Batas-batas dalam Pergaulan
2 Korintus 6:11-7:1
Walaupun status orang percaya sebagai terang bagi dunia mengha-ruskan kita untuk bergaul dengan orang yang tidak percaya, pergaulan yang boleh kita jalin terbatas. Orang beriman (orang perca-ya) tidak boleh kehilangan kesadaran bahwa kita memiliki perbedaan identitas dengan orang-orang yang tidak percaya. Perbedaan itu amat kontras (mencolok)! Perbedaan itu setara dengan perbedaan antara kebenaran dan kedurhakaan atau antara terang dan gelap, bahkan perbedaan itu seperti perbedaan antara Kristus dengan Belial (sebutan “Belial” ini menunjuk kepada Setan). Oleh karena itu, saat kita bergaul dengan orang yang tidak percaya, ada kebiasaan atau tindakan orang tak percaya yang harus dihindari atau dijauhi, khususnya yang menyang-kut penyembahan berhala. Pandangan orang percaya dengan orang yang tidak percaya tentang apa yang benar dan apa yang salah pun dalam hal-hal tertentu memiliki perbedaan yang tidak boleh dikompromi-kan. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel berkali-kali melanggar perin-tah Allah yang mengharuskan mereka memisahkan diri dengan pendu-duk setempat yang notabene adalah para penyembah berhala. Pelang-garan itu membuat bangsa Israel berkali-kali jatuh ke dalam penyem-bahan berhala dan menerima hukuman Allah. Bila dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang percaya adalah garam dunia dan terang dunia (Matius 5:13-14), hal itu berarti bahwa orang-orang percaya harus mempertahankan identitas sebagai anak-anak Allah yang memiliki ciri berbeda dengan orang-orang tidak percaya.
Setiap relasi dengan orang yang tidak percaya harus dievaluasi secara kritis (Bandingkan dengan 1 Korintus 15:33). Kerja sama bisnis harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar kita tidak terjerumus mengikuti cara-cara yang bertentangan dengan iman kita, Pernikahan dengan orang yang tak percaya bisa menghasilkan kesulitan (konflik) serius saat kita hendak mengekspresikan iman dalam hal-hal seperti menentukan arah pendidikan anak (anak akan bingung memilih mengikuti ayah atau mengikuti ibu). Oleh karena itu, orang percaya harus sangat berhati-hati dalam bergaul atau bekerja sama dengan orang yang tidak percaya. Apakah Anda pernah memikirkan batas-batas yang harus ditetapkan saat bergaul dengan orang yang tidak percaya? Bagaimana cara Anda bergaul saat ini? [GI Purnama]