang mungkin saja sebenarnya merupakan bagian dari agenda ilahi? [GI Mario Novanno]