Karunia dan Pengendalian Diri
Bacaan Alkitab hari ini:
1 Korintus 14:26-40
Pernahkah Anda mendengar ungkapan seperti, “tergantung pada gerakan Roh Kudus”, “nanti lihat saja bagaimana Roh Kudus menggerakkan atau mengarahkan saya”, atau “saya melakukan sesuai dengan pimpinan Roh Kudus”. Dari satu sisi, ungkapan seperti di atas menunjukkan adanya unsur keterpaksaan dalam diri seseorang karena orang itu didorong (dipaksa) oleh Roh Kudus untuk melakukan sesuatu. Di sisi lain, kadang-kadang ungkapan seperti di atas disalahgunakan untuk bertindak semaunya dengan alasan bahwa Roh Kuduslah yang berwewenang mengatur. Salah satu contoh nyata: Orang yang berbahasa roh sering berkata bahwa ia tidak dapat mengendalikan lidahnya, sehingga ia harus terus-menerus berbahasa roh sampai Roh Kudus menghentikannya. Pemikiran seperti di atas bertentangan dengan ajaran Rasul Paulus tentang karunia roh dalam bacaan Alkitab hari ini. Menurut Rasul Paulus, karunia berbahasa roh seharusnya dapat dikendalikan.
Rasul Paulus menegaskan bahwa bila ada orang yang berbahasa roh dalam pertemuan jemaat, harus ada orang yang menafsirkan (14:5). Bila tidak ada orang yang memiliki karunia untuk menerjemahkan bahasa roh, anggota jemaat yang memiliki karunia berbahasa roh harus berdiam diri atau berdoa secara pribadi, dan tidak boleh mengucapkan kata-kata dalam bahasa roh (14:27-28). Dalam sebuah pertemuan jemaat, yang diizinkan untuk berbicara dalam bahasa roh seharusnya hanya dua atau tiga orang saja, dan penggunaan karunia berbahasa roh itu harus dilakukan secara teratur (bergiliran satu per satu) serta diikuti tafsirannya agar bisa dipahami oleh seluruh jemaat. Bahasa roh tidak boleh diucapkan secara serempak (sekaligus beramai-ramai) karena bahasa roh yang diucapkan secara serempak itu tidak akan bisa dimengerti. Petunjuk pelaksanaan penggunaan karunia yang disampaikan oleh Rasul Paulus ini menjelaskan bahwa karunia-karunia Roh Kudus—termasuk karunia berbahasa roh—harus digunakan secara teratur, dengan pengendalian diri. Ingatlah bahwa karunia-karunia rohani harus digunakan untuk membangun jemaat, bukan untuk kebanggaan diri sendiri. Penonjolan karunia tertentu dalam ibadah—seperti karunia berbahasa roh—akan memadamkan karunia-karunia yang lain, padahal karunia berbahasa roh yang tidak ditafsirkan hanya bermanfaat bagi orang yang memiliki karunia itu saja (14:4). [GI Wirawaty Yaputri]